Merah jingganya langit membuat Aksa masih terbayang akan sosok kedua orang tuanya. Belum genap sehari ia sudah merasakan sesak di dada. Rasanya hampir saja ia menangis sebelum suara lain mengusik lamunannya.
"Halo eh bukan Assalamualaikum akhi, aku Haidar. Namamu?" Aksa memandang sosok yang—lebih seperti menyeringai daripada tersenyum, wajah di depannya terlihat tengil sekali.
"Aksa." seraya tersenyum dan mengulurkan tangan. Sip! Sudah punya teman. Batinnya bersorak kegirangan.
"Yosh. Salam kenal yah, Aksa! " Haidar memiliki smiling eyes, orang disekitarnya pasti mudah saja tertular senyumnya.
Aksa mengerutkan kening Yosh?"
Mendengar itu Haidar nyengir "Ha ha itu maksudnya bisa diartikan 'oke' gitu dalam Bahasa Jepang." Aksa melihat bergantian ekspresi ceria dan tangan Haidar yang menyatukan telunjuk dan jempol membentuk lingkaran. Melihat itu Aksa tertawa ber oh ria.
"Ngomong-ngomong kamu belum wudhu? udah Adzan Magrib tuh."
Menelisik wajah Haidhar yang masih tersisa beberapa tetes air menandakan dia sudah berwudhu. Aksa menggeleng dan meminta Haidar menunggunya untuk pergi ke masjid.
Sambil wudhu Aksa memikirkan awal pertemuan dengan Haidar. Dilihat dari sisi manapun Haidar memang atraktif, gayanya yang tengil membuatnya mudah dikenal, luwes, tidak kaku macam Aksa. Ya walau sebenarnya Aksa tipikal orang yang easy going namun untuk kali pertama bertemu, kesannya terlihat menjaga jarak atau sombong mungkin?
Aksa mencoba memerhatikan sekeliling, Haidar bilangnya tunggu bawah tangga. Kemana tuh anak? Batinnya bertanya-tanya.
"Oi Sa, Aksa!" bocah berwajah tengil memberi gestur lambaian tangan isyarat mendekat. Aksa mengambil langkah lebar untuk segera sampai dan menemukan Haidar tak sendiri. itu siapa? Fisiknya cukup tinggi untuk anak seusianya atau mungkin santri senior? Rambutnya hitam sih tapi matanya abu-abu? Kendati ia masih bertanya-tanya akan sosok di depannya, Aksa baru akan bersuara terhenti tatkala suara Haidar mendahuluinya.
"Kenapa Sa? Heran ya ada bule nyasar haha." Memang dasar Haidar, padahal baru saja kenal sudah berani mengolok-olok Aksa.
"Hai kamu Aksa kan ya?" si 'bule nyasar mengabaikan tawa Haidar yang masih terdengar tipis memulai pertanyaan retorisnya. Aksa membalas jabat tangan 'bule nyasar' tak lupa dengan sesi perkenalannya.
"Iya Raksa Mahawira bisa panggil Aksa, nama kamu?" Haidar mengerutkan kening.
"Raynar Imran, panggil Re aja."
"Eh Sa kamu waktu kenalan sama aku nggak pakai nama lengkap sih, wah pilih kasih."
"Kan kamu juga yang langsung sok kenal sok dekat 'hai namaku Haidar gitu kan?" seloroh Aksa menirukan gaya tengil Haidar. Tak terima dibilang sok kenal sok dekat oleh Aksa, Haidar memasang wajah pura-pura tersinggung yang amat kentara membuat dua lelaki di depannya memasang ekspresi ingin muntah secara kompak. Keduanya tertawa, sementara Haidar jangan tanya, ia tersenyum kecut. Re tertawa merasa terhibur dengan situasi ini.
ketiganya berjalan menuju masjid hingga memarkirkan sandalnya di pojok sebelah tangga yang hanya diisi beberapa pasang sandal. Di teras masjid itu keributan kecil masih berlanjut hingga— SAT!
"AYO CEPAT! masjid bukan tempat bergurau."
Aduh apa-apaan tadi, hari pertama sudah kena sabetan sajadah saja. Tidak sakit sih memang tapi kagetnya itu loh bukan main, belum lagi tatapan santri lainnya ada yang menertawakan ada yang menelisik ingin tahu—hah macam-macamlah. Untung bagi tiga anak manusia tadi memiliki refleks yang bagus melesat kilat tanpa sempat mencari tau sosok menyeramkan tadi. Setelah jarak yang cukup aman mereka baru menoleh ke belakang, namun tak ditemui sosok yang mencurigakan. Seolah ketiganya mampu telepati, tawa mereka terurai sepersekian detik sebelum sosok yang dimaksud mengacaukan suasana tepat berada menjulang di depan mereka.
"Nanti habis Salat Maghrib kalian temui saya!"
"...."
"APA JAWABANNYA!"
"I-iya siap ustad." gelagapan ketiganya ketika menjawab. Mereka tidak berani menatap sang ustad, barulah saat menjauh mereka melihat punggung tegap nan lebar berjalan dengan langkah pasti.
"Kalian tadi ada masalah apa sama Ustad Azam?" celetukan datang tiba-tiba, membuat ketiganya distraksi kepada sosok asing yang menatap penuh tanya.
"Gara-gara bercanda mulu, hehe." Re yang pertama kali sadar berujar santai.
"Hati-hati kalian, biar masih muda beliau itu galaknya beuh nggak pandang bulu. Mau itu santri baru atau senior habis kalau berusan sama beliau," ucapnya dramatis.
"Gue suka gaya lo bro ha ha." Saking ekspresifnya wajah baru itu membuat Haidar tertawa. Sementara Aksa dan Re—juga sosok asing menatap horor padanya.
"Kamu apa-apaan sih, kan udah dibilangin nggak boleh pake bahasa gaul," Aksa menyikut Haidar bermaksud menyadarkan bocah itu. Setelahnya Aksa hanya mendesah atas respon yang diberikan Haidar.
"Oiya lupa ha ha."
"Eh kita bertiga belum tahu nama kamu loh." Re mengabaikan Haidar yang masih tertawa sendirian.
"Kenalkan Agam." Seraya tersenyum, terlihat lesungnya di sebelah kiri. Agam menjabat tiga kawan barunya bergantian.
"Rumahmu mana gam? Aku nggak mau dengar jawaban 'nggak aku bawa soalnya berat' jayus mah itu." Haidar tertawa sendiri atas ucapannya barusan. Re menoyor kepala Haidar lantaran begitu gemas dengan Haidar yang keras kepala. Sementara Aksa hanya melengos saja 'garing begitu pikirnya.
"Riau. Kalian sendiri?" awalnya Aksa ingin menjawab lantaran Agam menunjuknya kali pertama. Sayangnya tidak jadi, karena telunjuk Haidar tanpa permisi hinggap di bibir manisnya.
"Eits ha ha. Ku wakilkan saja Sa, nanti tapi. Sampingku ini 'bule nyasar namanya Raynar. Tapi jangan kamu panggil itu, Kepanjangan katanya. Cukup Re; R dan E. Dia orang Makassar bapaknya yang bule itu menetap di sini ikut ibunya Re ini," Re menyikut Haidar bermaksud tidak perlu menceritakan info tidak penting. "nah, samping kiriku ini Aksa. Dari Jawa Timur?" Haidar memandang Aksa bermaksud memastikan—setelah mendapat tanda jempol yang dilayangkan Aksa ia melanjutkan kembali "cita-cita dia ingin jadi menteri kehutanan. Keren kan?" alisnya ia buat naik turun dan tak lupa seringai yang menyebalkan, sontak wajah Aksa memerah menahan malu.
"Wih kau tak takut hitam Sa, kulit kau putih bersih ini!" iris mata Agam melebar.
"Nggak, jangan percaya!" bantah Aksa sembari mengibaskan tangan berulang kali.
"Alah ga usah malu-malu meong dong, aku uda liat buku tulis kamu halaman paling belakang Ha ha." seraya menunjuk buku tulis yang tergeletak tak berdosa di atas karpet salat. Haidar menertawakan wajah masam Aksa disusul oleh tawa yang lainnya.
PLETAK!
Naas, sebelum tawa mereka usai, jauh di depan sana sandal lantai melayang menuju mereka berempat; lebih tepatnya menuju Haidar, karena posisinya ditengah. Seketika waktu seperti membeku; dingin; tak ada satupun santri yang bergerak. Semua mata tertuju pada di mana sandal itu mendarat.
"1 2 3 4," Ustad Azam berkata dengan menunjuk dari kejauhan���tempat imam berada, kepada keempat santri yang tengah menunduk takut. Ucapnya memang santai namun tidak dengan sorot matanya. "kalian—sehabis salat jangan ikut bubar. Saya mau bicara!" sambungnya lalu meminta salah satu dari mereka mengantarkan sandal yang menjadi saksi pelemparan sang ustad. Saat itu juga keempatnya menelan ludah kasar membayangkan apa yang akan terjadi.
Setelah drama 'dilempar sandal' mereka melakukan salat seperti santri lainnya, bedanya hanya terletak pada pikiran dan hati mareka. keempatnya tak henti-hentinya deg-degan. Tak dipungkiri lagi, jangankan hati tenang, saat salat pun mereka tidak bisa khusyuk. Waktu terasa begitu cepat tiba-tiba saja wirid selepas salat usai, sebentar saja salat ba'diyah selepas itu santri membubarkan diri secara perlahan. Sebagian dari mereka langsung menuju kamar masing-masing, ada yang masih berdoa khusyuk, ada yang berbaring didinginnya lantai, ada yang mengaji Al-quran, ada pula yang ngobrol ngalor ngidul bersama teman sejawatnya yang lama tak jumpa selepas liburan.