Hari itu Danu ada ulangan matematika. Baginya, matematika adalah mata pelajaran favoritnya. Ia lebih baik menghitung-hitung daripada menghafal definisi istilah kefarmasian. Namun, baik pelajaran menghitung atau hafalan, Danu tetap harus mendapatkan nilai terbaik.
Khusus untuk hari ini, Danu jadi sulit berkonsentrasi menghitung karena pikirannya tercemar oleh Arini dan Pradita. Ia masih merasa kesal karena Pradita malah berkencan dengan si berengsek Bara.
Ia yakin sekali jika laki-laki itu adalah pria yang tidak baik. Ia merasa curiga, kenapa Bara mendekati Pradita? Laki-laki itu biasanya berada di antara para gadis cantik dan kaya raya. Bukan maksudnya menganggap jika Pradita itu jelek dan miskin. Hanya saja, Danu pikir, Pradita itu sama sekali bukan wanita tipe Bara.
Menurut Yudi, temannya, selain Bara seorang anak yang kaya, dia juga seorang model. Danu sempat melihat foto Bara di majalah remaja yang ada di rumahnya. Sehebat apa pun Bara, tetap saja tidak berhak mengganggu sahabatnya.
Jadi, jika si Bara itu sampai mendekati Pradita, pasti ada maksud tertentu. Danu harus memperingatkan Pradita. Namun, bagaimana caranya ya? Sementara mereka masih bermusuhan.
Hari ini Arini duduk bersama Lilis, Danu duduk bersama Yudi, dan Pradita duduk di barisan paling belakang, pasti untuk menjauhi Danu.
Ia yakin sekali kalau Pradita memang sengaja menjauhinya. Jadi mereka sekarang bermusuhan. Danu mendesah. Ia jadi merasa sedih sekali jika harus bermusuhan dengan Pradita.
Si gadis tomboy itu kan sahabatnya sejak SD. Danu sudah terbiasa bermain dan bercanda dengan Pradita. Biasanya mereka bertengkar karena meributkan hal yang tidak penting. Namun, sepertinya sekarang permusuhan mereka jadi tampak lebih nyata karena sikap Danu pada Pradita yang sepertinya terlalu berlebihan.
Ulang matematika kali ini sungguh membuat Danu tertekan. Bukannya menghitung, Danu malah sibuk merenungkan sikapnya. Haruskah Danu mengajak baikan lebih dulu pada Pradita?
Ia pun merasa bersalah pada Arini. Ia jadi seperti yang berdiri di antara dua pilihan. Ia harus memilih berbaikan dengan Arini atau Pradita?
Seharusnya ya dua-duanya.
Danu menarik napas dalam-dalam dan kemudian kembali menunduk menatap soal-soal matematika yang tampak seperti kode sandi morse. Ia menoleh pada Yudi. Temannya itu balas menatapnya sambil menautkan alisnya.
Danu hampir yakin kalau tatapan matanya menyiratkan: 'Apa lu liat-liat?'
Sayang sekali koneksi batinnya dengan Yudi tidak sekuat saat bersama Pradita. Ia jadi kangen bertelepati dengan sahabatnya itu. Jadi, ia menoleh ke belakang.
Pradita sedang mengotret sesuatu di kertas buram dengan wajah yang diliputi benang kusut semrawut acak kadut awur-awuran tak karuan.
Danu jadi ingin tertawa dalam hati. Hebatnya, suara tawanya terdengar sampai ke telinga Pradita. Buktinya si tomboy itu mendongak dan menatap Danu dengan lirikan maut ala pesilat tangguh yang siap menghadapi musuhnya.
Danu melayangkan senyum tipis. Pradita langsung membalasnya lewat telepati. 'Ngapain lu pelong-pelong? Mau gua lempar pake korsi?'
Danu terkejut sendiri. Ia menelan ludah dan tersentak ketika Bu Yani menggeplak mejanya dengan gulungan buku.
"Danu! Tidak usah menyontek ya. Kamu kan pinter, bisa kerjakan sendiri ya," ucap Bu Yani sambil tersenyum tapi membelalakkan matanya bak ikan yang tak punya kelopak mata.
"Sa-saya gak nyontek, Bu," ucap Danu terbata-bata.
"Heem, Ibu percaya. Ayo kerjakan soal-soalmu. Sudah selesai belum?"
Danu malu setengah mati karena sekarang semua orang melihat padanya. Ia melirik lagi ke belakang. Si pengkhianat itu malah terkekeh tanpa suara.
'Sukurin lu!'
"Danu! Kalau Ibu sedang bicara, tolong dengarkan ya."
Danu tersentak lagi. "Eh, iya, Bu. Saya dengerin kok."
Ibu Yani menyipitkan matanya dengan curiga sambil melipat tangannya di depan dada. Wajahnya tampak kesal. Danu menunduk dan mentap soal-soal di kertas. Terpaksa ia menyentil otaknya yang sempat nge-heng sejenak.
Waktu terus berjalan. Satu per satu anak maju ke depan untuk menyerahkan kertas ulangan ke meja guru. Yudi keluar ruangan lebih dulu. Pradita pun yang wajahnya tampak lebih kacau darinya bahkan mengumpulkan soal terlebih dahulu.
Danu jadi stress bagaikan dikejar-kejar hantu. Ia menghitung dengan cepat. Padahal ini adalah soal yang mudah, tapi kenapa sekarang jadi terasa sulit?
Akhirnya, soal matematika selesai setengah menit sebelum waktunya habis. Hanya tinggal ia, Welas, dan Tantri yang terakhir mengumpulkan ulangan. Danu menghela napas lega. Lalu ia berjalan gontai menuju ke balkon.
Tanpa sadar ia merangkul bahu Pradita di sebelahnya dan mendesah. "Aduh capek."
"Eh, apaan sih lu?" Pradita menjauhkan tangannya dengan nada sebal.
"Eh." Danu segera melepaskan tangannya dan bingung sendiri.
Ia sudah terbiasa seperti itu pada Pradita hingga ia lupa jika ia sedang bermusuhan dengannya. Sungguhkah? Mau sampai kapan? Danu benar-benar lelah.
"Coy, lu masih marah sama gua?" tanya Danu dengan nada bicara yang diatur serendah mungkin.
"Gak tau," jawab Pradita ketus sambil membuang wajahnya.
"Lu gak usah ngambek lah. Harusnya juga gua yang ngambek."
Pradita langsung menoleh padanya sambil mengernyitkan wajahnya. "Apa hak lu marah-marah ke gua? Emang gua salah apa?"
Danu jadi merasa tidak enak. Seharusnya ia tidak berkata seperti itu pada Pradita. "Gak, gak. Lu gak salah apa-apa. Gua yang salah. Puas?"
"Lah, lu aja gak ngerasa salah. Males banget." Pradita berjalan menjauh.
Danu segera menarik tangan Pradita. "Coy, udah dong, Coy. Gua gak mau marahan sama lu lagi. Plis, gua capek, Coy."
"Sama gua juga capek." Pradita menyentak tangan Danu. "Gua capek kesel terus sama lu. Gak biasanya lu bersikap kayak gitu."
"Sikap gimana?"
Pradita mendengus kesal. "Emangnya salah kalau gua temenan sama orang laen?"
"Yaaaa, gak sih."
"Lu bikin gua kayak manusia guha yang gak tau apa-apa sama dunia luar. Bebas dong gua mau temenan sama siapa aja juga. Gua mau jalan sama siapa aja juga ya terserah gua!" Pradita mengamuk seperti banteng. Wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca seperti yang akan menangis, tapi Danu tahu kalau Pradita sedang menahan tangisannya.
Danu menarik napasnya dalam-dalam. Ia hendak meminta maaf pada Pradita, tapi tiba-tiba seseorang mendekati Pradita dan merangkul bahunya.
"Hai, Sayang," sapa Bara yang menjulang di sebelah Pradita.
Danu hanya bisa terperangah sambil menatap tangan kotor itu menyentuh bahu Pradita dengan sikap protektif. "Berani amat lu rangkul-rangkul si Dita?"
"Emangnya kenapa? Dia kan cewek aku," ujar Bara dengan wajah polos tanpa dosa.
"Apa?!" Danu langsung menatap Pradita sambil membelalak. "Lu gak mungkin jadian sama dia kan, Coy."
Pradita mengertakkan giginya sambil menatap ke arah balkon. Danu menunggu sahabatnya itu menyangkal perkataannya, tapi tidak ada. Pradita malah menjawab, "Bener kok. Sekarang gua pacaran sama Bara."