Anthemusa, 1793
Seorang siren perempuan menghadap kepada kepala kaumnya yang menatap dirinya bingung dengan beberapa pengawalnya di samping kursi tahtanya.
"Apa yang membuatmu datang kesini?" Tanya sang ratu dengan suara lembutnya.
"Saya Astraea Xalvador mohon izin berbicara, Yang Mulia Athena." Ujar gadis tersebut dengan memegang dadanya dan menunduk, memberi hormat kepada sang kepala kaumnya.
"Permohonan dikabulkan." Kata Ratu Athena yang bersandar pada kursi tahtanya.
Astraea mengangkat wajahnya dan menatap sang ratu dengan serius. Sejenak ia menghela napas dengan dalam.
"Saya menolak untuk bernyanyi kepada para pelaut."
Ratu Athena langsung menegakkan tubuhnya, "Ulangi kalimatmu."
"Saya menolak untuk bernyanyi kepada para pelaut dan nelayan, Yang Mulia."
"Ada apa denganmu, Astraea?" Ratu Athena bangkit dari kursinya dan menatap tajam Astraea dengan ketegasan dalam pertanyaan yang terlontar dari suara lembutnya. Tidak lupa senyuman sang ratu yang sangat indah.
"Maaf, Yang Mulia Athena. Saya tidak suka mendengar teriakan tersebut." Ratu Athena tertawa sangat keras hingga bergema ke seluruh ruangan megahnya.
"Bukankah itu salah satu sumber energi kita selain menghisap jiwanya? Mengapa kau tidak suka?"
"Saya tidak menikmati hal tersebut, Yang Mulia."
Ratu Athena terdiam dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya sejenak. Saat ia menyingkirkan kedua tangannya, ia menatap Astraea dingin dengan matanya yang berubah merah menyala.
"Beraninya kau mengatakan itu!" Teriak Ratu Athena membuat hawa damai menjadi mencekam seketika. Astraea terpejam sejenak saat sang ratu berteriak.
"Maaf, Yang Mulia. Saya hanya ingin berkata jujur dengan apa yang saya rasakan."
Ratu Athena tersenyum sinis dan tersenyum miring, "Kau tau risiko apa yang kau ucapkan?"
Hawa yang mencekam dalam ruangan Ratu Athena bertambah dingin, membuat semua yang berada dalam ruangan tersebut bergidik. Begitupun Astraea. Namun, Astraea mencoba menyembunyikannya agar ia terlihat yakin dan tidak takut pada ancaman sang ratu.
"Sekali lagi, mohon maaf, Yang Mulia." Astraea kembali memegang dadanya dan menunduk.
Ratu Athena kembali duduk pada kursi agungnya dan memejamkan matanya lalu ia kembali menatap Astraea dengan mata tajam yang hitam elegan.
"Pulanglah, Astrea. Tunggu pengawalku besok pagi yang akan datang kerumahmu." Kata Ratu Athena yang sudah kembali tenang.
Astraea menunduk sejenak, "Saya izin pamit, Yang Mulia."
Ratu Athena kembali tersenyum, "Diizinkan."
Astraea pun berbalik dan berjalan menuju pintu ruangan sang ratu yang sudah dibukakan oleh pengawal. Saat pintu tertutup rapat, senyuman yang mulia perlahan meluntur dan menjadi seringai. Mata Ratu Athena pun kembali berubah menjadi merah menyala.
"Hukum mati Astraea Xalvador dan bawa tubuhnya kepadaku saat matahari terbit."
*****
Korea Selatan, 2019
"Mira, bawakan pesanan ini ke meja nomor dua puluh delapan."
"Baik."
Gadis yang bernama lengkap Hwang Mira tersebut mengangkat nampan yang berisi pesanan pelanggan di restoran tempatnya bekerja.
"Pesanan dua Steak Beef, satu Lemon Tea, dan satu Ice Americano." Mira menyebutkan pesanan yang dipesan oleh pelanggannya di meja yang dituju.
"Iya, benar." Jawab pelanggan tersebut.
Mira pun meletakkan pesanan tersebut di meja pelanggan, "Selamat menikmati." Ujarnya dengan senyuman manisnya.
Mira berjalan ke monitor LCD yang berada di dinding -menghubungkan dapur restoran dan para pelanggan. Ia menandakan pesanan meja yang sudah diantar dengan menekan nomor meja tersebut di monitor.
"Hoi!"
Mira terkejut karena suara tersebut dan sentuhan di pundaknya lalu dengan cepat ia menoleh ke arah sumber suara.
"Mark!" Kesal Mira dan memukul lengan sang pelaku yang sudah ia ketahui.
Mark yang berdiri di samping Mira pun tertawa, "Santai saja, Ra."
"Dasar gila." Umpat Mira. Mark yang mengetahui umpatan tersebut untuk dirinya hanya tertawa.
"Mira! Mark! Cepat rapihkan meja yang sudah selesai digunakan pelanggan."
"Iya, Ken." Sahut Mira.
"Sabar dong, Ken." Kata Mark.
Mira kembali memukul lengan Mark yang mendapat protes darinya, "Jangan mendumel." Ujarnya lalu berjalan ke meja pelanggan yang sudah selesai.
"Siapa juga yang mendumel." Gumam Mark dan menyusul Mira untuk membantunya.
*****
"Terima kasih semuanya." Mira melambaikan tangannya kepada semua pegawai yang sudah selesai bekerja dan bergegas pulang.
"Hati-hati ya, Mira."
"Iya, Yunji."
"Mark, jaga Mira."
"Santai."
"Kami duluan." Kata Mark. Mira dan Mark berjalan keluar dari restoran dan pulang bersama.
"Kamu udah makan?" Tanya Mark yang membuka pembicaraan.
"Belum." Mira menggelengkan kepalanya, "Mungkin nanti aku masak saja."
Mark menghentikan langkahnya di depan Mira yang membuatnya juga ikut berhenti dan menatap bingung lelaki yang tersenyum di depannya tersebut.
"Kalau begitu, ayo kita makan bersama."
Mira mendengus dan berjalan mendahului Mark "Enggak mau."
"Kenapa?" Tanya Mark yang berjalan di belakang Mira.
"Kamu menghabiskan jatah makanan bulananku."
"Ayolah."
"Aku juga belum belanja bulanan."
"Aku yang bayar belanja bulananmu."
Mira menghentikan langkahnya yang membuat Mark juga ikut berhenti. Mira memutar badannya dan menatap Mark, "Setuju."
Mira berjalan mendekati Mark dan menautkan lengannya pada lengan Mark dengan senang, "Ayo!"
Mark berdecak dan menoyor kening Mira, "Puas?"
"Banget." Jawab Mira dengan tersenyum lebar. Mark mengusap kepala Mira dengan lembut.
"Yaudah ayo."
Sesampai di supermarket, Mira langsung mengambil troli besar yang diambil alih oleh Mark dan mulai mengelilingi rak demi rak untuk kebutuhan perutnya dan Mark. Saat di tempat makanan ringan, Mira menoleh kepada Mark.
"Mau makan malam dengan apa?"
"Terserah."
Mira berdecak, "Jangan terserah, dong."
"Ya kan aku ikut sama kokinya aja mau masak apa." Jawab Mark dengan mengangkat kedua bahunya.
Mira berpikir sejenak dengan telunjuk yang ditaruh di dagunya, "Bokkeumbab?" (Nasi Goreng Kimchi)
"Ya sudah."
Mira menatap sinis Mark sekilas lalu ia mengambil beberapa makanan ringan dan dimasukkan ke dalam troli.
"Makanan ringan untuk apa?" Tanya Mark.
"Untuk dimakan." Ujar Mira dengan asal tanpa menoleh kepada Mark. Mark mengelus dadanya sekilas lalu mereka berjalan ke tempat bahan makanan yang dibutuhkan, seperti nasi, daging asap, telur, kimchi, dan beberapa sayuran.
"Enggak beli udang?" Tanya Mark yang menoleh ke tempat bahan makanan yang berasal dari laut.
"Kamu mau masuk rumah sakit? Kalo mau, aku beli." Kata Mira yang sudah berada di samping Mark.
Mark mencubit pipi Mira yang membuat gadis tersebut mengaduh dengan beberapa kali menepuk tangan Mark agar melepaskan pipinya.
"Omongannya, heh." Ujar Mark saat sudah melepaskan cubitannya.
Mira mengusap pipinya yang sedikit nyeri dan menatap Mark dengan kesal, "Lagian udah tau alergi makanan laut malah nanyain udang."
"Apa salahnya?"
"Salah."
"Kenapa?"
"Enggak penting."
Mark yang merasa gemas mengacak rambut Mira lalu meninggalkannya dengan membawa troli belanjaan mereka.
"Jangan rambutku! Argh!"
*****
Mark dan Mira sudah sampai di dorm Mira dengan membawa beberapa plastik yang berisi belanjaan mereka. Mira dan Mark melepaskan alas kaki lalu menaruh semua kantung plastik di meja makan yang duduk menggunakan bantal kecil di lantai dan tas mereka di dinding yang tidak jauh dari meja tersebut.
Mira menarik lengan sweaternya hingga sikut lalu ia mulai membuka kantung plastik belanjaannya dan mulai memotong beberapa bahan.
Mark mengambil beberapa nasi yang siap saji dan meletakkan di samping bahan-bahan yang sudah dipotong oleh Mira. Mark menoleh ke Mira yang masih memotong bahan-bahan.
"Ada yang bisa dibantu?"
"Kamu duduk aja di meja itu udah membantu."
Mark menatap sebal gadis yang masih sibuk memotong tersebut, "Aku serius."
"Aku duarius."
"Terserah."
Mark menyerah. Akhirnya ia menuruti apa kata Mira, hanya duduk di meja makan dan mulai memakan makanan ringan yang mereka beli sambil memainkan ponselnya. Sesekali Mark melirik punggung Mira yang masih sibuk mondar-mandir memasukkan bahan utama dan penyedap ke dalam wajan. Tanpa di sadari, Mark tersenyum kecil lalu kembali fokus kepada ponselnya.
"Mark."
Mark langsung berdiri dan menghampiri Mira lalu berhenti tepat di belakang gadis tersebut, "Apa?"
Mira menoleh sedikit ke belakangnya lalu kembali fokus pada masakannya, "Jangan di belakangku!"
"Kenapa?"
"Sempit."
Dengan jahil Mark melangkah maju perlahan dan membuat jaraknya dan punggung Mira hampir tidak ada. Mira yang menyadari hal tersebut mencubit pinggang Mark. Sedetik kemudian terdengar aduhan dari pria tersebut dan ia memegang tangan Mira yang masih berada di pinggangnya.
"Jangan usil, deh." Ujar Mira.
"Iya, iya. Lepas dong."
Akhirnya Mira melepaskan cubitannya. Tak lama Mira memberikan mangkuk yang sudah berisi Bokkeumbab serta telur mata sapi di atasnya kepada Mark. Mark menerimanya dengan tersenyum cerah.
"Terima kasih!"
"Kembali."
Mark meletakkan makanannya di meja makan lalu ia berjalan ke tempat peralatan makan untuk mengambil sumpit dan sendok. Sejenak Mark merapatkan kedua telapak tangannya di depan wajah dengan sumpit yang berada di sela antara ibu jari dan telunjuk, "Selamat makan."
Mira membereskan dapurnya yang sudah selesai dipakai dan berbaring di tempat tidurnya. Mark yang sedang mengunyah menatap bingung gadis yang sedang memejamkan matanya tersebut.
"Loh, kamu gak makan?" tanya Mark setelah makanannya sudah ditelan.
Mira menggeleng pelan, "Nanti."
"Sekarang, gak?"
"Nanti aja, Mark."
"Ayo makan bersamaku."
"Nanti."
Mark menaruh kembali sumpit dan sendoknya lalu mendekat ke tempat tidur dan menarik pelan tangan Mira yang tergantung di pinggir kasur.
"Apa sih, Mark?"
"Ayo makan bersama."
"Nanti. Aku lelah."
"Ya karena lelah ayo makan dulu. Jangan langsung tidur."
"Enggak mau makan."
"Ayo dong!"
Mira membuka matanya dan menatap sinis Mark yang tersenyum manis kepadanya. Dengan cepat Mira kembali menutup matanya.
"Jangan tersenyum."
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan."
"Ayo makan!"
Mira menghembuskan napasnya dengan kasar lalu ia duduk di pinggir kasur dan menatap Mark dengan sedikit jengkel. Dengan terpaksa Mira mengambil Bokkeumbab untuk porsinya dan peralatan makannya lalu ia duduk di hadapan pria yang sudah tersenyum padanya.
"Sudah kubilang jangan tersenyum."
"Kenapa, sih?"
Mira tidak menjawab dan mengabaikan Mark dengan fokus pada makanannya. Mark yang tidak ambil pusing itu kembali memakan jatahnya.
"Terima kasih atas makanannya." Mark kembali merapatkan kedua telapak tangannya di depan wajah dengan sumpit yang berada di sela antara ibu jari dan telunjuk. Mira yang juga sudah selesai dengan santapannya mengambil peralatan makanan Mark dan dirinya lalu ia menaruh di wastafel tempat cuci piring. Mira langsung memakai sarung tangan untuk mencuci peralatan makanannya.
"Ra," Mira hanya berdehem tanpa menoleh saat Mark memanggilnya.
"Sepertinya aku harus pulang."
"Oh, ya sudah."
"Aku bakal sering ke sini, kok. Jangan takut sendirian ya." Kata Mark saat ia menggendong tasnya.
Mira memutar bola matanya dengan kesal, "Tolong, ya. Dorm kamu tuh di sebelah."
Mark terkekeh dan berjalan mendekati Mira, "Ya siapa tau kamu takut pas malam."
"Oh my god, Mark. Please!" Mira hampir saja memukul Mark dengan tangannya yang masih penuh busa jika saja pria itu tidak menghindar dengan keluar dari dormnya.
Sebelum pintu rapat, Mark menimbulkan kepalanya sedikit di sela-selanya, "Awas jangan takut."
"WANG YI EUN!"
BLAM
Pintu pun tertutup rapat.
*****
Langit belum menunjukkan cahaya matahari walaupun waktu sudah memasuki pagi dan manusia pun belum banyak yang beraktivitas. Termasuk Mira. Dirinya masih terselimut dengan nyaman. Namun, beberapa kali Mira membalikkan badannya, mencari posisi nyaman. Sayangnya, ia selalu risih.
Dengan terpaksa, Mira membuka matanya dan berusaha bangkit dari kasurnya. Namun tubuhnya tidak mendukung. Sesak pun menghantam hatinya, membuat Mira meremas baju tidurnya tepat di hatinya dan merangkak turun dari kasur.
Setelah Mira bisa berdiri, ia pun bertumpu kepada dinding dan berjalan perlahan ke kamar mandi.
Dengan cepat Mira membuka pintu kamar mandinya dan segera meraih keran showernya. Saat air sudah membasahi tubuhnya, Mira langsung terduduk lemas di bawah air yang mengalir dari showernya. Oksigen yang terasa habis baginya, kini mulai berkumpul dan Mira bisa mengatur napasnya sedikit demi sedikit.
"Hampir saja." Lirihnya dengan masih terengah-engah dan bersandar pada dinding dengan air yang masih membasahi dirinya.
Setelah merasa sudah baikan, Mira pun mulai membersihkan tubuhnya.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mira yang sudah lengkap dengan pakaian kerjanya sedang sibuk masukkan roti ke mesin roti panggang lalu ia memasak telur dadar lalu maletakkannya di piring. Selagi menunggu roti, Mira merapihkan tempat tidurnya, seperti melipat selimut dan meletakkan kembali bantal ke tempat semula. Tepat saat mesin roti panggang berbunyi, pintu dorm Mira terbuka dan menampakkan Mark yang tersenyum manis dengan pakaian olahraga larinya.
"Selamat pagi." Sapanya saat sudah masuk dan menutup kembali pintu dorm Mira.
"Kenapa kamu kesini?" Tanya Mira yang menatapnya sambil bertolak pinggang.
"Aku lapar." Jawab Mark dengan santai.
Mira menatap Mark yang sedang berjalan ke meja makan dengan kesal. Tak lama ia menghela napas berat dan menurunkan tangannya dari pinggang, "Sabar."
Bunyi yang berasal dari mesin roti panggang pun terdengar, membuat Mark dan Mira mengalihkan pandangan mereka ke alat tersebut.
"Kamu memanggang roti?" Tanya Mark.
Mira berjalan ke rak piring, "Kenapa? Enggak suka?" Tanyanya tanpa menoleh kepada Mark.
"Buatkan juga untukku." Ujar Mark membuat Mira yang sudah mengangkat rotinya membalikkan badannya dengan tatapan sinis. Yang ditatap hanya tersenyum manis melihat tanggapan si gadis.
Tanpa kembali bersuara, Mira langsung memasukkan kembali roti tawar dari plastik ke mesin panggangan lalu menekan tombol untuk memulai pemanggangannya.
Selagi menunggu, Mira menyiapkan roti yang sudah di panggang tadi dengan telur dadar yang sudah disiapkan. Ia meletakkan telur dadar tersebut diantara dua roti lalu dipotong hingga membentuk segitiga.
Melihat Mira yang sibuk, Mark berdiri lalu berjalan ke tempat makanan ringan yang berada di lemari dapur. Mark mengambil susu kotak rasa coklat berukuran besar di lemari tersebut lalu ia menyiapkan dua gelas dan dituangkannya susu tersebut ke dalam gelas.
Mira membuka lemari dapur dan mengambil selai coklat Serta mengangkat roti dari mesin pemanggangan tepat saat alat tersebut berbunyi.
Mira membawa roti panggang dan selai coklat ke meha makan lalu roti panggang dan telur dadar. Mark pun juga membawa dua gelas susu coklat ke meja makan dan peralatan makannya.
"Wah. Kamu masih ingat kesukaanku?" Tanya Mark dengan antusias yang sudah duduk dengan rapih.
Mira menaruh piring kosong di sisi meja tempat Mark dan sisi meja tempat duduknya, "Semua kesukaanmu itu sudah diluar ingatanku." Mark tersenyum simpul saat Mira sudah duduk di depannya.
"Selamat makan."
Mark dan Mira mulai sarapan bersama yang bisa dibilang 'dadakan' dan seadanya.
Mark melepaskan jaket khusus olahraganya dan menaruh di sampingnya yang secara tidak langsung ia memperlugatkan bentuk tubuhnya karena kaos yang dipakainya sudah sangat basah akibat keringat. Saat Mark ingin mengambil roti panggang, Mira langsung memukul telapak tangannya. Mark pun menarik tangannya dan hendak protes kepada Mira.
"Cuci tangan dulu! Kamu habis berolahraga." Sela Mira sebelum Mark membuka suaranya.
Mark hanya memberi tatapan malas dan ia berdiri berjalan ke wastafel. Setelah selesai mengeringkan tangannya, Mark kembali duduk dan mulai mengambil rotinya. Mira yang masih terlihat risih dengan cepat berdiri dan mengambil handuk berukuran sedang lalu ia berjalan mendekati Mark. Mira membuka lipatan handuknya dan meletakkan di kepala pria tersebut, membuat Mark yang sedang ingin menyuap roti ke mulutnya menatap tajam Mira.
"Aku berangkat." Ujar Mira setelah bangkit dari kurisnya dan menaruh piringnya di tempat cucian piring. Mark yang masih mengunyah menatap Mira dengan heran, "Bukannya kamu libur?"
Mira yang sedang mengikat tali sepatu menggelengkan kepalanya, "Aku bertukar shift dengan Yunji."
"Kamu akan pergi lagi besok?" Mira mengangguk.
Mark menatap punggung Mira yang sudah menghadap pintu dan hendak membukanya, "Kenapa kamu selalu meminta libur pada hari sabtu?"
Mira yang sudah mendorong ke bawah knop pintunya menghentikan gerakannya. Secara tidak sadar Mira menggenggam erat knop tersebut hingga telapak tangannya memucat.
"Hanya ingin."
Mira pun membuka pintu dan meninggalkan Mark yang terdiam di dormnya.
*****
Hari sabtu telah datang. Mira yang sudah rapih dengan pakaian casualnya menenangkan tubuhnya di pagi buta. Ya, sekarang jam menunjukkan pukul 02.12 dini hari, di mana ia harus pergi ke tempat yang membuatnya tetap hidup. Dengan keyakinan yang matang, Mira pun mulai berangkat ke tempat tersebut. Mira menaiki sepedanya untuk sampai di tujuan, walalupun sebenarnya memang cukup memakan waktu jika menggunakan sepeda namun ia tidak ada pilihan lagi. Tidak ada kendaraan di pagi buta seperti ini.
Setelah sampai, Mira memarkirkan sepedanya di tempat sepeda dan menguncinya. Suara-suara tersebut mulai menghampiri telinga Mira membuat tubuhnya merespon lain yang secara tidak sadar tangannya mengepal untuk pelampiasan respon tersebut. Dengan langkah berat, Mira mulai menatap langit yang dihiasi bintang indah. Semakin ia mendekat, semakin kencang tangannya mengepal.
Mira menghentikan langkahnya di bibir pantai. Ya, saat ini dirinya sedang di pesisir pantai yang memang dekat dengan dormnya. Mira mengangkat pergelangan tangannya, pukul 03.55 tertara pada jam digitalnya. Jam di mana para nelayan mulai mengarungi lautan yang luas ini untuk kehidupannya serta keluarga.
Saat Mira memejamkan matanya, ia mendengar suara nyanyian sekaligus teriakan yang sangat kencang di telinganya. Kedua tangan Mira kembali mengepal dengan kuat. Teriakan kesakitan, memohon ampun, tangisan, semua itu hinggap di telinga Mira. Hanya Mira yang bisa mendengarkannya. Membayangkan para pelaut yang berteriak hingga tenaganya habis terkuras tersebut hadir dalam benak Mira, membuatnya menutup telinga dan berjongkok dengan harapan bayangan tersebut hilang.
"AAARRRGHHHH-"
Teriakan Mira terhenti saat sebuah tangan mencekik lehernya. Dengan cepat Mira membuka matanya dan ia terkejut saat menatap sebuah mata merah menyala yang ia kenal.
"Lama tidak jumpa. Tapi, maaf. Kau harus tidur selamanya, Astraea Xalvador."
"Yang Mulia Athena-"
Tubuh gadis tersebut ditarik dengan cepat ke dalam laut yang paling dasar tanpa jejak satupun.