Disebuah sekolah, tepatnya di belakang bangunan sekolah. Tempat dimana adalah lokasi yang jarang dilalui orang terutama pada sore hari. Sekelompok anak laki-laki yang nampaknya adalah seorang siswa dilihat dari seragam yang mereka kenakan sedang mengerumuni seseorang.
Mereka sedang memojokkan seorang anak yang nampak sebaya dengan mereka dengan pakaian lusuh dan tak berdaya. Terlihat jelas kalau mereka sedang merundungnya.
Salah seorang dari kelompok siswa itu bergerak dan menendang-nendang anak yang tergelatak ditanah sambil memaki.
"Ceh, seharusnya kau tak perlu menyembunyikannya. Jadi kau tak perlu sampai semenyedihkan ini."
Sambil melambai-lambaikan uang yang digenggamnya, pria itu mencibir dan acuh tak acuh.
"Benar, kau hanyalah sampah. Jika kau menurut, kau tak akan sampai kami hajar."
Pria yang memiliki tubuh gemuk di sampingnya ikut mencemooh sembari tertawa.
Rupa-rupanya, mereka baru saja memalak anak yang kini hanya bisa terdiam setelah dipukuli.
Anak yang memiliki tubuh besar yang sepertinya adalah jagoan dari kelompok siswa nakal tersebut kemudian menghitung uang yang ada ditangannya tanpa bersuara.
"Berapa banyak uang yang dimilikinya, Ryou?"
"Ceh, tidak banyak. Hanya cukup untuk kita bermain biliard semalam saja."
"Hah, mau bagaimana lagi. Si bocah ini jelas tidak punya uang banyak mengingat dia hanya anak yatim 'kan? Hahaha."
Sambil terus menghina, mereka terus merendahkan anak yang masih diam tak mau bergerak diikuti gelak tawa oleh teman sekelompotannya.
Anak itu yang masih membisu, menggengam tangannya kuat-kuat dibalik badannya yang telungkup menahan emosi sembari menggemeretakkan gigi. Berharap semua cepat berlalu.
Benar saja, sesaat mereka usai tertawa puas. Ryou, anak yang memimpin kelompok itu pergi meninggalkannya setelah menendang tanah yang mengakibatkan debu terlempar ke arahnya. Diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Sekarang, hanya anak itu yang ditinggalkan seorang diri disini dengan kondisi yang memprihatinkan.
Anak itu, yang memiliki nama unik yaitu Acrelis, mulai bergerak.
Tubuhnya yang pendek dan kurus merasakan sakit saat dia mencoba bangun. Masih kentara jelas lebam yang ada di perut dan wajahnya dekat bibir. Acrelis kemudian buru-buru mengambil tasnya yang isinya telah bercecer kemana-mana dan kotor.
Dengan perlahan, dia memumutnya satu persatu kemudian segera beranjak pergi dari tempat itu.
Dalam perjalanannya, dia hanya bisa diam dalam emosi dan pikiran yang kalut.
Saat sampai di persimpangan, seorang pria asing yang lewat nampak khawatir saat melihat kondisinya yang berantakan dan menanyakan apa yang telah terjadi. Namun Acrelis hanya diam sembari mengabaikan dan terus berjalan.
Setiap langkah yang diambil, Acrelis hanya merasakan perasaan tak mengenakkan hati dan nyeri di perutnya. Hingga tak terasa dia sudah sampai di depan rumahnya dan segera langsung membuka pintu.
Didalam, dia langsung disambut oleh seorang wanita yang masih memperlihatkan pesonanya meski sedikit kerutan di wajahnya tak bisa disembunyikan. Dia menatap Acrelis dengan wajah khawatir.
"Ya, ampun. Acrelis, sekali lagi ada apa dengan wajahmu. Apakah kau di-bully lagi? Katakan pada mama, siapa yang melakukannya?"
Dengan khawatir, wanita yang mengaku dirinya adalah ibu dari Acrelis langsung menghampiri, berniat mengecek kondisi putranya yang berantakan.
Namun tanpa diduga, Acrelis malah menepis tangan yang terulur padanya dengan gusar.
"Cukup, hentikan itu! Aku tak apa. Hanya terbentur sedikit."
"...Terbentur? Kemarin kau bilang kau tersandung dan membuat mu terluka. Sebelumnya juga kau bilang kau tertabrak oleh orang tak dikenal? Sekarang kau bilang terbentur? Katakan saja Acrelis, jika ada yang menyakitimu atau kau di-bully oleh temanmu-"
"AKU BILANG AKU HANYA TERBENTUR!"
Sebelum ibunya menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya. Acrelis langsung memotong pembicaraan sambil membentak.
Kaget, Ibunya hanya bisa terdiam semakin khawatir. Untuk Acrelis sendiri, dia juga merasa bersalah saat dia menatap mata wanita didepannya dan segera memalingkan wajah.
"Dan juga, kau bukan ibuku. Jadi jangan panggil dirimu "Mama" sekali lagi."
Acrelis segera memasuki rumah dan menaiki tangga menuju kamarnya, mengabaikan dan meninggalkan wanita yang disangkal sebagai ibunya yang masih membeku di teras.
Di kamar, Acrelis langsung menjatuhkan diri di ranjangnya sembari membenamkan penuh wajahnya ke bantal. Rasa pegal di sekujur tubuh masih dapat dirasa.
Dalam sendiri, pikirannya benar-benar kalut. Dia sadar kalau dirinya adalah orang lemah. Dibanding orang normal pada umumnya, dia adalah yang paling rendah dan tanpa bakat.
Menjadi ahli di bidang akademik, tak mengubah dirinya yang hanya ahli di satu bidang menjadi unggul. Entah sejak kapan, dirinya selalu ditindas disekolah. Acrelis tak tahu mengapa semuanya terjadi pada dirinya. Bahkan dia masih ingat, dulu dia tak seperti ini. Dia lupa sejak kapan harga dirinya runtuh begitu dalam hingga seperti ini?
Dikamar yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit ini. Hanya tempat inilah Acrelis bisa mengungkapkan kesedihan dan berbagai emosi negative lainnya.
Karena hanya dirinya sendirilah baginya tempat dimana dia bisa melepaskan keluh kesah yang dia rasakan. Tanpa siapapun yang mengganggu.
"Sial! Sial! Sial!"
Acrelis mengerang dibalik bantalnya dan melontarkan kata-kata penuh frustasi. Dengan begitu, dia bisa merasakan kelegaan saat semua emosi yang dipendamnya telah ia luapkan.
Saat semuanya menjadi tenang, Acrelis yang telah lelah secara fisik dan mental melemahkan tubuhnya. Jam dinding yang berdetak dengan irama yang stabil membuat dirinya mengantuk.
Benar, hari ini adalah hari yang berat. Acrelis yang sudah lelah akhirnya terlelap tidur saat semua emosinya telah dia keluarkan.
Tapi tanpa dia sadari. Selalu saja saat dimana Acrelis menderita seorang diri, dibalik pintu 'mama yang tak dianggapnya' itu selalu mengetahui seberapa besar penderitaanya dalam diam.
Wanita itu, yang selalu dipanggil "Hana-san" oleh Acrelis juga merasakan apa yang dideritanya secara tidak langsung. Tapi dia tidak bisa berbuat apapun. Dia hanya bisa diam membisu dibalik pintu menunggu Acrelis tenang dan tertidur. Disaat itulah dia baru bisa lega dan meninggalkannya.