Cinta Di Putih Abu-Abu (Tidak dilanjutkan di sini)

🇮🇩MrsDharma
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Si Sableng

"Sepeda kenapa pakai acara kempes sih bannya." Aku menggerutu. Benar-benar tidak bisa diajak kerja sama.

Aku terus menuntun sepedaku menuju sekolah. Entah bagaimana nanti pulangnya. Aku berdecak. Masuk sekolah saja belum, mikir bagaimana pulangnya. Jarak antara rumah dan sekolah dapat ditempuh dengan bersepeda selama tiga puluh menit. Namun jika berjalan kaki bisa lebih dari itu.

"Tadi kenapa enggak bareng Faiz aja, ya. Padahal dia tadi sudah nawarin jasa."

Aku berdecak lagi. Faiz adalah adikku. Dia duduk di bangku SMA kelas sepuluh. Kami sekolah di tempat yang berbeda. Entah kenapa Faiz tidak mau satu sekolah denganku. Atau aku yang bodoh karena Faiz diterima di sekolah favorit?

'TOET!'

Aku terlonjak hingga hampir menjatuhkan sepedaku. Bunyi klakson motor itu membuatku terkejut. Aku hendak memaki ketika kulihat cengiran orang yang beberapa hari ini tidak ingin kulihat. Evan. Seharusnya aku hapal dengan bunyi klakson motornya yang tidak biasa itu namun tetap saja aku kaget.

"Oy, kenapa sepeda dituntun? Kayak nuntun sapi. Emang berat, ya? Lemes bener."

Aku memutar mataku pada ucapannya. "Apaan sih. Enggak jelas." Kataku menggerutu kemudian menuntun sepedaku lagi. Tidak kupedulikan tawa senangnya.

"Mau ke mana?" tanyanya masih mengendarai motornya perlahan di sampingku.

"Mau makan." Jawabku asal yang membuatnya tertawa terbahak-bahak.

"Lucu banget sih, Bells."

Bells. Hanya dia yang memanggilku seperti itu. Aku dan Evan sudah kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar. Evan yang jahil membuat wali kelasku ketika SD menyuruh dia duduk di sampingku yang pendiam dengan tujuan supaya dia ikut diam ssepertiku. Bukan Evan namanya jika berubah pendiam. Evan tetaplah Evan. Dia tetap belingsatan.

"Bells, minta pendapat dong."

Aku melirik Evan. Hidung mancungnya berkerut dan bibirnya mengerucut. Dia seperti berpikir keras. "Apaan?" tanyaku tanpa minat. Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini berakhir.

"Alisa lagi ngambek sama gue, Bells. Gue mau bujuk dia. Beli apa ya, Bells?"

Aku cemberut. Kan! Aku sudah tahu ujungnya ke mana. Selalu seperti itu. Membicarakan Alisas. Eh tapi ngambek adalah hal yang baru bagiku. Aku jadi penasaran kenapa Alisa ngambek. "Ngambek kenapa dulu?" tanyaku.

"Cemburu." Jawab Evan yang membuatku spontan menoleh padanya.

"Cemburu kenapa? Lu punya cewek baru?"

"Heh!" Evan menjulurkan tangannya lalu menjitak kepalaku pelan. "Enggak, ya."

"Ya terus cemburu kenapa?"

Evan tertawa. Tawanya begitu geli. Dia seperti membayangkan sesuatu yang membuatnya bergidik. "Dia cemburu sama lu, Bells. Dia kira gue tuh suka sama lu. Gue tuh anggap lu cuma sahabat. Enggak lebih."

Deg!

Teman ya?

Oke.

Tapi memang kami berteman. Kami sudah memegang prinsip itu sejak lama. Kami sepakat tidak akan saling jatuh cinta. Kami harus memutuskan mitos bahwa tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan.

Aku tertawa. Berusaha tertawa lebih tepatnya. Entah, hatiku merasakan lain. Aku kini seperti Alisa. Cemburu tetapi itu pun jika pasti.

"Ya, kan?" Evan ikut tertawa. "Gue aja ragu, lu beneran perempuan apa bukan."

"Heh!" aku meneriakinya. Apa katanya barusan? "Sialan lu." Kataku sebal.

"Lagian, lu enggak nafsu waktu gue hampir telanjang di depan lu waktu itu. Inget, enggak?"

Aku tertawa mengingat hal itu. "Enggak nafsu gue." Kataku masih tertawa.

Aku sering datang ke rumahnya untuk mengerjakan tugas bersama-sama. Evan termasuk orang yang pintar jadi aku memintanya mengajariku. Kala itu, Evan sedang berganti pakaian ketika aku masuk ke dalam kamarnya. Dia hampir melepas bebas handuk mini yang melilit pinggangnya ketika kuteriaki dia untuk merapatkan lagi handuknya. Bukannya merapatkan handuknya, dia malah ingin memamerkan padaku. Evan memang sableng.

"Gue juga enggak nafsu sama lu, Bells. Badan lu kecil begitu. Harusnya badan lu tuh mekar di bagian tertentu, Bells. Bukannya sama aja kayak anak SD."

"Sialan lu." Gerutuku merapatkan jaket yang kupakai.

Lalu tiba-tiba Evan berhenti yang membuatku ikut berhenti. Dia merogoh saku celana abu-abunya/ ditarik keluar ponselnya. Senyum merekan dibibirnya tatkala dilihat siapa yang meneleponnya.

"Cewek gue." Ucap Evan padaku sebelum mengangkat telepon. Aku hanya mengangguk lalu menungguinya berbicara dengan Alisa. "Halo sayang." Sapa Evan sangat lembut.

Aku mencibir. "Pret!" kataku yang pasti di dengar olehnya.

Evan melirikku lalu tangannya dengan bebasnya menarik rambut kuncir kudaku sementara bibirnya berucap kata-kata manis pada Alisa. Aku mengaduh lalu memperbaiki ikatan rambutku. Dasar Evan!

"Aku lagi di jalan mau ke sekolah." Ucap Evan. Ada jeda. Alisa bertanya. "Sama temen." Jawab Evan. "Namanya Bella." Jawab Evan lagi yang membuatku memutar mata.

"Bego." Gerutuku pelan memelototinya. "Udah tau ceweknya cemburu. Pake bilang sama gue."

Evan mengerucutkan bibirnya padaku. Aku tersenyum pada aksinya. Dia lucu jika sudah seperti itu. Ingin sekali kutarik bibirnya dengan tanganku.

"Yakin deh, Sayang sama kamu. Bella tuh Cuma temen. Dia tuh … halo? Sayang? Lisa?" Evan menatap ponselnya. "Lah, kok dimatiin, sih? Halah. Cewek gue kalau mau PMS begini nih."

Lalu Evan menatapku. Tatapannya memelas. "Apaan tuh muka?" tanyaku curiga.

"Bells, tolongin dong. Bilang sama Alisa ya kalau lu enggak suka sama gue."

Aku berkedip mendengar ucapannya itu. Apa katanya tadi? Apakah bisa aku mengatakan itu pada Alisa? Apakah benar hatiku mengatakan sama yang dikatakan Evan? Kutarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Oke."

Senyum Evan terbit. Senyum yang selalu membuatku ikut tersenyum. Aku suka senyumannya, cemberutnya, dan semuanya. Sejurus kemudian aku berdecak sebal. Apa sih yang kupikirkan.

"Kenapa, Bells? Berubah pikiran?"

Kutatap Evan yang mulai khawatir aku tidak akan membantunya. Aku tersenyum lalu menggeleng. "Enggak. Gue lagi bingung cari bengkel sepeda." Jawabku seraya menengok ke sana kemari.

Evan mengikuti arah tatapanku. Dia ikut berdecak. "Masih pagi juga sih, Bells. Bengkel motor juga belum ada yang buka." Katanya yang kuangguki. "Lu mau bareng gue ke sekolah?"

Aku menggeleng cepat. Tidak. Aku sedang berusaha untuk memperbaiki hatiku yang melenceng jauh dari janjiku bahwa aku tidak menaruh hati pada Evan. Lagi pula aku tidak mau membuat Alisa ataupun fans fanatik Evan mencakar wajahku.

"Kenapa emangnya?"

"Sepeda gue?" untung aku ada alasan lain. Untung aku masih bisa berpikir cepat. Yeay untuk diriku yang cerdas.

Evan menatap sepeda yang kubawa lalu mendengus. "Lagian, sepeda jelek begitu lu pake. Besok-besok, lu pake sepeda gunung gue aja. Jarang gue pake."

Aku menggeleng. "Ogah. Berat sepeda lu."

Evan tertawa. "Lu yang kurus jadi enggak kuat bawa."

Aku mulai menuntun kembali sepedaku. Evan kembali mengikutiku yang membuatku meliriknya. "Udah sana. Gue bisa sendiri."

"Gue temenin sampe sekolah."

"Entar lu telat, Van."

"Kita telat bareng-bareng. Hormat bendera berdua. Romantis kan tuh."

Aku menggeleng pasrah. Evan dan kekeras kepalaannya membuatku menyerah. "Terserah lu deh. Asal lu bahagia mah." Kuangkat pergelangan tangan kiriku. Tempat jam tangan pemberian Mama. Waktu menunjukkan hampir pukul tujuh. "Yah, Van."

"Kenapa? Kita hormat bendera berdua ya?"

Aku mengangguk.

"Sip. Romantis." Katanya lalu tertawa terbahak.

Aku cemberut. Evan tidak membantu sama sekali. "Lu kenapa malah seneng dah? Heran gue." Aku benar-benar tidak habis pikir.

Dia menatapku sekilas. Dimatikan motornya lalu menjalankan motornya menggunakan kedua kakinya. "Ya gue mesti bilang apaan? Lu enggak mau naik motor bareng gue. Kenapa emangnya sih? Dari dulu lu tuh enggak mau boncengan sama gue."

Mataku berkedip. Apa yang harus kukatakan padanya? Apakah tidak apa-apa aku mengatakan padanya?

***