Chereads / memorist playlist / Chapter 11 - bab 10

Chapter 11 - bab 10

Terdengar teriakan dari seluruh kakak kelas dan panitia yang hadir di tengah lapangan. Baron mengambil microphone yang berada di depannya, "terimakasih untuk semuanya. Ini adalah penampilan kami yang merupakan penutup acara prom night tahun ini. Semoga sukses dengan masa depan kalian. Kita akan menyusul di tahun depan. Goodluck!"

Kak Ilham meminta sebuah microphone dari panitia, "terimakasih untuk adik-adik kelas gue karena udah menyiapkan acara prom ini dengan sangat luar biasa. Kita tidak akan melupakan masa-masa terakhir kita disini. Semoga sukses dimasa depan ya."

Jarum jam telah menunjukkan waktu hampir pukul 10 malam sudah waktunya acara ini akan segera usai. Kini saatnya ketua pelaksana acara muncul untuk mengatakan sepatah ataupun dua kata untuk menutup acara ini. MC telah mempersilahkan Bagas untuk naik ke atas panggung.

Bagas naik ke atas panggung, "terimakasih untuk semua orang yang telah berpartisipasi dalam acara ini. Acara ini bisa berjalan dengan sukses berkat kerja keras kalian semua. Terimakasih atas kerjasamanya. Semoga kita bisa membuat dan bertemu di event-event yang lebih baik lagi." Saat Bagas tengah berbicara tanpa ia sadari sebuah cairan berwarna merah pekat meluruh dari lubang hidungnya.

"Bagas lo mimisan!" Teriak seorang panitia dari berada di depan panggung.

Mendengar hal itu seluruh mata tertuju pada hidung Bagas dan membuatnya langsung menutup hidungnya. Bagas merasa kepalanya sangat pening hingga mengaburkan pandangan matanya. Dari atas sini dia bisa melihat tatapan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan khawatir.

Tatapan yang sangat Bagas benci. Bagas terdiam untuk beberapa saat kemudian tersenyum tipis, "gue nggak papa. Anton lo tutup acaranya gue mau ke belakang dulu."

Mendengar hal itu membuat Anton naik ke atas panggung untuk menggantikan posisi Bagas.

Adel yang menyaksikan hal itu hanya bisa diam mematung karena tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya kalut tertutupi oleh rasa khawatir akan keadaan Bagas.

Adel meremas gaunnya hingga lusuh, ia mencoba untuk memalingkan wajahnya dan menenangkan hatinya. Mengingat ini bukan kali pertama Adel tahu bahwa Bagas sering mimisan.

----------------------------------------------------------------------------------

Acara promnight telah usai, semua orang mulai membubarkan diri. Kini, hanya tersisa panitia acara yang sedang membereskan peralatan acara. Hari semakin larut hal itu ditandai dengan semakin sepi kawasan sekolahnya ini.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Adel tengah menunggu jemputan dari sang abang yang sangat ia sayangi dengan menunggunya di halte depan sekolah. Sedangkan Baron sedang mengambil mobilnya di parkiran sekolah.

Tak lama kemudian, Baron menghentikan laju mobilnya tepat dihadapan Adel. Baron membuka kaca mobilnya.

"Cewek boleh kenalan nggak?"

Adel mendengus sebal, "Nggak!" Mendengar jawaban Adel yang terkesan ketus membuat Baron tertawa pelan, "haduhhh galak amat. Nanti nggak ada suka loh."

Adel mulai geram mendengar ocehan Baron yang terus mengganggunya, "ehh ngebacot ya! Ngapain sih? Pulang sono gue enek liat muka lo terus!" Baron justru keluar dari mobilnya dan duduk disamping Adel, "yakin enek? Nanti kalo gue pergi dan lo kangen gimana?" Baron tertawa kencang sedangkan Adel terlihat sedang emosi.

"kagak!"

"Gue anterin aja ya?" Tawar Baron karena kasihan melihat cewek duduk di halte sendirian apalagi ini udah hampir tengah malam.

Adel menggeleng, "nggak usah, abang gue udah dijalan. Lagian kalo lo nganterin gue kan rumah kita beda arah bencong," Adel mengusir Baron namun Baron menatap Adel penuh dengan selidik.

"yakin? Apa perlu gue tungguin sampe abang lo dateng?" jawab Baron dengan senyum yang misterius.

Lagi-lagi Adel menolak, "nggak usah. Lo balik aja ini udah malem kasihan mama lo nungguin lo balik." Baron mengeluarkan ponselnya dari saku celananya lalu mengetik sesuatu di layar ponselnya.

"Gue temenin ya. Ini udah malem dan gue nggak menerima penolakan. Gue udah izin ke mama kalo bakal pulang telat."

Adel memandang Baron dengan muka masam, "serah lo! Percuma nawarin sesuatu ke lo kalo ujung-ujungnya lo maksa buat nemenin gue." Baron mengalihkan pandangannya tepat didepan wajah Adel hingga membuat Adel mundur beberapa senti ke belakang, "gitu dong. Senyum dulu atuh. Biar cakepnya kelihatan."

"Eh Ron, kenapa lo nyanyi lagu Cinta salah? Lo lagi ada masalah sama cewek lo?" Adel memecahkan keheningan malam ini. "Enggak, emang gue tadi sengaja buat nyindir Bagas. Kan lagu itu cocok sama kondisi lo yang sekarang."

Adel berdecih tak menyangka dengan jawaban dari Baron, "lo bisa nggak sih. Sehari aja nggak brengsek kaya gini. Bisa nggak? Tega-teganya lo ngejek gue disaat kaya gini."

Baron menggelengkan kepala dengan mantap, "gue udah ditakdirin buat brengsek dari lahir Del. Lagian kan lo udah tau gue brengsek kenapa lo masih mau deket sama gue?"

Adel tidak langsung memotong penjelasan Baron tapi kalau itu dipadukan dengan fakta yang ada. Semua yang telah Baron ucapkan adalah benar. "Kenapa lo nanya hal yang sama kayak dia sih? Itu memang benar adanya, kalo dipikir-pikir. Sebenernya lo itu nggak terlalu brengsek. Lo sebenernya baik banget sama gue. Selalu ada buat gue. Tapi lo itu brengsek. Karena suka nyintip cewek dikamar mandi, suka malakin adek kelas, trus yang terakhir lo itu hobi mainin hati cewek."

Baron menyinyir mendengar ocehan Adel mengenai seberapa brengsek dirinya selama ini, "dih! Emang gue segitu brengseknya? Brengsek gue tuh masih dibatas wajar ya. Jadi nggak usah berlebihan karena gue masih tahu batasan." Adel menggangguk dengan mantap karena begitulah penilaian Adel terhadap sikap Baron selama ini.

" Btw, kenapa lo nggak mau cari cewek yang bener-bener lo perjuangin atau yang beneran lo suka? Sampe kapan lo mau kayak gini terus?"

Setelah mendengar penuturan Adel, Baron menurunkan pandangannya kearah aspal jalanan, "sebenernya dari dulu gue udah punya cewek yang gue suka."

Setelah mendengar hal itu wajah Adel berbinar dan menatap Baron dengan tatapan tak percaya, "bagus dong. Tunggu apa lagi nyatain perasaan lo. Sebelum dia diambil orang."

Baron menggeleng pelan, "Nggak bisa. Dia udah jadi milik orang lain dan dia lagi merjuangin orang lain. Padahal gue yang selalu ada disaat dia rapuh, saat di jatuh. Itu gue! Tapi, dia cuman anggep gue sebatas temen. Nggak lebih dari TEMAN!"

Baron mengatakan hal itu dengan menggebu-gebu, "yang sabar ya. Semoga Tuhan cepet ngebuka hati cewek itu. Kalo gue jadi cewek itu, gue bakal ngerasa kalo gue tuh wanita paling beruntung yang bisa ngedapetin lo." jawab Adel dengan tersenyum.

Sempat ada hening diantara mereka, "Btw, abang gue kok lama ya? Perasaan jarak rumah ke sekolah nggak jauh-jauh amat." Adel mengatakannya sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

"Coba lo telfon aja." Baron memberi saran.

Tuttt.

Suara dering telpon yang menyambung namun tak kunjung dijawab. "Halo, abang dimana?" tanya Adel seiring dengan dijawabnya telponnya oleh sang abang. "Gue lagi dijalan. Tapi kayaknya gue nggak bisa jemput lo." Jawab sang Abang di seberang telpon.

Raut wajah Adel berkerut, ia takut ada hal yang tak terduga terjadi pada sang abang, "kenapa bang? Lo nggak kenapa-napa kan?"

Sang abang menghela napas perlahan, "ban mobil gue bocor. Lo bareng temen lo aja ya. Maap gue juga nggak tau kalo ban mobil gue bocor."

Adel mengangguk perlahan, "yaudah. See you in home."

Adel mematikan sambungan telponnya dan kembali menatap ke arah Baron, "jadi gimana? Udah sampe mana?" Adel menggeleng pelan.

"abang gue nggak bisa jemput soalnya ban mobilnya bocor."

Baron mengepalkan kedua tangannya dan mengangkatnya ke udara, "yess.. Yaudah ayo gue anterin." Adel mengangguk pasrah karena disini hanya tersisa Baron saja, kalau dia mau menunggu lagi dapat dipastikan bahwa Adel akan menginap di sekolah untuk malam ini.

"Iya deh. Seneng ya liat temennya susah." cibir Adel sedikit sebal.