Sewajarnya manusia, Beras adalah pendosa yang terlahir dari rahim seorang perempuan yang kehilangan kemurniannya, dengan dosa daging yang melekat di belulang sejak leluhurnya menyesap sari buah terlarang. Masyuk mencumbu dosa bukan lagi hal baru di bibir Beras. Kepulan asap rokok murahan beraroma tengik telah menjadi udara pokok yang ia hirup sehari-hari. Paru-parunya menghitam, terselubungi gas yang menyeret keluar bau asam tenggorokan para karyawan depresi yang mencandu rokok. Langit-langit mulut Beras selalu lengket, sarat akan minuman legit hasil fermentasi yang dikandung dalam barel di gudang anggur Italia. Banyak kisah cinta erotis kaum Nabi Luth, hingar bingar pesta pora orang herodian, dan dendam kelam orang-orang zelot yang menuntut penguasa otoriter tertiup ke gendang telinga Beras. Bila diceritakan menggunakan bahasa sederhana yang menurutnya hambar, seluruh anggota tubuh Beras bersahabat akrab dengan dosa.
Dunia yang Beras tinggali pun salah satu lipatan dimensi fana yang kotor, kubangan lembab tempat manusia-manusia bersimbah dosa menari mengikuti musik setan. Eyang Hamzah, kakek Beras yang dahulu di kenal sebagai papinya gadis-gadis, dengan bangga menyebut tempat ini 'DJABAT', surganya orang-orang bejat. Ya, di sinilah Beras menjalani hidupnya yang dilekati dosa, di sebuah kelab malam kelas menengah yang terselip di salah satu keliman jalan berliku Yogyakarta. Djabat bukan klub mewah dengan lantai marmer yang dikunjungi pembesar-pembesar berdompet tebal. Sejak tahun 1955, sosok Djagat yang kampungan hanya berwujud bangunan dari sebuah koridor panjang bertingkat tiga dengan jendela bundar bercat merah yang membanjar di satu sisi jalan sempit, bersembunyi di balik punggung gedung hotel gedongan Grand Inna Garuda. Djabat sekadar restoran minuman keras yang menyediakan lantai dansa berlapis glasswool usang yang sudah melekat selama satu dekade terakhir, dan juga daya tarik utamanya, meja-meja bundar bertiang yang menjadi altar tari telanjang.
Pengunjung Djabat hanyalah karyawan-karyawan muda yang ingin melupakan cacian keji Pak Direktur; sejumlah banyak pria paruh baya berwajah murung di meja bundar yang jijik melihat gelambir di perut istrinya; segelintir bocah SMA dari suatu komplotan kelas teri yang terbatuk-batuk ketika menyesap rokok. Orang-orang dari kelas pekerja biasa yang punya selembar atau dua lembar uang untuk membayar minuman alkohol sederhana. Tuak nira yang manis dicecap, tidak terlalu memabukkan, dan murah meriah telah menjadi primadona di Djagat sejak Eyang Hamzah menancapkan reklame kayu pertamanya di tepi jalan.
Rata-rata tamu setia Djagat menjalani gaya hidup semurah harga tuak nira. Beras, yang telah dilatih untuk mengoplos minuman keras di belakang meja kayu jati berbentuk setengah lingkaran sejak berusia legal, sudah terbiasa melihat air muka cerah membanjiri wajah para penenggak tuak nira yang semula semuram langit mendung. Lidahnya juga terlatih lincah menyahut racauan mereka yang mengeluhkan Tuhan masa kini yang menganak emaskan orang-orang kaya. Mereka biasanya menyerbu masuk melewati pintu putar dengan pundak merunduk, menempelkan pantat mereka yang datar dan berbau amis ke kursi yang berjajar mengelilingi konter bar, lalu mabuk-mabukkan sampai tidak lagi malu menceritakan pengalamannya melepas keperawanan atau keperjakaan. Mereka adalah manusia-manusia tersesat yang butuh pengalihan sesaat, dilanjutkan tamparan keras berupa realita-realita yang dituturkan Beras. Buas bunyinya, tetapi mereka memercayai bahwa para legiun mengumpilkan ludah di kawah berapi sehingga lahirlah Beras si mulut pedas, titisan yang ditugaskan untuk menjaga manusia supaya tetap terjaga selagi ironi menggilas raga.
"Dia memuakkan, Beras. Benar-benar sundal keparat! Berlagak seperti nyonya rumah, perempuan itu," geram Bima, seorang pengangguran dengan gelar sarjana hukum yang merangkak dari satu kantor hukum ke kantor hukum lain, berharap ada pengacara senior yang sudi menerima lulusan hukum tanpa gelar advokat sepertinya. "Oh, tidak." Bima meratap nelangsa. "Perempuan jahanam itu memang nyonya rumah. Namanya tertera di akta tanah. Aku hanyalah anjing tua kudisan yang bisa ia tendang dari pintu."
Perempuan itu. Demikian cara Bima menyebut istrinya di depan Beras, selalu begitu. Belum pernah sekalipun Bima menyebutkan nama wanita yang diceritakannya berperangai sekejam Delilah. Sekadar perempuan itu seakan ia hanyalah wanita acak berwajah buram yang ditiduri Bima semalam. Jiwa reseh Beras yang suka mengorek aib orang lain jadi bertanya-tanya, apakah istri kejam yang menyambut di rumah Bima cuma hawa amarah san kekecawaan yang diludahkan si pengangguran itu sendiri?
Sembari menyodorkan satu sloki tuak nira, Beras menyunggingkan senyum simpatik. Ia menepuk pundak Bima. "Anda punya gelar hukum. Anjing tua tidak punya apa-apa selain kudis yang mengeringkan kulitnya."
Kepalan tangan gemuk Bima meremas gelas sloki, lalu meneguknya dalam satu tarikan nafas. "Akan kubunuh perempuan itu. Lihat saja! Aku bakal mewarisi tanahnya yang katanya milik orang ningrat itu."
Beras memutar punggungnya kembali menghadap lemari kaca yang dipenuhi minuman-minuman keras dalam pelbagai botol berwarna-warni, meninggalkan Bima yang sudah memukuli meja. Beras mendesah berat. Lantang, ia mencecar Bima."Ya, silakan bunuh jalang murahan yang Anda nikahi. Anda tentunya tidak keberatan jika seorang pengacara probono mewakili Anda di hadapan Yang Mulia Hakim."
Andaikan Beras itu seorang pemuda ingusan sok pintar, Bima pasti sudah menghantam mulut kurang ajarnya dengan sebuah ayunan botol mewah berleher tinggi jagermaister yang terbuat dari kaca tebal. Sayangnya, Beras berjenis kelamin perempuan, seorang gadis yang sialnya memiliki wewenang di kepalan tangannya. Preman sangar berjenggot lebat yang menjulang setinggi dan sekekar gunung purba di dekat pintu kelab pasti sigap menyergap Bima, melemparkan tubuh lembeknya layaknya seonggok jasad tikus kering ke aspal jika Bima nekad melukai sang putri tuak.
Putri Tuak, begitulah Bima diam-diam menjuluki gadis muda berambut merah di depannya ini. Ia lahir dengan dibasahi ketuban dari arak, lantas darah di tubuhnya dibilas dengan anggur putih. Dia dimakhotai dengan nama Tuak Beras, kemudian disapih sesegera mungkin supaya Eyang Hamzah bisa meneteskan sebulir moke, minuman fermentasi siwalan dan enau yang pahit ke bibir bayinya.
Suara Bima melirih. "Tidak sudi, Putri Tuak. Pengacara probono itu amatiran." Lantas Bima beranjak pergi, menyisakan genangan tuak nira setinggi satu ruas jari di dasar sloki. Langkahnya menggebu mengarah ke arena meja bundar bertiang di sudut ruangan yang sudah dihinggapi wanita berbikini.
Kepada Melissa di sisi lain meja bar, ibu tunggal yang membesarkan putra penderita down syndrome, Beras bersikap manis selayaknya anak perempuan sehat yang tak pernah dimiliki wanita malang itu. Beras meletakkan secangkir cappucino yang disiram tuak nira. Cairan tuak yang semerah gula jawa mengalir membelah busa-busa krem di permukaan kopi. Beras mencondongkan tubuhnya mendekati Melissa. Nafas mereka menyatu, perpaduan sempurna antara aroma asam nikotin dari mulut Melissa dan semburan nafas tak berbau milik beras. Ia mengecup pipi Melissa. "Selamat menikmati, Budhe."
Melissa menyedot ingus, gayanya melankolis bahkan cenderung dramatis. "Terimakasih, Cah Ayu." Ujung telunjuknya mengaduk nira. "Polandia seminggu lagi lulus."
"Itu bagus!" Tangan Beras bertepuk keras, pura-pura antusias. Benaknya bertanya-tanya, mengapa Melissa menamai anaknya Polandia? Sebuah negara yang mungkin tidak akan pernah dijejaki kaki-kaki lemah sang anak.
"Uangku tidak cukup untuk membayar sekolah. Mereka begitu keji... Tak mau meluluskan Polandia, katanya." Melissa mulai terisak-isak. "Londo mareng itu juga kurang ajar. Dia baru mau kirim uang kalau aku sudah tidur dengannya." Seketika cahaya kekuningan dari bohlam di jantung atap ruangan menyoroti kulit gelap Melissa yang mengingatkan para pria kaukasia pada batu jet mengkilap.
Salah satu sudut bibir Beras terangkat naik, menyingkap selarik senyum miring yang aneh. Kegelian bercahaya di bilah gigi gingsulnya yang menyembul keluar. Sewaktu kecil, Bapak dan Ibuk menyebut senyum gingsulnya itu manis, tetapi setelah mereka bertahun-tahun menonton terbitnya senyuman itu, mereka mengatainya kejam dan mengerikan, seperti seringai seringai seekor serigala.
"Perawan malang..." Seringainya kian lebar saat Melissa mengangkat wajah. Tulang pipi tajam perempuan itu terlihat turun seakan-akan layu oleh kesedihan. "Budhe sungguh semalang perawan yang baru pertama kali menjajakan dirinya."
"Aku bukan perawan!" bantah Melissa, tak sepenuhnya memahami ucapan satir Beras.
Beras mengayunkan kakinya seringan balerina, mengitari meja selagi terkekeh. "Lalu apa bedanya, Budhe? Anda seorang wanita yang memiliki senjata mematikan di antara kedua paha. Gunakan itu." Beras berbisik tepat di telinga Melissa. Bibir Beras menyentuh giwang platina bertakhtakan batu opal yang menggantung di situ, jelas suatu perhiasan yang tidak mungkin Melissa beli sendiri. "Lagi."
Benak Melissa bising, diracaukan oleh dentang pedang berapi moral suci seorang katolik sejati yang beradu melawan sebilah sabel yang ditempa dari egonya sendiri. Andai saja, duabelas tahun lalu ia membiarkan gunting si dukun beranak memenggal kepala jabang bayinya... Oh, seandainya dahulu dia mencelupkan kepala lembek bayi itu ke dalam baskom berisi air hangat dan membiarkannya mati dalam kesunyian yang bergeming... Tanpa bisa ia cegah, delusi-delusi berdarahnya yang keji menggema di kepalanya, terdengar mendesak seperti perintah yang dititahkan. Polandia, bocah lelaki dengan mulut terbuka yang selalu meneteskan liur itu adalah sumber penderitaannya di bumi. Namun, Melissa dibesarkan secara katolik. Dia terbiasa membanting lututnya ke tangga altar yang bertaburkan biji-biji beras. Kekuasaan yang meraja nun jauh di atas awan akan menghakiminya. Tuhan membenci dosa!
Melissa menampari wajahnya sendiri. Seandainya saja Beras tidak merebut gelas sloki kosong dari tangan Melissa, pasti janda merana ini sudah menghantamkannya ke kepala sendiri. "Kamu bukan pemungut cukai dari kitab Lukas, Melissa," desis Beras sinis sebelum meninggalkannya menangis tersedu-sedu.
Di luar meja melingkar yang mengelilingi konter bartender, di meja kokoh dari kayu eboni impor dengan sepasang sofa bersandaran tinggi bak singgasana ratu inggris yang disembunyikan oleh kelambu biru muda, duduk Julian Wijaya, selebritis muda yang rupawan, elegan, dan menawan selayaknya pangeran. Pemuda ini, yang memarkirkan mobil platina mengkilapnya di pintu Djagat sebulan lalu, datang membawa sekelumit drama percintaan. Siulannya melantunkan simfoni mendayu-dayu yang melambangkan kehancuran hatinya.
Kala kedatangan pertama Julian yang mengenakan setelan tuksedo mahal berwarna merah marunnya, Beras meneliti sosok lelaki itu dengan cermat. Mata Beras memincing, bergulir dari sejumput rambut cokelat Julian yang ditata dalam gaya terbaru hingga ke ujung sepatu pantofel hitamnya yang memancarkan kemilau putih. Terlalu flamboyan, Beras menilai. Bukan seperti pengunjung Djagat biasa yang bersetelan murah. Beras langsung menodong Julian begitu lelaki itu tiba di konter bar. Bukan seperti pramusaji restoran biasa yang menanyakan pesanan dan dengan senyum matahari menjelaskan menu-menu unggulan, Beras membentak Julian. "Mau apa ke sini, Tuan Muda? Nggak ada tempat buat orang elit semacam Anda."
Kepicikan Beras yang frontal dibalas dengan lengkungan senyum lemah yang biasanya hanya terpatri di wajah pesakit sekarat yang melihat bayang-bayang surgawi. Pada saat itu, Julian tersenyum, sungguh. "Seorang kawan lama dari Jogja bilang begini: 'Jika kamu ingin menghentikan perputaran bumi sejenak untuk sekedar menghela nafas dan berhenti berlari sejenak, carilah gadis bernama Beras. Di rimbaan miras, dia siap menuangkan ramuan mimpinya ke mulutmu."
Beras tersanjung, tentu saja. Sisik kasar yang membungkus tubuhnya mendadak terkelupas, menampilkan kulit telanjang sepolos dan semerona bayi. Dia segera menyajikan ramuan saktinya, arak khas Bali bergambar raut garang leak yang terbuat dari fermentasi nira dan beras, dituangkan ke semangkuk es puter dingin. Setelah menyesap arak hingga tetes terakhir, mulut Julian terbuka. Ia mengoceh, balada menyedihkan yang melibatkan dirinya dan sang cinta sejati yang ditemukan tak bernyawa, tertelungkup di bak mandi suatu motel tak berbintang dengan darah yang mendingin. "Ucapkan sesuatu yang kejam, seperti yang biasa kamu lakukam, Beras," desak Julian. Beras ingin mengatakan, "Kalau kamu pengecut, lebih baik kamu mencari gedung tertinggi di kota lalu terjun dari sana. Jemput pacar matimu itu di alam baka.", tetapi yang mulutnya malah terkatup erat. Untuk pertama kalinya, Beras membisu di hadapan penderitaan orang lain.
Malam ini, entah malam yang keberapa puluh sejak kedatangan Julian di pintu putar Djabat, Beras mengantarkan satu botol arak bali yang masih dilabeli gambar wajah leak yang menyeringai ke meja privat Julian. Botol hijau berleher tinggi itu berdiri tunggal di nampan, tanpa pendampingan mangkok kecil berisi es puter.
"Hai, cantik." Julian menyapa ketika Beras menyibakkan tirai. Di pangkuannya, ada sesosok pelacur muda berambut panjang yang dicat pirang keemasan sedang memeluk leher Julian. Pelacur itu, yang tak lain adalah sepupu Beras sendiri, Sima, terkikik nyaring saat tangan Julian membelai punggungnya. Tempat privat yang selalu dipesan Julian ini berada di sudut rahasia Djabat, di belakang panggung disc jockey di lantai dansa. Aman tersembunyi dan ditenggelamkan aiuhnya musik EDM yang berdentam-dentam, satu kikikan atau desahan kecil tidak akan terdengar.
Mulut Beras mengernyit jijik. Dia berusaha mengabaikan sepupunya yang bergelung manja di paha Julian. "Bagus, Julian. Pacar matimu di alam baka akan tersenyum penuh kemenangan. Setelah kepergiannya yang egois, ternyata kamu menggantikannya dengan seorang pelacur," ujar Beras panjang lebar. Walaupun setelah mengucapkannya mulut Beras kering kerontang, batinnya bersorak bangga. Dia berlatih cukup lama untuk meludahkan kekejian di hadapan Julian yang tampan dan bermata besar berbinar-binar bagaikan anak anjing lemah. Belasan malam lamanya, akhirnya Beras berhasil mengabaikan mata cokelat indah Julian, dan mencaci kelakuannya. Beras bukan gadis baru akil baligh yang polos. Beras mulai menaksir Julian sejak pertemuan pertama mereka di bar. Cinta, gairah, dan damba adalah perasaan bodoh yang akan mengacaukannya. Beras harus mengenyahkan rasa duniawi semacam itu.
Sebelum Beras sempat meletakkan nampan di meja, Julian bergegas bangkit. Di kaki kursi, Simma jatuh terguling, jelas sekali Julian mengacuhkannya sekalipun ia sudah merintih. Julian berkacak pinggang dengan sangar, kurang dari satu langkah di depan Beras. Samar-samar, Beras bisa membaui aroma segar parfum mahal yang bertebaran di setiap lipatan kemeja Julian.
"Jaga mulutmu, Beras." Julian meraung. "Berani-beraninya kamu berkata seperti itu! Jangan sok tahu tentang Lisa! Kamu bahkan tak mengenalnya."
Beras memutar bola matanya. Jengah. "Setahuku, pembelaan seperti barusan tidak membantu rohnya sama sekali. Satu-satunya jalan yang bisa memadamkan api penyucian yang menghanguskan jiwanya adalah doa. Ikuti misa arwah, doakan pacar matimu itu."
Pacar mati. Binar-binar berkilau di mata Julian padam, tersisa iris yang cokelat yang begitu gelap, nyaris hitam. Julian sadar, gadis bartender ini tidak pernah menyebutkan nama Lisa.
Pacar mati, itu julukan yang selalu keluar untuk memanggil Lisa-nya terkasih.
Pacar mati, artinya seorang kekasih yang sudah meninggal, raga kaku berambatkan belatung yang terbenam tujuh kaki di bawah sana. Tuhan, yang konon mahapengasih pun mendecih jijik mendengarkan ratapan Julian yang menggedor-gedor gerbang alam baka, memanggil-manggil nama seorang roh yang dibakar bersama roh-roh manusia lain yang tidak terhingga jumlahnya.
Sekalipun Julian mulai memukuli kepalanya sendiri dan meneangis darah, Tuhan yang Mahakuasa tak bergeming, diri-Nya tak sudi memjentikkan jari untuk seorang pemabuk cengeng.
Arak bali dalam botol hijau di nampan mendadak menggelegak menggiurkan, buih-bubuhan meletup menggoda Julian. Gigi taring si leak di lambung botol meruncing seakan seringainya bertambah lebar sewaktu Julian bersitatap dengan mata bundar kekuningannya. Julian meraih arak, lalu langsung menengguknya. Julian memagut mulut botol, memcumbunya penuh gairah seperti tatkala ia mencium bibir hangat Lisa. Setengah teler, Julian menghempaskan diri di sofa.
Diri Beras menjulang di seberang meja. Pandangan Julian mulai mengabur, tapi entah bagaimana, wajah Beras kian jelas, serupa teratai mekar yang mengapung di danau beriak. Helaian rambut kemerahan Beras yang membingkai wajahnya berkibar, gadis itu terlihat membara bagaikan dewi berambut api. Kepala rajah ular kobra hijau di relung tulang selangka gadis itu sekonyong-konyong menggeliat hidup. Julian melihatnya sejelas gajah di pelupuk mata ketika Beras berlutut di sebelah kursi.
"Selamat, Julian." Beras berbisik. "Teruslah menjelajahi koridor Djabat. Kecup saja semua botol miras yang di sini. Niscaya, kamu takkan hanya sekedar kehilangan seorang kekasih lagi. Dunia, bakatmu, dan cinta sejuta gadis yang menggilaimu di luar sana yang kamu miliki pun akan segera direnggut darimu." Beras mengucapkan vonisnya sekejam penyihir yang merapalkan kutukan.
Untuk yang ketiga kalinya malam ini, Beras beranjak memunggungi pelanggan. Tak terdengar oleh telinga biasa, tawa puas menggema di hati Beras. Mulutnya memang bebal dan jahat, suka menebas-nebaskan ujung lidahnya yang setajam keris Surya Panuluh untuk menyayat sukma seseorang. Setan cilik berotak licik, kata Bapak yang kini tidak pernah nampak lagi batang hidungnya. Perempuan kuat bermulut pintar, puji Ibuk, bangga melihat putrinya mengucapkan segala hal yang menjerit-jerit lantang di otak Ibuk sendiri. Beras memang raja tega yang gemar menari di atas tanah kuburan orang lain. Dahaganya terpuaskan saat ia menenggak air mata kesedihan yang dicucurkan manusia. Namun, pagi ini, ketika terpaan pucat fajar hendak mengusir setan-setan pesta yang melompat-lompat girang di lantai dansa Djabat, Tuhan mengutus seekor domba-Nya yang berbulu seputih salju di antara kawanan serigala untuk menguji Beras yang berbibir semerah kirmizi dengan mengembik sekarat.
***
Mentari mengintip malu di belakang punggung Gunung Merapi yang bertakhta agung di tepi cakrawala utara Yogyakarta. Terselubungi kisi-kisi awan yang mengalungi tubuh kekar Merapi, cahaya jingga pucat matahari menyorot lemah langit pagi yang masih kelabu. Pagi hampir tiba, udara di Djabat tidak lagi panas dan berbau apak akibat asap rokok yang menyesakkan. Kebanyakan pengu jung telah kembali ke dunia nyata, meninggalkan puntung-puntung rokok hangus dan botol miras remuk di segala penjuru Djabat. Kerah-kerah yang semula dilonggarkan kembali ketat dililit dasi, seakan-akan para pengunjung yang berprofesi karyawan baru saja lembur semalaman di kantor, bukan berpesta pora di kelab murah Djabat. Mereka mengentas-kan diri dari lantai dansa, melambaikan tangan kepada Beras di konter bar, melenggang pergi meninggalkan pintu putar Djabat, siap menyongsong hari baru jika mereka tidak terlampau teler.
Di gedung Djabat yang memanjang, jendela-jendela berdaun lebar dibuka, udara segar yang menggiring aroma dedaunan berembun diizinkan masuk menyucikan atmosfer ruangan. Tersisa pelayan-pelayan kelab berkemeja putih yang sedang memunguti puntung rokok; Gondrong, tukang pukul kesayangan Djabat yang bertubuh sekekar gunung asyik menyesap rokoknya di pintu putar hang separuh terbuka; beberapa pelacur cilik berharga murah terlihat berkumpul di sofa, saling membenahi riasan wajah. Beras, si gadis bartender, sudah mengemasi bawaannya yang tidak seberapa dan berniat untuk segera naik ke kamarnya di lantai tiga, andaikan suara menggelegar Gondrong sang tukang pukul tidak memanggilnya.
"Beras! Kemari! Demi Tuhan, seseorang mencarimu!"
Beras memutar langkahnya yang telah memijak anak tangga pertama. Ketika dia tiba di ambang pintu, suatu pemandangan yang tidak pernah ia harapkan menyambutnya: saudari kembar identik Tuak Beras, yakni Tuak Nira yang jelita, berkulit pucat, dan berambut hitam panjang berdiri menopang seorang laki-laki sekurus tengkorang yang berwajah runcing dan bermata bundar besar seperti tikus, bersandar di pundak Nira dengan mulut menganga.
Belum sempat Beras mengucapkan sepatah kata pun, laki-laki yang dibawa Nira meracau dengan suara serak yang berkeriut seperti derit gerbang berkarat. "Kamu harus menolongku, bayi setan. Kamu harus menolongku."
Nira menyerobot. "Aku menemukannya berjalan sempoyongan di gang. Dia tersesat ke kelab lain, dibuat teler, dan dirampok, Beras. Dia mengira aku ini dirimu."
Mata Beras bersitatap dengan mata bundar si lelaki yang berwarna hitam pekat, dinodai syaraf-syaraf merah yang menegang di bagian putihnya. Mata itu hitam pekat, tetapi tampak kabur, entah karena air mata atau kabut penderitaan yang terlalu kental. Matanya bengkak seolah ia telah menangis sepanjang hidupnya, meratapi kekejaman dunia yang menolaknya. Seketika itu juga Beras mengetahui siapa pemilik mata hitam berkabut yang menyedihkan ini.
"Lesmana, ya?" Beras menghela napas panjang. "Katanya, kamu mau bunuh diri bertahun-tahun lalu. Belum punya keberanian cukup? Atau kah kamu mulai mencintai lawakan kehidupan yang gemar memperolokmu?"
Satu lagi jiwa yang tersesat, mencari pertolongan di altar Djagat, seolah kelab ini adalah gereja dan Beras ialah Tuhan yang menjadi tempat mereka membanting lutut, menggantungkan harapan, memohon pertolongan dari atas sana. Atas lelucon durhaka ini, Beras tertawa terbahak-bahak.
Dia berkata. "Mari masuk, anakku sayang."
Nada bicaranya manis, nyaris keibuan.