Bagi mereka, aku seperti sebuah kenangan
Terlalu indah untuk dilupakan
Terlalu sakit untuk dikenangan
~Rhesa Alana Hanggini
______________________________
Aku melihatnya sedang melamun disalah satu bangku taman sekolah yang mulai lapuk, telinganya tersumpal oleh sebuah earphone putih yang sepertinya mengalunkan lagu yang indah. Jangan salahkan aku, jika saat ini aku terpesona akan senyuman tipis yang kebetulan terpatri disana.
Aksara Kalandra, aku tahu nama lengkapnya dari mading sekolah yang selalu up to date tentang cerita-cerita di SMA Persada. Dia teman satu angkatan ku, kekasih saudari kembarku, dan juga mantan terindah yang masih belum berhasil ku lupakan.
"Aksa!" begitulah dia disapa oleh gadis berambut panjang berwarna pirang sepunggung yang selalu dibiarkan tergerai itu, dia berjalan menghampirinya sambil menerbitkan sebuah senyuman. Lengkungan bibirnya indah seperti mentari, begitu menghangatkan dan mungkin saja senyuman itu yang mampu mencairkan bongkahan es batu dalam diri Aksara.
Lihatlah! Bagaimana pemuda tampan itu bisa membalas senyuman lebarnya, lalu tangan hangat miliknya yang saat ini tengah mengelus rambut panjang nan halus milik gadis itu. Sungguh, aku ingin menjadi Aluna. Sekalipun, sejak pertama kali aku menghembuskan napas pertama kalinya, aku memang telah menjadi dirinya yang lain. Gadis itu, saudari kembarku.
Aku sama sekali tidak mengalihkan pandangan mata kenari ini, mata yang sering mengeluarkan lelehan kristal dan mata yang menjadi saksi semua tentang cerita tentang hubungan masa lalu yang kandas diujung jalan.
"Alana! Gila lo ya, gue cariin lo kemana-mana ternyata disini" Yah, namaku Alana. Lebih tepatnya, Rhesa Alana Hanggini.
Aku nyengir kuda, merasa tidak bersalah telah merepotkan Zora. Sahabatku di SMA Persada, dia tampak kesal denganku. Gadis cantik berkacamata namun, dia bukanlah seorang nerd seperti didalam sebuah cerita novel. Zora lebih dari seorang most wanted, salah satu gadis populer yang sering mendapatkan prestasi luar biasa. Pengecualian dalam pertemanan, dia lebih memilih gadis biasa sepertiku.
"Sorry deh, jadi ikutan ekskul modelling?"
Tanyaku padanya, Zora mengangguk antusias. Sesuai dengan wajah, dan body goals nya. Sangat disayangkan jika Zora tidak bergabung dalam ekskul modelling, yang menjadi lahan prestasi gadis cantik di SMA Persada. Tidak sepertiku yang malas, jika bukan karena menuruti keinginan mama tidak akan pernah ku sentuh lembaran formulir pendaftaran ekskul modelling. "Lo sendiri gimana, Al?"
"Gue ikutlah, tapi jujur males banget" kataku sambil menarik tangannya pergi dari taman belakang sekolah, kami berjalan melewati koridor kelas yang sudah sepi. Maklum, jam pulang sekolah seperti ini apalagi hari jum'at ketika kelas dibubarkan lebih awal dan hanya ada ekskul modelling dan ekskul pramuka wajib untuk kelas sepuluh.
"Lo tadi ngintipin Aksara sama Aluna lagi?"
Aku menggedikan bahu santai, tapi senyuman dibibirku tidak pernah luntur. Bisa dibayangkan bukan? Bagaimana perasaanku melihat orang yang ku suka, bahagia tentu saja. Walaupun, dia adalah kekasih dari Aluna–saudari kembarku yang lahir lebih dulu dan mengambil semua gen baik dari papa dan mama, kecuali mata indah ber-iris hazel yang mirip sekali dengan sepasang mata mama.
Sekalipun wajah kami seperti sebuah benda yang sama, namun aku berbeda dengan Aluna yang mendapatkan segalanya. Aluna seperti sebuah magnet yang mampu menarik apapun didekatnya, dan seakan memiliki medan yang bertolak belakang dariku. Jika Aluna menjadi siswi terbaik, tercantik, aku sebaliknya.
"Yang dulu sok-sokan mutusin dia, terus sekarang gagal move on dong. Udah deh, entar bintitan mata lo. Tiap hari ngintipin orang pacaran mulu"
"Lo salah makan ya? Gila aja, Aksara itu cintanya sama Luna dan begitupun sebaliknya. Kalo gue masih keras kepala buat pertahanin Aksara, yang ada ngesek tiap hari lah"
Zora tertawa, "Makanya lo sama Nathan aja sih" Aku memutar bola mataku malas, selalu saja Nathan atau pemuda yang kerap ku sapa Jonah. Pemuda yang sering menjadi sorotan disekolah, karena kenakalannya. Apalagi Jonah, adalah seorang ketua geng terkenal yang para anggotanya rata-rata bertubuh tinggi dan atletis. Namun, berkelakuan seperti Jonah kecuali, Aksara tentunya. Membolos kelas, tidak mengerjakan tugas, merokok didalam bilik toilet ataupun di rooftop sekolah susah seperti sebuah tugas utama Jonah dan gengnya.
"Kalo gue sama Jonah, keturunan gue auto jadi badchildren semua! Apalagi kayak dia semuanya, gue mati muda Zora!" Sudut mataku menangkap jika orang yang sedang kami bicarakan sudah muncul dari belokan koridor.
"Jonah lagi, Jonah lagi"
"Kenapa manggil nama gue? Kangen ya?"
Kami terkekeh geli, dia sudah seperti setan, tiba-tiba sudah berada dibelakang kami. Begitu dia datang, dan merangkul pundak kecilku, bau asap rokok seketika menguar dihidungku.
"Ish, lo habis ngerokok ya?"
Aku langsung menjauh, bukan karena aku benci dengan rokok. Hanya saja, sedang malas berurusan dengan guru BP atau ajudannya disetiap kelas. "Slow aja kali Lan, nanti gue kasih parfum import deh"
Jonah kembali meraih tubuhku, pada akhirnya aku menyerah. Membiarkan tubuh jangkung tersebut merangkul bahuku, kami bertiga berjalan bersama memenuhi koridor-koridor sekolah yang sudah sepi.
"Gak sudi gue, habis ini lo latihan gak?" Jonah bergeleng kecil, lalu menuntunku ketempat ekskul modelling.
"Kenapa? Mau ngajakin gue jalan?"
Disampingku, Zora terkikik geli. Apalagi, jika bukan khayalan tingkat dewa otaknya. Tentang Jonah yang jatuh cinta denganku, itu adalah opini yang paling aku tolak. Kenapa? Ya karena aku hanya menyukai Aksara.
" Gak kok cuma nanya!"
"Kirain mau ajak gue jalan, gue sih oke aja"
"Zora apaan deh!" seruku ketika dia, sibuk memotret kebersamaanku dengan Jonah. Terlebih Jonah justru terlihat begitu antusias, memasang pose dan tampang cool ditambah rangkulannya semakin erat. Aku berusaha menyingkirkan tangannya yang berat, dari bahuku.
Sesampainya didepan ruangan yang tak lain adalah ruang ekskul modelling, Jonah berpamitan untuk pergi.
Aku menatap gadis cantik berambut panjang yang sudah duduk bersama teman-temannya, dia Aluna. Hari ini, dan memang sejak tahun lalu dia adalah ketua ekskul modelling. Dia adalah salah satu siswi good-looking, berprestasi dan mahir dalam segala bidang.
"Al!" Panggilnya sambil menghampiriku, aku hanya menatapnya sekejap. Berlalu mengikuti langkah Zora yang sangat antusias dengan ekskul ini.
Dia berjalan dengan anggun, layaknya seorang model yang tengah berjalan ditengah red carpet. "Al, aku panggilin juga dari tadi!"
"Kenapa?" tanyaku cuek.
"Kamu gak harus melakukan ini, mama pasti ngerti apa kesukaan kamu!" Aku tidak mendengarkannya, aku mengambil headphone diransel biru tua milikku. Menutup kedua telingaku rapat-rapat, memutar lagu dari Rolling Stone dari Yuki penyanyi Jepang kesukaanku.
Aku terus duduk dipojok tanpa minat untuk melihat ataupun mengikuti ekskul ini, hanya mendaftar lalu mengisi daftar absensi tanpa harus berpartisipasi dengan mereka. Aku benci segala hal yang berhubungan dengan Aluna, kecuali tentang Aksara.
"Alana!"
Aku berjengit pelan karena terkejut, di depanku sudah berdiri wanita dewasa bertubuh tinggi semampai dan tentu saja memiliki body goals tak jauh berbeda dengan siswi kesayangannya, Aluna. "Eh, iya bu?"
"Daripada kamu disini cuma nongkrong tidak jelas, dan berharap memiliki nilai dari ekskul saya. Lebih baik, kamu pulang dan mendaftar ekskul lainnya!"
Begitu mengatakannya Bu Rumi pergi, aku hanya menatapnya kesal. "Dasar guru galak!" Gumamku lalu segera melesat pergi dari ruangan bak neraka tersebut.
***