Na... na... na... na... na...
Mimpi abstrak Ares terputus ketika melodi yang mendayu-dayu menyelinap masuk dalam pikirannya. Nada itu terdengar merdu. Senandung ketenangan yang membawa harapan. Namun bagi Ares yang dipaksa mendengarkan, nada itu meneriakan syair kesepian. Dia telah terbangun untuk yang ketiga kalinya oleh senandung itu. Tidak ada seorangpun disekitarnya yang sedang bernyanyi, tapi suara itu seperti bisikan angin tanpa wujud.
Semuanya terjadi sejak ulang tahunnya yang ke-17. Ares merasa hal-hal aneh mulai bermunculan.
Dimulai dengan munculnya tattoo abstrak di leher kirinya yang memanjang ke bahu.
Ares ingat tertidur tanpa benda itu di atas tubuhnya. Tapi tidak peduli bagaimana dia mencoba membersihkannya, gambar itu seperti sudah di tattoo di atas kulitnya.
Kemudian mata.
Ares terlahir dengan mata hitam orang Asia. Dia menatap cermin setiap hari selama tujuh belas tahun dalam pantulan hitamnya. Namun pagi itu dia melihat iris biru dalam mata yang balas menatapnya. Ares harus mengedipkan matanya berulang kali untuk meyakinkan dirinya.
Anehnya, ibunya sendiri yang membesarkannya hingga kini tidak menyadari perubahan apapun darinya. Dia bertindak seolah hal itu sudah ada dalam dirinya.
Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ketakutannya ketika sepasang sayap transparan muncul dari punggungnya. Dia berteriak sekuat tenaga hingga mengundang keributan kecil dilingkungan tempat tinggalnya. Orang-orang mungkin menganggapnya usil, tapi sesuatu jelas terjadi padanya. Sayap yang telah mengejutkannya seperti putri malu. Mereka segera menutup diri dan melebur ditulang punggungnya seperti entitas hidup yang ketakutan. Ares yakin bisa memanggilnya kembali jika dia menginginkan. Dia bisa merasakan keberadaannya seperti sepasang tangan tambahan.
Ares menghabiskan hari kelahirannya dengan memutar otak terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi padanya. Eksperimen manusia? Seseorang yang terpilih untuk menyelamatkan dunia? Keturunan elien? Sebagai penggemar komik fantasy action, pikiran Ares jelas melantur ke hal-hal fiksi semacam itu. Bukannya panik dan ketakutan, dia justru penuh antisipasi.
Sepanjang hari Ares membuka dan menutup sayapnya. Sayap itu hampir satu meter. Memanjang seperti sayap kelelawar, hanya saja lebih megah. Sebenarnya jika kau tidak melihatnya melekat pada tubuh Ares, sayap itu seperti hiasan yang mahal. Warnanya yang bening kebiruan seperti kristal. Tiap lekukannya yang terpahat membiaskan cahaya. Jika bukan terasa lembut ketika disentuh, tidak akan ada yang percaya bahwa benda itu terbuat dari kulit dan tulang.
Ares hampir bangga melihatnya. Itu tubuhnya, bagian dari tulangnya. Dia merasakan harga diri entah dari mana ketika menyebarkannya terbuka. Sangat disayangkan dia tidak bisa mencoba menggunakannya. Ares sangat yakin sayap itu bisa membawanya terbang. Itu hampir naluri yang memberitahunya. Dia harus mencobanya lain waktu ditempat yang lapang, dan tentu saja tidak ada orang. Ares mungkin konyol, tapi dia tidak bodoh.
Ares juga memerhatikan irisnya. Biru transparan. Itu warna es. Seperti warna sayapnya. Bahkan jika Ares tidak tau artinya, dia sangat yakin itu memiliki suatu hubungan.
Ada juga tattoo. Entah kenapa, berapa kali Ares menatap hamparan kulitnya yang bertattoo, dia merasa ada yang hilang. Seolah tattoo itu belum selesai. Dipikirannya ada desain abstrak yang lengkap. Gambar itu lebih rumit dan indah. Tapi tattoo itu jelas bukan keterampilan tangan normal. Sesuatu harus terjadi agar desain menjadi lengkap. Misteri lain yang harus dia cari tau.
Saat itulah senandung lembut itu memasuki pikirannya. Awalnya Ares mengira hanya anak tetangga yang sedang memainkan musik. Dia mengabaikannya hingga nyanyian menghilang. Namun dipagi hari selanjutnya melodi yang sama telah memotong mimpi indahnya. Memaksanya bangun bahkan sebelum matahari terbit. Dua hari kemudian dia harus terbangun seperti itu untuk membuatnya sadar bahwa nada syahdu yang diulangi dalam kunci rendah dan tinggi secara bergantian itu bukan hal normal.
"Apa yang terjadi padamu beberapa hari ini? Sejak kapan kau bangun lebih awal dari ayam?" Tanya ibu yang sedang menyiapkan sarapan.
Ares tinggal dengan seorang single mother. Sejak dia ingat, ibunya tidak pernah pulang dengan seorang pria yang mengidentifikasi sebagai ayahnya. Ares juga tidak pernah bertanya. Baginya ibu sudah lebih dari segalanya.
"Ibu, apa yang akan kau lakukan jika tiba-tiba putramu berubah menjadi manusia mutan?"
Ibu menyipitkan mata menatapnya. Ares memiliki sepasang mata bulat besar. Bulu matanya yang melengkung indah akan membuat iri gadis-gadis. Dia juga tinggi diantara remaja seusianya. Dan tampan.
"Em," dia mengangguk puas. "Kau akan menjadi manusia mutan paling sukses dalam sejarah." Seringai ibu sangat bangga seolah sedang melihat hasil karyanya.
Ares balas menyeringai. Dia menakjubkan, ibunya bisa bangga.
"Aku akan lari pagi." Teriak Ares setelah bercanda sebentar.
Ares tinggal di kota kecil pulau jawa, Indonesia. Dia menyukai kotanya. Tidak ada hutan beton atau polusi udara parah. Tempat tinggalnya masih mempertahankan nuansa hijau alaminya. Udara juga sejuk. Jalanan tidak akan mengalami kemacetan berkepanjangan. Semua santai dan lambat di kotanya.
Tapi ares tidak berlari terlalu jauh ketika nyanyian itu terdengar lagi.
La... la... la... la...
Nada itu berbeda dari biasanya. Melodinya terdengar sangat menyedihkan. Otak Ares menerjemahkanya sebagai tangisan kesakitan.
Tiba-tiba dadanya terasa sakit. Mengikuti tiap tangisan, seolah sebuah pisau menusuknya.
Ares terjatuh. Wajahnya pucat. Tidak ada darah, tapi dia merasa sangat berdarah disekujur tubuhnya. Sangat menyakitkan. Tapi nyanyian tidak akan pernah berhenti. Suara itu terus menyiksanya baik pikiran maupun fisik. Dan Ares tidak berdaya melawan. Dia merasa kesadarannya mulai melayang, tapi kegelapan tidak akan menangkapnya.
Mungkin sudah satu jam. Atau bahkan satu hari. Ares sudah terputus dari lingkungannya. Diantara ketidaksadaran dia samar-samar melihat gambaran ilusi. Itu terasa nyata, tapi juga tidak. Ares bahkan tidak yakin apakah itu hanya imajinasinya.
Ada seorang gadis disebuah kolam kecil. Dia samar-samar ingat gadis itu cantik. Namun menyedihkan. Tubuhnya penuh luka. Alih-alih sepasang kaki, sebuah ekor terus berayun di tubuh bagian bawahnya. Ares tidak tau apa artinya, Tapi sesuatu tentang gadis itu menyebabkannya kesakitan.
Ares berpikir bahwa dia benar-benar harus segera memecahkan misteri seputar ulang tahunnya. Namun ternyata tidak perlu, jawaban mendatanginya. Perputaran waktu yang terasa lama baginya ternyata hanya berlangsung 5 menit. Seseorang telah menutupinya saat itu.
"Bagaimana kabarmu? Apa yang terjadi?" seorang wanita muda dengan gaya modis berjongkok memeriksa Ares.
Dia mundur secara reflek, waspada. Wanita itu pendek, dengan rambut coklat pirang. Dia tidak tampak seperti warga setempat. Partnernya, seorang pria pendiam yang rupanya menyukai warna hitam. Sekujur tubuhnya ditutupi warna hitam, bahkan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Mereka jelas mencurigakan di jalanan yang sepi itu.
"Aku baik-baik saja, terima kasih."
Ares bersiap pergi ketika pria itu menyentuh punggungnya. Tepat dimana sayapnya bisa tumbuh.
"Disini. Garis keturunanmu mulai menampakan diri."
Ares segera berbalik menatap mereka. Wanita itu tersenyum manis. Matanya seolah berkata, "selamat datang."
Pria itu masih acuh. "Ikuti kami."