"Kau akan pergi memanen?"
Chara menghentikan langkahnya di padang rumput yang hijau di atas bukit dengan berhias bunga-bunga kecil berwarna putih yang indah saat telinganya menangkap suara bariton yang sudah sangat familiar baginya. Ia menoleh ke belakang, mendapati Sirius yang sedang berjalan mendekat ke arahnya sambil tersenyum menawan, senyum andalan Sirius untuk meluluhkan hati para dewi di Dunia Atas.
"Ya. Pohon Morti baru saja menjatuhkan beberapa daun kering. Apa yang sedang kau lakukan di sini, Sirius?" tanya Chara sambil mengangkat sebelah alisnya keheranan, walau sering Sirius menamaninya bertugas sebagai Dewi Pemanen, itu karena memang ia memberitahu Sirius, dan lelaki itu akan dengan sukarela menemaninya, tapi rasanya sedikit mengejutkan menemukan Sirius di sini padahal ia tidak memberitahu pada dewa paling rupawan itu.
Sirius memang memiliki wajah yang dua kali lipat lebih tampan dibanding dewa-dewa yang pernah ditemui oleh Chara, baik di Dunia Atas maupun Dunia Bawah, dan wajah tampannya itu diakui sebagai yang paling tampan oleh para dewi, termasuk Chara. Dulu saat pertama kali berkenalan dengan Sirius, ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sirius akan tumbuh semempesona ini dengan rahang tegas, mata yang tajam, alis tebal yang membingkai sempurna sepasang manik hijau, hidung mancung, bibir tipis, dan rambut yang sedikit panjang hingga menyentuh pundak. Apalagi ketika Dewa Penanam itu tersenyum, membuat dewi-dewi menjerit histeris karenanya, tapi tentu saja itu tidak berlaku bagi Chara, karena dia sudah hapal benar dengan sifat dan karakter Sirius yang hanya diketahui olehnya.
Sirius tidak mudah marah, sangat ramah, dan mempesona, namun sebenarnya Sirius adalah seorang dewa flamboyan yang gemar merayu dewi-dewi yang menarik hatinya, mudah bosan, ia juga tinggi hati dan suka memuji dirinya sendiri, belum lagi sifatnya yang terkadang keras kepala dalam menginginkan sesuatu hingga membuat Chara dan Khun hanya bisa menggelengkan kepala.
Chara dan Khun berkenalan saat mereka sama-sama harus turun ke medan peperangan manusia yang saling memperebutkan daerah kekuasaan, menumpahkan banyak korban jiwa. Di saat Chara sibuk mencabut nyawa pasukan tentara berzirah yang saling menyerang, saat itulah Chara melihat Khun yang hendak melesatkan panah perdamaiannya karena peperangan mereka dirasa sudah cukup. Mata mereka sempat bertemu sesaat, dan setelah perang berakhir barulah mereka dapat saling bertukar nama. Khun dengan sifatnya yang lebih tenang dibanding Sirius, membuat Chara nyaman berteman dengannya, ditambah lagi sikap Khun yang sangat dewasa dalam menanggapi semua permasalahan yang dihadapinya, menambah kekaguman Chara pada sosok Khun.
Sirius berjalan mendekat, menggesek permukaan karpet hijau membentang dengan jubahnya, tersenyum miring menunjukkan arogansinya, dengan tangan mengeluarkan selembar daun Pohon Morti yang berwarna kekuningan, menandakan ada nyawa yang sedang berada di antara pintu kematian dan hidup.
"Aku mendapatkan tugas untuk menanamkan kembali nyawa seseorang. Pohon Morti menjatuhkan daunnya yang tertiup angin dan membawanya ke telapak tanganku. Dan tanpa diduga aku bertemu denganmu di sini. Sepertinya lokasi kita dalam bertugas kali ini sama." Sirius mendongak sedikit, menggerakan kedua alisnya naik turun, dan masih dengan senyum pongah.
"Baguslah. Setidaknya kau tidak lagi menganggur dan menyibukkan diri dengan bermain bersama dewi yang sedang sial karena dipilih olehmu," ujar Chara dengan bibir yang menyeringai lebar dan nada mencemooh ketika mereka sudah saling berhadapan, bermaksud menggangu dan memupuskan kepongahan Sirius.
Senyum Sirius langsung meredup mendengar kalimat yang dilontarkan Chara padanya. Hanya Chara, satu-satunya dewi yang tidak tertarik dengan senyumnya dan malah menghancurkan keindahan lengkungan bibirnya, sembari dengan santai merendahkan dirinya sebagai dewa pengangguran.
Sirius mendengus kasar hingga terdengar suara hembusannya, lalu berkacak pinggang menahan geramannya, bibirnya menipis saat berbicara pada Chara dengan nada ketus.
"Mereka tidak sedang sial, Chara. Mereka beruntung. Sangat beruntung. Mereka bisa berkencan dengan dewa paling tampan di Omega. Belum lagi keahlianku memuaskan mereka, membuat mereka bahkan tidak ingin melepaskanku dari pelukan mereka. Tidak ada alasan mereka untuk merasa sial sama sekali." Sirius menjelaskan dengan cepat hingga napas terengah.
Ya, tidak ada alasan bagi dewi-dewi yang kebetulan dikencani oleh Sirius untuk merasa tidak beruntung. Pengalaman Sirius yang mengencani banyak dewi, membuatnya mahir dalam menaklukan hati para wanita, membuat para wanita bertekuk lutut di kakinya, memohon agar jangan ditinggalkan hanya karena ia merasa bosan, dan ingin berkencan dengan dewi lainnya. Sirius sama sekali tidak menyia-nyiakan berkah yang didapatnya dari kedua orang tuanya, apalagi ibunya adalah sang dewi cinta, tidak akan ada yang meragukannya dalam merayu menggapai hati dewi yang diingininya. Namun, keahliannya itu juga diikuti dengan sifatnya yang mudah bosan, mudah berganti pasangan hanya untuk membuat hati merasa senang. Meskipun begitu, dengan reputasi yang terkenal flamboyan, banyak dewi-dewi yang masih saja rela mengantri untuk mendapatkan hati Sirius, walau hanya sesaat saja. Mereka berpikir, setidaknya mereka pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang dewi yang diminati oleh putra Dewa Aten.
"Aku juga tidak menganggur. Aku hanya memiliki banyak waktu luang. Dan hal itu kumanfaatkan dengan membuat senang hati para dewi yang kupilih. Tidak ada yang salah dengan itu. Satu hal lagi. Kau tahu, hanya orang-orang tertentu di Bumi yang beruntung bisa bertemu dneganku dan membuatku menanamkan kembali nyawa mereka ke tubuh. Hanya aku, tidak ada yang lain." Sirius menegaskan kalimat terakhirnya agar Chara tidak menganggap dirinya rendah hanya karena lebih sering terlihat bermain dengan dewi-dewi setiap ada kesempatan.
Chara mencebikan bibir, enggan menanggapi lebih lanjut penjelas Sirius yang membela diri. Ia berbalik, meninggal Sirius yang menatapnya kesal, berjalan menuju tempat ia akan memanen nyawa manusia yang meninggal karena penyakit yang tidak kunjung mendapat obat untuk mengurangi sakitnya. Senyum tipis Chara tersungging menyadari bahwa setiap percakapannya dengan Sirius sebelum bertugas, selalu mampu membuatnya merasa jauh lebih tenang.
Sirius menghela napas panjang menatap punggung ramping berbalut jubah hitam itu yang berjalan menjauh menuju tujuannya. Ia mengekor di belakang Chara sambil mengamati setiap gerakan dan langkah kaki sahabat baiknya itu. Meskipun mereka dari dunia yang berbeda, Sirius merasa nyaman bersahabat dengan Dewi Pemanen yang selalu berhasil memancing emosinya itu. Sirius sering kali menemani Chara bertugas hanya untuk membuat mereka beradu argumen sebelum wanita itu bertugas, karena Sirius tahu jika Chara selalu saja merasa tegang saat menjalankan kewajibannya.
Ketika perang berkecamuk di Bumi, Chara ditugaskan untuk memanen nyawa-nyawa yang namanya sudah tertulis di daun Pohon Morti yang gugur dengan jumlah yang sangat banyak. Sirius tahu Chara kewalahan menjalankan kewajibannya yang masil melibat emosi dalam bertugas, karena entah mengapa wanita itu terlihat sangat berbeda dengan Dewi Pemanen lainnya yang berwajah datar dan berhati dingin. Chara lebih sering tersenyum, merasa gugup dan ragu, dan juga ia memiliki hati yang lembut hingga saat memanen, ia harus menekan perasaan emosionalnya kuat-kuat agar tidak memperlambat kinerjanya.
Sirius tersenyum tipis, sesekali tersipu malu hanya dengan melihat langkah-langkah kecil Chara menuruni bukit, menggigit bibirnya agar tidak keceplosan karena kegirangan mendapat tempat bertugas yang sama dengan Chara.
Tiba-tiba Chara berhenti melangkah tepat sebelum mencapai desa manusia. Ia berbalik ke belakang, menatap tingkah Sirius yang berjalan menunduk dengan senyum yang disembunyikan oleh tangannya. Chara mengangkat alisnya sebelah, menunggu Sirius menyadari tingkahnya yang konyol, lalu saat Sirius berhenti tepat di depannya dengan terkejut, tubuh Sirius sedikit meloncat ke belakang.
"Apa yang kau tertawakan, Sirius? Mengapa pipimu sampai memerah seperti itu?" Pertanyaan Chara membuat pipi Sirius semakin memerah karena ketahuan sedang bertindak konyol di depan Chara. Wajah Sirius terlihat jelas dari cahaya temaram lampu di ujung desa yang menerangi senja menjelang malam ini. Sirius menelan salivanya yang terasa sulit, menegakan punggungnya, lalu berdeham sebelum menjawab.
"Aku menertawakan isi kepalaku. Pipiku memerah karena teringat dengan isi kepalaku," jawab Sirius sekenanya, karena saat ini otaknya tidak bisa menemukan kosa kata yang pas untuk memberikan alibi yang tepat dan tidak membuat Chara curiga. Manik hijaunya berkeliaran enggan bertatapan dengan manik emas berkilauan yang sedang melihatnya jijik.
"Dasar dewa mesum." Chara berbalik tanpa ingin bertanya lebih rinci tentang isi kepala yang dimaksud oleh Sirius. Sirius mengejar langkah kaki Chara memasuki desa manusia, berjalan di samping Chara sambil menolehkan kepalanya saat berbicara pada Chara.
"Itu bukan mesum. Itu... pikiran alami seorang lelaki. Kau tentu tak akan bisa memahaminya jika berpikir dengan menggunakan otak wanita." Chara mengabaikan celotehan Sirius. Sirius beralih menghadap ke depan saat tidak mendengar jawaban dari Chara. Tanpa sadar ia menghela napas lega, lebih baik Chara berpikir dia sedang memikirkan hal-hal tak senonoh, dibandingkan dia harus mengetahui isi kepalanya yang sesungguh sedang kegirangan karena mendapatkan tempat bertugas yang sama.
Langkah mereka berhenti di depan sebuah rumah reyot yang dihuni oleh seorang wanita tua dan cucunya yang masih bayi. Ibu bayi itu sudah dipanen nyawanya oleh salah satu Dewi Pemanen sesaat setelah melahirkan. Rumah itu tampak begitu menyedihkan dengan atap yang sudah hampir rubuh, cahaya yang sangat minim, lantai rumah yang kotor, dan sepi seakan tidak berpenghuni.
Chara membuka pintu rumah itu, menimbulkan suara berderit yang menganggu telinga. Tapi tidak ada satu orang pun yang mendengar dan mengetahui bahwa ada dua dewa yang tengah hadir di antar keluarga kecil itu hendak melaksanakan tugasnya masing-masing.
Chara berdiri samping ranjang kecil berisi bayi mungil itu yang nampak kesulitan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, kedua matanya terpejam rapat, kulitnya sudah pucat tanpa rona kehidupan. Di samping sisi yang lain, seorang nenek tengah mengambil gelas dan sendok kecil yang digunakan untuk meminumkan obat pada cucunya. Tangan renta yang bergetar itu sedikit kesulitan memasukkan ke bibir mungil yang sudah membiru itu. Beberapa kali obat itu tumpah membasahi baju sang cucu yang langsung dilap dnegan memggunakan kain lusuh.
"Kau akan memanennya?" bisik Sirius di telinga Chara. Chara hanya terdiam, termangu melihat pemandangan menyedihkan di depannya kini. Perasaanya bergejolak menahan desakan air matanya yang ingin lolos melalui celah matanya.
Chara menghela napas panjang dan berat, lalu mengeluarkan daun cokelat kering dari kantongnya, dengan suara bergetar ia membaca isi daun itu di depan 'buahnya'.
"Nama Azriel, usia tiga bulan dua hari, jenis kelamin laki-laki, penyebab kematian... radang paru-paru yang tak diobati dengan segera." Suara Chara bergetar dalam setiap kalimatnya. Perlahan kedua mata bayi itu yang semula terpejam rapat, terbuka menatap wajah Chara yang sudah sendu.
Sang nenek yang malang itu berucap syukur saat mengetahui cucunya kembali membuka mata walau hanya sedikit. Nenek itu tersenyum bahagia, mengecupi dahi mungil di depannya, memeluknya erat, setitik air mata mengakir dari ujung kelopak matanya yang keriput. Chara merasa iba melihat perilaku sang nenek yang sangat menyedihkan. Ia tidak tahu bahwa di samping ranjang cucunya seorang Dewi Pemanen siap memanen nyawa cucu satu-satunya.
Sirius memegang pundak Chara, menyalurkan kekuatannya untuk menguatkan Chara memanen nyawa mahluk tak berdosa di hadapan mereka. Chara menggigit bibirnya yang bergetar, meletakkan sebelah tangannya ke dalam genggaman jemari kecil yang sudah sangat dingin, lalu mendekatkan jarinya ke pelipis bayi itu dengan matanya yang sendu tanpa cahaya. Chara menarik benang tipis yang keluar dari ujung pelipis Azriel dengan perlahan supaya tidak menyakiti Azriel.
Dengan perlahan, kedua kelopak mata itu kembali terpejam rapat, kali ini untuk selama-lamanya. Sang nenek yang tadi sangat bergembira, langsung termenung melihat cucunya kembali terpejam, tanganya mengambang di udara yang sedari tadi masih berusaha meminumkan obat. Nenek malang itu mendekatkan wajahnya ke arah Azriel setelah meletakan sendok berisi obat cair itu di atas nakas. Tangan keriputnya kembali bergetar, kali ini gemetarnya lebih hebat dibanding sebelumnya, membekap mulutnya. Lalu jeritan menyayat hati menembus keheningan malam.
Sirius langsung menarik Chara keluar dari rumah itu, agar tidak melihat pemandangan yang menyedihkan itu sekali lagi. Meninggalkan sang nenek yang memeluk sembari masih menangis histeris merasakan perih di hatinya setelah kehilangan cucunya, penerus satu-satunya dari gennya.
***
Udara malam berhembus menghantarkan dingin yang menusuk tulang bagi siapapun yang masih berada di luar rumah. Menggigilkan setiap sendi, membuat bibir bergetar, setiap inci kulit berubah menjadi pucat.
Angin malam ini di Bumi bertiup cukup kencang hingga mampu menggoyangkan batang-batang pohon yang lumayan besar di belakang Chara, menimbulkan suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, meniupkan helaian rambut panjang halus miliknya ke belakang mengikuti arah angin. Sebagai Dewi Pemanen, ia sudah terlatih dengan udara sedingin apapun, terlebih di Dunia Bawah hampir-hampir tidak ada kehangatan walau cahaya matahari menembus lapisan dunia tersebut.
Chara duduk di atas rumput hijau di atas bukit melihat kelap-kelip lampu kuning temaram yang dihasilkan dari lampu-lampu di desa yang baru saja ia panen dengan suasana hati yang masih terlarut dalam kejadian terakhir tadi saat ia memanen nyawa tak berdosa itu. Di bawah sana, di sebuah rumah reyot, beberapa manusia tampak mondar-mandir keluar masuk dengan sedikit tergesa-gesa. Mereka sedang menyiapkan acara pemakaman bagi bayi penghuni rumah itu yang baru saja meninggal. Mereka harus memakamkannya malam ini juga di tengah dinginnya udara yang seakan tak mau tahu kegiatan mereka yang mendesak itu, karena menurut kepercayaan manusia-manusia itu, nyawa yang sudah terlepas dari tubuhnya akan mencari lagi tubuh asalnya, dan ketika jiwa itu sudah kembali lagi, maka yang menyatu dengan tubuh itu adalah jiwa kelamnya, bukan jiwa bersih tanpa noda.
Chara menyipitkan mata menahan sesak di dada saat indera penglihatnya menangkap sosok renta yang kepayahan berdiri dengan isakan yang menyayat hati. Tubuhnya limbung sebelum kemudian ambruk menyentuh tanah tidak sadarkan diri. Chara menghela napas panjang guna mengurangi sesak yang terasa semakin mengganjal di paru-parunya.
Suara langkah dan jubah yang menyapu tanah mengalihkan tatapan mata Chara. Ia menoleh ke samping dan menemukan Sirius yang berjalan ke arahnya dengan raut wajah tak terbaca. Alis indah yang membingkai manik emas itu terangkat pelan, seolah bertanya melalui isyarat tubuhnya, dibalas dengan anggukan pelan dari Sirius dan senyum tipis.
"Ada apa, Sirius? Apa terjadi sesuatu saat kau menanam?" Chara langsung menyuarakan isi kepalanya begitu Sirius sudah berdiri di dekatnya, menekuk kedua kakinya, menyusul Chara duduk di hamparan padang rumput.
Sirius menerawang jauh ke pedesaan di bawah bukit nan subur ini. Wajahnya tidak seceria seperti saat-saat ia memamerkan tugas yang didapatnya walau sangat jarang atau tidak sepuas saat ia sudah menuntaskan semua tugas menanamnya yang selalu berhasil. Wajahnya terlihat kali ini benar-benar sulit dibaca oleh Chara.
"Tidak terjadi apa-apa, Chara. Aku... hanya memikirkan beberapa hal." Sirius menghirup udara malam untuk melegakan paru-parunya yang terasa terhimpit oleh sesuatu. Chara memiringkan wajahnya mendengar jawaban Sirius.
"Dari tadi sebelum kita sampai di desa ini, kau memang sudah memikirkan banyak hal, bukan?" Chara mengingat pembicaraan mereka sebelum ia bertugas, terdiam sesaat mendengar ucapannya sebelum wajahnya berubah terkejut dengan pipi merona yang merambat hingga ke telinganya saat kembali melanjutkan kalimatnya. "Jika... jika kau tidak tahan, lebih baik kau... kau kembali saja langsung ke Omega." Chara memalingkan wajah saat Sirius menoleh menatapnya dengan alis terangkat sebelah dan sorot tersinggung. Secepat perubahaan ekspresi Sirius yang tersinggung, secepat itu pula ia merasa geli. Lelaki itu terkekeh mengejek Chara dan pemikirannya.
"Lihat. Siapa sekarang yang berpikiran mesum?" tanya Sirius dengan nada menggoda yang kental hingga membuat Chara berdeham berkali-kali demi menetralkan rasa malu yang menjalar di tubuhnya.
"Kalau begitu apa yang kau pikirkan?" Chara mengalihkan pembicaraan supaya ia tidak dipojokkan oleh Sirius mengingat sifatnya yang usil. Sirius memberikan tatapan geli saat melihat Chara salah tingkah dan mencoba mengalihkan pembicaraan mereka yang membuat ia merona, padahal kalaupun Chara ingin membahasnya bersama Sirius, lelaki itu tidak keberatan sama sekali. Sirius memutuskan untuk tidak melanjutkan godaannya pada Chara, wajahnya kembali ke depan seperti yang dilakukan Chara.
"Tadi saat aku menanam, aku melihat seorang perempuan yang menangis tersedu-sedu karena orang yang dicintainya sedang berada dalam kondisi koma. Lalu saat aku menanam kembali nyawa kekasihnya, ia kembali menangis. Namun wajahnya terlihat sangat bahagia. Hal itu membuatku bertanya-tanya, bagaimana rasanya dicintai sebegitu dalamnya oleh orang yang kita cintai."
Chara kembali mengernyit mendengar kalimat sentimentil dari bibir Sirius. Seingatnya Sirius tidak pernah menanggapi serius masalah perasaan, terlebih lagi persoalan cinta.
"Bukankah kau juga sudah mendapatkan cinta dari banyak dewi yang kau pilih? Memangnya itu masih kurang?" Chara bertanya dengan nada antara tak percaya sekaligus mencemooh. Dari tempatnya duduk, Chara bisa melihat senyum tipis penuh ironi yang tercetak cukup jelas dari sisi samping wajah Sirius. "Serakah sekali," lanjut Chara lirih, menatap langit malam tanpa bintang, tidak memperhatikan wajah Sirius yang sudah keruh.
"Aku tidak membutuhkan banyak cinta dari banyak dewi, Chara." Sirius menghela napas berat seakan ada beban yang sangat besar menggelayuti tubuhnya, lalu melanjutkan kalimatnya yang membuat Chara melebarkan mata penuh keterjutan akan mampu diucapkan oleh Sang dewa Penanam, "Aku hanya membutuhkan satu cinta dari satu dewi yang sudah menawan hatiku sejak lama. Sayangnya, dewi itu tidak pernah memberikan balasan atas perasaanku."
Cinta antar dewa dan dewi di Omega berbeda dengan cinta yang dialami oleh manusia. Jika cinta yang dialami oleh manusia, terjadi karena campur tangan Dewi Ameris selaku Dewi Cinta atau disebut cupit oleh manusia Bumi. Sedangkan cinta yang terjadi antara dewa dan dewi, disebabkan karena takdir dan kuasa alam yang tidak dapat diterka hadirnya. Meski Dewa Aten adalah dewa tertinggi di Omega, tetapi ada yang lebih berkuasa darinya. Alam semesta menggerakan takdir yang tidak dapat diubah oleh para dewa bahkan termasuk Dewa Aten sendiri. Para dewa hanya bisa mengubah takdir manusia tapi tidak dengan takdir mereka. Bakat, usia, cinta, dan takdir kematian, sudah diatur sedemikian rupa oleh alam semesta. Dewa-dewi di Omega hanya menjadi sebagian dari perantara alam semesta bagi manusia, namun bukan berada semuanya mutlak berada di tangan mereka.
Sirius menoleh menatap Chara lurus tepat ke kedua maniknya yang berkilat ketidaksangkaan, membuat Sirius semakin melebarkan senyum ironinya yang tidak disembunyikan. "Kau boleh berpikir aku bahagia mengencani banyak dewi, Chara. Tapi sebenarnya hanya ada satu dewi yang namanya lebih sering kusebut dalam kepalaku dan hatiku dibanding nama dewi lainnya."
Sirius mengembus napas panjang dan lelah, terlihat sangat terluka dan lemah. Chara tidak tahu harus menanggapi bagaimana, karena ini adalah pertama kalinya Sirius membahas perasaannya kepada dirinya. Sirius tidak pernah terlihat terluka atau lemah hanya karena sebuah perasaan, ia selalu ceria dan nampak bahagia. Namun, kali ini Chara tahu bahwa seperti apapun sifat Sirius dan bagaimana karakternya, ia tetap saja bisa merasa terluka.
"Siapa dewi itu, Sirius?" Setelah keheningan yang membentang lama di antara mereka berdua, Chara memberanikan diri untuk mencari tahu. Namun, Chara sepertinya kurang beruntung untuk bertemu dengan jawabannya, sebab Sirius malah tersenyum lebar dan ringan, tidak seperti beberapa waktu lalu, hingga Chara kebingungan dengan perubahan sikapnya yang secepat itu.
"Bagaimana perasaanmu? Sudah jauh lebih baik?" Sirius mengalihkan pembicaraan, tidak ingin membahas mengenai perasaannya lebih lanjut, dan Chara memahami itu, dia tidak memaksa Sirius menjawab pertanyaannya sebelumnya. Chara mengangguk pelan sebelum menjawab.
"Sudah. Tapi masih sedikit mengganjal." Chara mencabut rumput di dekat tangannya, mendekatkan rumput itu ke depan matanya, "Menurutmu bagaimana rasanya jadi manusia, Sirius?" gumamnya lirih, tetapi tetap mampu ditangkap oleh indera pendengaran Sirius yang duduk tepat di sampingnya.
"Entahlah. Aku tidak bisa menebak. Kalau menurutmu bagaimana?" Sirius balik bertanya pada Chara yang tengah menggesekan rumput di tangannya ke arah pipinya dengan mata menerawang ke kejauhan.
"Aku juga tidak tahu. Tapi jika diberi kesempatan untuk menjadi manusia, tentu aku akan sangat bahagia, walau terkadang menjadi manusia terlihat menderita, aku rasa aku akan baik-baik saja." Alis Chara mengerut dalam saat mengajukan sebuah pertanyaan pada Sirius, "Kenapa aku harus menjadi Dewi Pemanen, Sirius? Kenapa bukan dirimu saja? Aku tahu kau akan mampu menjalankan tugas itu lebih baik dibanding aku," Chara mengeluh dengan nada menggebu-gebu hingga tanpa jeda dan nada jengkel menyalahkan takdir.
Sirius memutar bola matanya, "Kau sudah menanyakan itu sejak kita berusia 130 tahun, Chara. Dan kau selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama setiap kali kau selesai memanen nyawa yang membuatmu iba sampai kita berdua berusia 1300 tahun. Kau tidak bosan menanyakannya?" Mata Sirius melirik malas ke arah Chara, sedangkan yang dilirik melampiaskan emosinya dengan mencabuti rumput di sekitarnya.
"Sudah kita bahas yang lainnya saja. Bagaimana persiapan pernikahanmu dengan Kazza?" Sirius bertanya dengan suara getir yang ditahan supaya tidak ditangkap oleh telinga Chara yang tajam sebagai Dewi Pemanen.
Chara mendengus geli, seolah-olah Sirius sedang melempar lelucon padanya, merasa geli dengan pertanyaan yang diajukan Sirius sebagai bahan pengalihan pembicaraan. "Kazza sudah menyiapkan semuanya. Aku hanya tinggal duduk menunggu waktunya tiba." Chara meluruskan kakinya yang terlipat, bertumpu pada kedua telapak tangannya di samping tubuhnya, membuat posisi tubuhnya menjadi lebih santai. "Kau harus segera menyusulku, Sirius. Berhenti bermain-main, dan pilih satu dewi," kata Chara dengan nada santai.
"Sepertinya Kazza sangat memanjakanmu. Bagaimana perasaanmu akan menjadi Dewa Kematian yang memimpin para Dewi Pemanen?" Sirius memilih mengabaikan perkataan Chara.
Angin malam makin kencang berhembus saat waktu semakin bergulir menuju dini hari. Kedua dewa dan dewi itu masih nyaman duduk di tempat mereka sambil membicarakan banyak hal, merasa nyaman berbicara satu sama lain. Angin itu cukup kuat bertiup hingga tudung-tudung jubah Sirius dan Chara yang kontras terbalik ke belakang dan memperlihatkan wajah mereka yang tampan dan jelita. Sirius sempat tertegun melihat wajah cantik Chara yang sudah menawan hatinya sejak pertama kali mereka bertemu dari samping wajah dewi itu.
Alis tebal rapi yang membingkai manik emasnya, hidungnya yang kecil tapi mancung, bibir tipis yang mempesona, rahangnya yang kecil, dagu yang mungil, rambut hitam panjang halus yang berkibar menyenangkan saat diterpa angin, dan hati yang lebih halus dibanding hati para dewa dan dewi di Dunia Bawah. Karena terlalu asyik dengan pikirannya sendiri, Sirius sampai tidak mendengarkan jawaban dari Chara, dan membuat dewi itu mengguncang sebelah pundaknya. Sirius mengerjap berkali-kali saat wajah Chara begitu dekat dengan wajahnya, mengamati air mukanya dari dekat, membuatnya gugup dan tergeragap.
"Kau baik-baik saja, Sirius?" tanya Chara khawatir karena Sirius sedari tadi tidak berkonsentrasi pada pembicaraan mereka, seolah-olah pikirannya terbang melayang jauh entah ke mana.
"Y- ya, aku baik-baik saja. Memangnya kenapa aku harus tidak baik-baik saja?" Pertanyaan bodoh terlontar begitu saja secara spontan dari mulut Sirius tanpa bisa dicegah olehnya. Chara tersenyum tipis, kembali mempesona Sirius, apalagi dari jarak sedekat ini.
"Kupikir kau terpesona olehku," nada menggoda Chara sempat ingin ditanggapi dengan anggukan oleh Sirius, karena memang benar begitu adanya, namun buru-buru Sirius menjawab dengan nada mencibir agar Chara tidak merasa dipuji olehnya.
"Memangnya apa yang membuatmu mampu mempesona diriku? Kau bahkan lebih sentimentil dibanding dewi-dewi yang kukencani. Jika semua dewi yang pernah bersamaku sepertimu, sudah pasti aku akan kerepotan mendengarkan pertanyaan yang sama berulang kali hampir setiap harinya."
Chara tertawa terbahak-bahak mendengar cemoohan Sirius, alih-alih tersinggung. Setelah tawanya mereda, Chara kembali menghembuskan napas pendek dan lebih ringan, semua beban emosionalnya sudah terhempas bersama tawanya tadi. "Jika aku menjadi Dewi Kematian, maka aku tidak perlu memanen nyawa-nyawa lagi, setidaknya tidak secara langsung. Aku tidak perlu melihat wajah orang-orang yang bersedih hati saat yang dicintai oleh mereka sepenuh hati, harus meregang nyawa. Aku tidak perlu lagi melihat sorot mata sayu menyapa setiap kali aku datang hendak memanen nyawa mereka. Aku rasa, beban dalam hatiku akan berkurang." Chara mengulangi lagi penjelasannya panjang lebar tanpa diminta karena yakin Sirius tadi tidak mendengarkannya.
Sirius termenung mendengar penjelasan itu. Itulah yang membedakan Sirius dengan Kazza. Ia tidak bisa memberikan sesuatu yang bisa melegakan beban di hati Chara, ia tidak bisa mengubah takdir Chara seperti yang dia mau atau paling tidak menjadikan Chara seorang dewi yang ia inginkan, sehingga semua yang ia alami ini akan bisa melepaskan semua perasaan emosional yang tidak seharusnya ia rasakan sebagai Dewi Pemanen.
"Kuharap selalu bahagia, Chara," ucap Sirius dengan nada pelan yang terbawa angin. Chara tersenyum, lalu mengangguk yakin.
"Pasti."
***
Chara kembali ke Omega menuju peraduannya meninggalkan Sirius yang masih betah berada di Bumi. Ia berkata bahwa ingin melihat matahari terbit dari Bumi. Chara yang sudah merasa sangat kelelahan memilih kembali lebih dulu.
Ia membuka pintu peraduannya yang terletak di salah satu kamar dalam istana Dunia Bawah. Para dewa dan dewi Dunia Bawah tidak sebanyak dewa-dewi Dunia Atas, sehingga mereka di tempatkan dalam kamar-kamar kosong istana Kazza yang megah. Para dewa akan ditempatkan di sisi barat, sedangkan para dewi diberi kamar di sisi timur. Kazza sebagai pemimpin sekaligus pemilik sah istana Dunia Bawah, menempati kamar paling atas, luas dan megah. Meski tidak lebih besar dibanding istana Dunia Atas yang hanya dijadikan tampat tinggal bagi Dewa Aten dan Dewi Ameris serta di beberapa bagian dijadikan sekolah bagi para dewa-dewi Dunia Atas, tetapi istana Kazza cukup mampu menampung semua bawahannya.
Dewa dan dewi Dunia Atas tidak tinggal di dalam istana Omega, karena mereka memiliki istana megahnya masing-masing yang menampung anak didiknya. Karena memang Dunia Atas memiliki lebih banyak dewa dan dewi yang tidak mungkin tinggal dalam istana Omega.
"Kau baru kembali?" Suara dengan aksen diseret itu cukup mengejutkan Chara, terbukti dari responnya yang berjingkat ke depan karena ia membelakangi sumber suara dan tangan tertangkup menjadi satu di depan dada. Tanpa menoleh pun ia tahu bahwa itu adalah suara Kazza, tetapi karena tadi ia terlarut dalam pikirannya sendiri, ia sampai tidak menyadari kehadiran Kazza, padahal dari aroma tubuh khas Kazza saja ia sudah bisa menebaknya.
Chara menoleh ke belakang dengan wajah cemberut yang menggemaskan di mata Kazza, "Kau membuatku terkejut, Kazza."
Kazza berjalan menghampiri Chara dengan perlahan dan mata yang tidak lepas memperhatikan Chara, "Kenapa kau harus terkejut? Bukankah kau seharusnya sudah hapal dengan aroma yang dibawa oleh calon suamimu ini?" Kazza langsung memeluk tubuh Chara yang sudah berbalik sepenuhnya menghadap dirinya. Hidungnya menghidu aroma tubuh khas Chara yang memabukkan dari ceruk lehernya yang tertutupi helaian rambut panjang, kedua tangannya merengkuh punggung Chara agar semakin menempel ke dadanya yang bidang.
Chara membalas pelukan Kazza dengan kedua tangan yang melingkar di pinggangnya, "Sejak kapan kau ada di kamarku?"
Kazza menjawab dengan gumaman karena mulutnya yang sibuk mengecupi leher Chara. Dewi Pemanen itu mencoba menjauhkan wajah Kazza dari lehernya yang membuat tubuhnya merasakan gelanyar saat disentuh oleh bibir lembut Kazza. Kazza tidak menolak dorongan menjauh yang dilakukan Chara.
"Sudah dari tadi. Aku menunggumu pulang, Chara." Suara Kazza terdengar berat dan serak saat menjawab, pun matanya yang berkilat penuh hasrat saat menatap wajah cantik Chara. Langkah kaki Kazza berhenti beberapa langkah di depan Chara saat Kazza bisa mencium samar aroma khas Sirius yang tertinggal di tubuh Chara. Rahang Kazza berkedut, bibirnya menipis, dan matanya berkilat marah memupuskan hasratnya yang tadi terpancing saat Chara datang.
Kazza berusaha tersenyum menutupi geramannya yang sudah siap meluncur dari mulutnya, "Kau bertugas dengan Sirius lagi?" Ini bukan kali pertama Chara bertugas dengan Sirius dan meninggalkan aroma tubuhnya di tubuh Chara. Ia tahu Sirius pasti sudah menyentuhnya, entah tangan ataupun pundaknya.
Chara memiringkan kepalanya keheranan, "Iya, aku bertugas lagi dengan Sirius. Sebuah kebetulan karena Pohon Morti memilihkan tempat yang sama untuk kami." Chara tahu bahwa Kazza mengetahui semua yang terjadi pada para dewa-dewinya melalui cermin air miliknya, tetapi ia tidak tahu jika Kazza tahu dari aroma tubuh Sirius yang tertinggal di pundak Chara.
Bibir Kazza makin menipis. Ia berniat menghapus semua aroma tubuh Sirius yang tertinggal di tubuh kekasihnya itu. Mungkin Chara tidak sadar, tetapi Kazza tahu bahwa setiap kebetulan yang terjadi dalam pertemanan Chara dan Kazza menimbulkan perasaan cinta Sirius kepada Chara. Bahkan dari cara Sirius menatap saja, Kazza sudah bisa mengetahuinya dengan gamblang. Dan dia sama sekali tidak suka dengan hal itu.
Tanpa bisa ditahan, Kazza langsung menanamkan bibirnya ke bibir Chara yang sedikit terbuka ketika akan kembali berbicara. Mereka berciuman dengan pelan dan penuh kelembutan, lalu berubah menjadi saling melumat penuh hasrat. Chara melenguh karena kehabisan napas.
Kazza menjauhkan bibirnya dari milik sang kekasih, bibirnya terasa manis setelah mencium Chara. "Ada apa, Chara?" Kazza bertanya dengan nada tidak sabaran. Ia ingin segera melepaskan hasratnya kepada Chara.
Chara terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Aku sangat lelah hari ini, Kazza," tolak Chara halus. Chara memang benar-benar lelah hari ini. Bukan hanya secara fisik, tetapi secara batin juga lelah. Ia sangat ingin memiliki hati yang dingin saat memanen nyawa seperti yang dilakukan oleh dea-dewi lainnya, namun kenyataan ia tidak bisa melakukan hal itu. Bahkan ia juga tidak bisa mengubah wajahnya saat akan mencabut nyawa manusia.
"Kau tidak boleh menolakku, Chara. Kau tidak boleh menolak keinginan calon suamimu," gumam Kazza, lalu ia kembali mencium Chara dengan penuh gairah yang tidak lagi ditahannya. Menyentuh setiap bagian tubuh Chara, hingga Chara mendesahkan namanya.
Kazza melepaskan helaian demi helaian kain yang masih menempel di tubuh Chara, begitupula dengan pakaiannya sendiri. Kazza meninggalkan banyak jejak panas di tubuh Chara, menyentuh di setiap bagian yang ia inginkan sesuka hati tanpa perlu khawatir ditolak oleh sang pemilik tubuh.
Kazza menggerakan tubuhnya, menyatu dengan tubuh Chara, mendaki puncak kenikmatan bersama-sama, hingga akhirnya mereka meneriakan nama masing-masing yang memantul dari dinding-dinding kamar Chara.