Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

You're my ice Prince

sagara_adinata
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.9k
Views
Synopsis
Masa Depan.. Relativitas yang tak bisa dijelaskan melalui logika maupun akal sehat. Masa depan mencakup segala misteri dan rahasia di alam semesta... Seorang gadis memiliki relativitas itu pada genggamannya. Entah dimulai sejak kapan, Ia mulai melihat gambaran gambaran masa depan yang tak ingin dilihatnya. Sesuatu yang jika sudah menyangkut pautkan takdir, akan sulit untuk dijelaskan, begitulah asal mula pertemuan 2 orang yang sangat bertolak belakang ini. Dua orang yang sama sekali tak menyangka akan dipertemukan. Segala perbedaan yang menjadi tantangan bagi pertemanan dan hubungan mereka. Sampai suatu ketika mereka dihadapkan pada. 2 pilihan berat menyangkut masa depan mereka sendiri.
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1

"Seandainya aku tak bertemu denganmu mungkin semuanya tak akan serumit ini dan sekarang aku bersandar pada kata Seandainya"

.....

Seoul Korea oktober 2017

Pertengahan bulan Oktober memajang begitu banyak daun berguguran. Musim telah berganti. Di pertengahan musim gugur ini, pemandangan Namsan Tower terlihat sangat jelas di Seoul Hanyang Doseong (Seoul fortress wall). Tak akan ada senja yang seindah hari ini, apalagi keputusan meninggalkan negeri itu telah ditetapkan oleh keluarganya.

Besok setelah melewati bandara internasional Seoul, ia tak akan bisa menikmati panorama seperti hari ini.

Ia tak akan bisa menghirup aroma Musim Semi, Musim Gugur,Musim Panas, Musim Dingin lagi. Hari di mana ia bisa bermain bersama teman sekolahnya, akan sirna esok. Waktu ketika ia bisa bermain ice skating ditemani ibunya, akan hilang.

Tak akan ada lagi kimchi di pagi hari, dan bulgogi di malam hari. Sunghoon menatap mentari tenggelam sewarna dengan daun yang berguguran. Indah batinnya.

Ia harus ikut ayahnya di negara yang sama sekali tak dikenal. Pikirannya dipenuhi dengan bagaimana ia sanggup meninggalkan Hana, ibunya. Jujur saja, kesehatan Hana tak lagi sebugar dulu. Hana tetap saja memaksa Sunghoon untuk sekolah di Indonesia sampai lulus SMA.

Bunyi dering Smart phone terdengar dari dalam saku celananya. Diatas layar Hp tertera nama ibunya Hana.

"Eung Eomma" ("ya Ibu")

"Sunghoon'a neon eodi issni? apakah kamu sudah mengepak barangmu?" ("sunghoon kamu di mana?")

"Ajig" ("belum")

"loh besok kamu berangkat, tau kan?"

"Eung, al-a" ("iya aku tau")

"Yasudah pulanglah, -oh ya ibu titip Bungeoppang (wafel korea berbentuk ikan). ibu telah masak makanan kesukaanmu bulgogi (olahan daging)"

"Baiklah, aku segera pulang"

"josimhae!" ("hati hati dijalan")

Sunghoon segera berjalan menuju pemberhentian busway terdekat. Setelah membeli makanan pesanan Hana, ia segera berjalan menuju apartemennya Cheongdam Hyundai 3, Gangnam-gu. setelah masuk ke dalam apartemen, hatinya mencelos menatap ibunya memijat kaki didekat balkon, dengan angin malam menyambut wajah paruh bayanya.

"Aku pulang"

"Kamu darimana? ibu sampai khawatir kalau terjadi apa-apa denganmu"

"Aku hanya dari teman bu, Lapar sekali"

"Oh ya, makan dulu, ibu sudah masak bulgogi kesukaanmu, kamu mau ibu mengeluarkan kimchi?"

"Eung."

Sunghoon duduk sembari menyiapkan 2 alat makan, lalu menata sendok dan sumpit. Hana yang duduk didepan Sunghoon, mengubah wajahnya menjadi serius.

"Soal besok, ayah sudah mendaftarkanmu di sekolah favorit"

Sunghoon mengangguk. Hana mengerti. Anak semata wayangnya itu tak pernah meng-ekspresikan apa yang dirasakanya. Sunghoon selalu patuh terhadap semua keputusan Hana, maupun Yahya suaminya. Hana bahkan tak ingat kapan Sunghoon tertawa lepas. Semakin dewasa, Sunghoon menjadi makin tertutup, baik terhadap Hana, maupun Yahya.

"Kamu akan tetap bisa bermain ice skating disana. SMA mu itu, SMA favorit . Banyak murid yang lulus dari sana bisa berhasil masuk perguruan tinggi."

Lagi-lagi Sunghoon mengangguk. Sunghoon menatap makanan seolah itu adalah barang menjijikkan, namun tetap menjejalkan benda itu kedalam mulut, dan mengunyahnya walau enggan.

"Jaga ayah disana, Ibu akan baik baik saja disini, Ibu ingin kamu juga mengenal negara kelahiran ayahmu"

"Aku sudah kenyang,"

Sunghoon berlalu menuju kamar. Ketika pintu telah tertutup, ia duduk dibalik pintu. Ia tak menangis. Kepalanya hanya pusing memikirkan hari esok. Hari dimana ia akan meninggalkan ibunya sendirian.

.

.

.

Jakarta, Indonesia oktober 2017

Semerbak mie menyebar di salah satu ruangan Green Place apartemen, nomor 202. dengan alunan lagu taylor swift, Giny menari seolah hari itu adalah hari terakhir dia bisa menari.

Romeo take me somewhere we can be alone

i'll be waiting, all there's to do is run

you'll be the prince

and i'll be the princess

since last story baby just say yes

Sekelebat wajah mulus seorang pria terlintas dalam benak Giny. Wajahnya semulus porselen, seputih butiran salju. Lensa matanya hitam pekat, begitu pula rambutnya. baru kali ini ia memiliki bayangan seorang pria, biasanya yang ia liat hanya kesialan saja. Jangan bilang pria itu akan jadi kesialan bagi Giny.

Ya

Giny bisa melihat masa depan.

Entah itu sekelebat atau bahkan seluruh kejadian. waktunya beragam, kadang bisa terjadi beberapa menit, beberapa jam, atau bahkan beberapa detik setelah Giny melihatnya. untungnya bakat itu tak mempengaruhi Indera Giny, maksudnya Ia hanya bisa melihat masa depan, bukan melihat sesuatu yang tak kasat mata. Ngerti kan?.

Pria itu nampak dingin, pandangannya mengisyaratkan ketidak pedulian. Siapa dia? batin Giny, seolah semua ketidak tahuannya akan terjawab jika ia berpikir dengan keras.

Giny berjalan menuju sebuah ruangan tak terkunci. Melupakan bayangan pria yang barusan lewat dibenaknya. Toh cepat atau lambat mereka akan bertemu.

"Mom aku buat mie, mau?"

Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum. Kaya sudah fokus terhadap laptop semenjak 2 hari lalu. Badannya mulai lelah, mungkin sebaiknya Ia istirahat sebentar. Kaya berdiri, lalu berjalan kearah Giny.

"Mama jangan terlalu fokus kerja deh, Giny nggak mau Mama kecapean. lagian Abang- Abang Giny yang lain udah mapan, Apa nggak sebaiknya Mama pensiun aja?"

"Apasih kamu, Mama kerja itu karna senang ada kegiatan. lagian lusa Papa pulang, Mama begadang biar bisa santai sama Papa"

Giny menatap Kaya, seakan Kaya mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya mual. Orang tua Giny hampir tak pernah bertengkar.

Terlalu rukun.

Giny membayangkan bagaimana hidup sebagai orang normal, bukan orang yang berlebih. Hidup dikeluarga sederhana, lengkap, penuh kebahagiaan. Tapi disisi lain Giny belum siap melepas kemewahan yang selalu ia dapat.

Ia hanya bisa membayangkan harumnya aroma pantai ditepi pesisir, Lalu Sejuknya angin di daerah pegunungan. Oh atau panasnya mentari ditengah ladang Jagung sambil bermain layang-layang. Astaga betapa indahnya bila tiap hari bisa melakukan hal-hal sederhana itu tanpa tergantung pada gadget. Benar kata pepatah, rumput tetangga selalu lebih indah daripada rumput kita sendiri

Giny segera membuang jauh angan- anganya. Suatu saat ia pasti memiliki kesempatan menikmati impiannya.

Ya, Suatu saat.

"Jadi gimana kamu udah ada pikiran buat daftar kemana?"

"Belum si ma"

"Mama boleh usul nggak? Gimana kalau kamu coba di Garuda Wisnu High School? lulusan sana selalu banyak jadi rebutan perguran tinggi negeri, bahkan banyak yang dapat beasiswa keluar negeri"

Giny tersedak kuah Mie. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dalam tenggorokannya. Kaya segera memberi minum pada Putrinya. Giny bukannya tak suka sekolah disana, tapi gimana bisa dia keterima di Garuda Wisnu High School. Bahkan selama eksistensinya, 10 besar tak pernah bisa ia raih. Giny menoleh pada Kaya seolah minta dimengerti.

"Dicoba dulu ya nak, kalau nanti kamu nggak mampu, baru daftar yang lebih mudah"

"Oke deh"

Giny mengiyakan saja kemauan Kaya. Ia sangat yakin 100 persen tak akan bisa masuk ke sekolah bergengsi itu.

Beratus ratus hari kemudian, Giny lolos tes dan diterima di Garuda Wisnu High School. Ia bahkan tak dapat penglihatan tentang itu sebelumnya.

"Oh sh**t, gimana gue bisa ngikutin pelajaran disini?? Apa otak gue mampu!?? otak oh otak, bertahan selama 3 tahun ya!!"

Giny berucap keras ketika memasuki pelataran GW High School, tanpa peduli bahwa berjuta pasang mata yang berlalu lalang melewatinya tengah menatapnya aneh.

Ketika Giny hendak berjalan melewati gerbang, kepalanya terbentur oleh sebuah punggung lebar seseorang. Saat Giny mendongak, mata mereka bertemu. Seperti sebuah takdir. Seperti sebuah Mimpi

"Kamu!"

.

.

.

.