LIKA ELDEARA.
Aku terbangun dari tempat tidur yang nyaman dan empuk ini, tidak ada siapapun di ruangan ini selain aku.
Kejadian terakhir yang aku ingat adalah aku sedang berjalan bersama seseorang namun tidak bisa mengingat siapa yang menemani saat itu. Bagaimana aku bisa sampai di tempat ini?
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencari tahu tempat apa ini. Ada tulisan di pergelangan tangan kiriku bertanda namaku dan juga keterangan lainnya, aku turun perlahan dari ranjang yang tingginya sekitar satu meter ini.
KREKKK...
Pintu ruangan terbuka, seorang laki-laki tinggi dengan ciri khas pria tampan Asia masuk.
"Hai..." Sapaku canggung
Ia tidak menjawab sapaanku, malah berjalan melewati aku.
"Sorry, lu siapa ya?" Aku bertanya lagi seraya berbalik badan melihat kearah dia pergi duduk di samping ranjang.
Masih tak menjawab pertanyaan dariku, aku mulai heran dengan kelakuan laki-laki ini. Aku berjalan mendekatinya untuk teguran yang lebih keras namun mataku tertuju pada sosok seorang lagi di ranjang yang tadi aku tiduri.
Sosok yang membuat otot kakiku lemas seketika, aku terduduk dengan seiring melemahnya otot kakiku karena shock.
Sosok di ranjang itu adalah aku sendiri.
Lama aku terduduk diam di lantai, mencoba memikirkan apa yang sedang terjadi padaku dan mengapa tubuhku ada di sana? apa aku telah mati? tapi tubuh ini tampaknya masih bernafas dengan alat bantu.
Sebentar memulihkan pikiranku, perlahan aku berdiri dan berjalan lebih dekat kepada tubuh yang terbaring di ranjang. Tidak lain lagi, ini adalah ragaku dan mungkin aku yang sekarang ini adalah jiwa yang terlepas dari ragaku.
Belum hilang rasa penasaranku, aku mendengar isak tangis pelan dari arah laki-laki yang baru masuk tadi. Ia tampak sangat sedih dan tak bersemangat, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, ia meneteskan air mata sambil sesekali melihat kearah ranjang.
Siapa laki-laki ini? mengapa ia menangisiku.
Apakah dia ini keluargaku?
kakakku?
kekasihku kah?
Terus menebak-nebak, aku kemudian mendekatinya namun aku benar-benar tidak dapat mengenali bahkan mengetahui siapa laki-laki ini.
"Hey! lu ngapain nangisin gua? lu siapa?" Lika menjadi frustasi sendiri dengan keadaan aneh ini.
Memori terakhir yang aku ingat ada ketika aku melihat sebuah mobil melaju kearahnya, sisanya seperti kenangan acak yang berseliweran di kepalaku.
Knock knock knock!
Ketukan di pintu membuatku mengalihkan perhatianku.
Tampak seperti perawat di sini masuk,
"Permisi, ini benar dengan Yamashita wali pasien Lika Eldeara?" tanyanya
"Ya benar mbak" jawab Laki-laki yang ternyata bernama Yamashita ini menjawab cepat walaupun air matanya masih bersisa di sana.
"Jadi ini mas Yama boleh mengurus administrasi yang harus di isikan dulu di depan ya, bagaimana dengan orang tua dari mbak Lika ini? apakah sudah di kabari?" tanya wanita ini sambil mencatat beberapa hal setelah ia mengecek alat-alat yang terhubung ke tubuhku di ranjang.
"Sudah saya kabari mbak" Jawab Yama lagi, ia berdiri dari duduknya, kelihatannya ia akan pergi dari ruangan ini bersama mbak perawat ini.
KREK!!
Pintu di dorong dengan kasar dari luar dan menerobos masuk beberapa anak muda.
"LIKA....MANA LIKA?! OH MY DEAR..." seorang perempuan sebaya denganku berlari menghampiri ranjang di mana tubuhku berada, ia terlihat kacau sekali dan emosinya tampak tidak stabil melihat kondisiku.
Setelah menangisi tubuhku, ia kembali berdiri dan menyergap Yama,
" LU APAIN TEMAN GUA!! LU BIKIN KENAPA LIKA HAH?!" teriak perempuan ini histeris.
"Sima... tenang dulu, gak boleh ribut di rumah sakit hey, calm down" tegur salah seorang lagi menenangkan Sima ini.
Yama tertegun melihat Sima, emosi yang ia terima dari Sima tampak tak membuatnya gusar, malah wajahnya memerah dan kesedihan itu kembali terlihat.
"Rahmad...elu sama Sima di sini dulu ya temanin Lika, gua mau urus administrasi dulu bentar" ucapnya lembut kepada laki-laki yang memenangkan Sima ini.
Aku merasakan berbagai emosi yang di tunjukkan oleh orang-orang ini dalam menghadapi keadaanku ini, hanya saja...aku tidak bisa memahami emosi mereka dengan benar, terhalang oleh ingatanku yang samar-samar akan orang-orang ini. Bahkan untuk nama mereka saja aku bingung sama sekali, tapi kelihatannya mereka adalah orang-orang yang sangat dekat denganku.
Sekarang aku berjalan mengiringi Yama dan mbak perawat ini.
Mendampingi Yama selama mengurus surat-surat yang di butuhkan lalu kembali lagi bersamanya saat kembali ke ruangan dimana aku terbaring dan juga masih ada gadis bernama Sima dan Rahmad tadi.
Langkah kaki Yama terhenti di dekat ranjang, di sebrang dari posisi Sima dan Rahmad yang juga berada di sisi lain ranjang ini.
"kalau saja gua tidak menuruti omongannya,. dia pasti akan baik-baik saja" ucapan Yama barusan menggambarkan betapa frustasinya ia.