Chereads / Perjalanan Cinta Riza / Chapter 28 - Kekecewaanku

Chapter 28 - Kekecewaanku

Bismillah...

"Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Ia akan teringat selalu pada cinta pertamanya hingga akhir hayatnya sekalipun ia telah bersuami"

Kemarin Akmal sempat mendiamkanku karena pengagum rahasia yang tak tahu sikon itu terus mengirimiku kejutan-kejutannya. Aku sampai merasa tidak enak pada Akmal. Meskipun sampai saat ini aku tak pernah secara lisan membalas perasaannya, tapi aku benar-benar menjaga hatiku untuknya seperti pintanya kala itu.

Aku pasrah dengan sikap pemuda itu, karena ia masih mendiamkanku hingga aku turun dari angkot. Setelah mengucapkan salam aku melangkahkan kaki memasuki kostan, dan ternyata mas Zaenal yang tengah duduk santai di teras rumahnya menjawab salam dan tersenyum padaku. Aku yang masih merasa dengan kejadian malam itu mengangguk takut-takut ke arahnya dan segera memalingkan wajahku menghadap pintu kamar.

Dengan tergesa aku memasuki kamar setelah berhasil membuka pintu yang terkunci tadinya terkunci, kemudian menghempaskan diri pada bangku meja belajar dan berharap segelas air yang aku teguk dapat mengatasi detak jantungku yang berpacu.

Alhamdulillah setelah beberapa saat jantungku mulai normal kembali, aku teringat pemberian pengagum rahasiaku yang kumasukkan ke dalam tas secara sembarang berupa bunga dan kotak kecil berdetil embos yang isinya entah apa.

Setelah menempatkan kedua pemberian itu pada tempatnya, aku melangkahkan kaki ke tempat tidur untuk memberikan hak pada mataku yang mulai mengantuk. Baru saja hendak terpejam tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Aku mendengarnya tetapi berusaha meraih kesadaranku yang mulai akan memasuki dunia mimpi.

Ketukan itu terdengar lagi dan akhirnya aku berusaha menghampiri pintu dengan rasa kantuk yang belum mau pergi. Aku terperanjat saat mengetahui orang yang mengetuk pintuku. Ia menanyakan maaf atau entah apalah karena saat itu nyawaku belum benar-benar berada di tempatnya.

Laki-laki yang mengetuk pintuku tadi adalah mas Zaenal, ia mengajakku untuk duduk di taman dan tanpa suara aku mengekorinya duduk di bangku taman yang dekat dengan kolam ikan.

Setelah meyakinkan dirinya mendapat maaf dariku, ia berusaha menjelaskan alasan mengapa sikapnya tak terkontrol malam itu. Aku menunggunya menyelesaikan kalimatnya tapi ternyata terpotong saat adzah ashar berkumandang. Karena kurasa tak ada yang ingin ia bicarakan lagi, aku bermaksud untuk membersihkan diri dan segera menuanaikan sholat ashar.

Malamnya saat aku packing baju untuk keperluan pulang kampung, handphoneku berbunyi. Aku tersenyum senang karena ternyata Akmal yang menelponku. Setelah beberapa saat hening akhirnya ia meminta maaf atas sikapnya tadi siang. Ia berjanji tidak akan mengulangi sikapnya suatu saat, setelah aku memintanya.

Hari ini aku bersiap-siap untuk pulang ke rumah, setelah beberapa bulan tak pulang karena persiapan mengikuti ujian. Kemarin adalah hari terakhir ujian jadi hari ini aku tak ingin menunda kepulanganku lagi.

Kulihat jam tangan dan waktu telah menunjukkan hampir pukul 8.00, aku bergegas ke rumah bu Yani untuk herpamitan. Setelah mengucapkan salam, mas Zaenal menyongsongku dari dalam rumahnya dengan setelan baju kerjanya. Ia menggodaku khas seorang kakak pada adik kecilnya yang aku balas dengan senyuman.

Setelahnya ia menawariku untuk mengantar pulang, yang tentu saja aku tolak karena semalam Mam Najmi wanita kaya berhati baik yang merupakan mam Akmal itu, menjeda obrolan anaknya di telpon. Beliau memberitahu akan mengantarku pulang ke rumah ibuku bersama anak laki-lakinya.

Laki-laki dihadapanku itu nampak kecewa tapi kemudian suara bu Yani dari dalam rumah menyelamatkanku dari rasa tidak enak yang menjalari hatiku. Setelah menyalimi tangan wanita itu dan menangkupkan tanganku menghadap mas Zaenal, kemudian aku bersiap untuk ke kamar memeriksa barang yang akan aku bawa.

Belum sempat aku melangkah, Akmal mengahampiriku setelah sebelumnya mengucap salam yang kami jawab bersamaan, ia menangkupkan tangannya di dada menghadap padaku dan bu Yani kemudian menyalami mas Zaenal. Sesaat ekspresi mas Zaenal tak tergambar di wajahnya tapi kemudian Akmal memberitahuku bahwa ibunya menunggu di dalam mobil sehingga aku bergegas ke kamar untuk mengambil ransel dan mengunci pintu kamar.

Aku juga berpamitan pada mba-mba satu kostan, mereka berpesan agar aku hati-hati dan melepasku dari depan kamar masing-masing. Salah satu dari mereka menggodaku dengan menanyakan sosok Akmal yang hanya aku jawab dengan senyuman.

Saat akan menuju mobil aku dengar bisik-bisik di belakangkh, mba Ratih memuji ketampanan pemuda yang saat itu berjalan di sebelahku. Mba Ratih tuh ya, padahal sebentar lagi ia akan menikah dengan mas Randi orang yang telah menabraknya waktu itu. Aku tersenyum dalam hati melihat tingkah mba-mba kostku yang absurd.

Aku membuka pintu mobil dan melihat mam Najmi sedang berinteraksi dengan gawaynya, permintaan maafku karena membuatnya terlalu lama menunggu dijawabnya dengan kata "tak masalah". Beliau malah menggodaku karena menurutnya aku nampak bersemangat (kalau ini mah memang bener banget). Hehe aku jadi malu, dan kalian tahu sendiri kan bagaimana kalau aku malu?. Pipiku pasti akan menghangat dan ada semburat merah jambu yang nampak di sana meskipun dengan susah payah aku tutupi dengan cara menundukkan wajahku.

Perjalanan ke kampungku yang memakan waktu kurang lebih tiga jam membuatku harus menuruti permintaan Akmal untuk mengobrol agar ia tak mengantuk. Sementara mam Najmi sudah terlelap di sebelahku.

Tiga jam perjalanan telah dihabiskan saat mobil Akmal memasuki pekarangan rumahku. Aku lihat wanita yang aku rindukan sudah ada di rumah dengan senyum terukir di sana.

Setengah berlari ku menghambur ke pelukannya, mencurahkan rasa kangen yang beberapa bulan aku paksa untuk menunggu dengan sabar. Setelah kami melepaskan pelukan, aku memperkenalkan mam Najmi dan Akmal. Ibuku yang berkepribadian hangat seperti halnya mam Akmal langsung terlihat akrab menyambut tamunya.

Tiba-tiba suara seorang laki-laki yang muncul dari dalam rumah meminta ibuku untuk mengajak kami masuk. Aku mengerutkan dahi, mencoba mempelajari siapa laki-laki yang kemudian mencoba menyalamiku.

Ooh inikah jawaban telpon ibuku yang waktu itu menelpon ingin menikah lagi?. Aku menyimpulkan sendiri pikiranku yang kurasa benar. Aku berlalu menuju kamarku tanpa memperdulikan tangan bapak-bapak yang terulur ke arahku.

Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur setelah menutup pintu kamar. Kutumpahkan rasa kekecewaanku pada ibu dengan menangis sejadi-jadinya di atas bantal. Terasa perih hatiku melihat pengkhiatan ibu terhadap ayah yang telah berada di alam sana. Aku tak menyangka ibu akan bersikap demikian.

Waktu berlalu tanpa sedetikpun aku lewatkan dengan menangis dan menangis. Aku merasa sendiri hidup di dunia ini karena ibu, wanita yang selama ini berbagi rasa denganku malah memilih menikah dengan orang lain dan tak mempedulikan lagi perasaan putri satu-satunya.

Aku bahkan tak menyadari jika waktu dhuhur telah tiba jika tidak ada ketukan yang mengajakku sholat dhuhur. Dengan berat hati aku menjawab, bahwa aku akan sholat di kamarku saja.

Setelah mengambil air wudhu di kamar mandi aku menunaikan sholat dhuhur di kamar, berharap dengan sholat akan membantu menenangkan hatiku. Nyatanya setelah sholat aku tetap tak bisa berpikir jernih, air mataku malah terus saja mengalir.

Hanya posisiku yang berubah, sebelumnya aku menangis keras dengan menelungkup di bantal, kini aku menangis tanpa suara menghadap ke jendela tanpa membuka mukena yang kupakai.

Tiba-tiba pelukan lembut melingkupi tubuhku. Aku tetap tersedu. Wanita di depanku tetap tak mencoba menjelaskan apapun. Beliau mengingatkan bahwa ada orang lain yang datang bersamaku dan sedang menungguku untuk makan.

Aku mengulang nama-nama yang ibu sebutkan, mencoba meraih kesadaranku. Tanpa banyak kata ibu menuntunku dengan lembut setelah sebelumnya melepas mukenaku dan memakaikan kerudung instan ke kepalaku.

Pikiranku masih melayang, bertanya mengapa dan mengapa. bertanya tentang keihlasan ayahku pada ibuku di alam sana.

Ragaku memang ada di sana saat itu tapi tidak dengan hati dan pikiranku.

****

"Aku akan berangkat ke kota sore ini juga"

"Lho bukannya kemarin kamu akan menunggu pengumuman kelulusanmu di sini, nduk?

"Aku nggak bisa, aku nggak mau lihat orang itu!" Jawabku ketus dengan air mata yang berlinang di dalam kamarku. Akhirnya aku dapat berkata-berkata tapi dengan kata yang melukai hati ibuku tentunya.

"Dengar ya, bu. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menerima dia sebagai ayahku!. Lanjutku. Ya Allah... betapa tajam perkataanku tapi hanya itu yang ada dibenakku, ingin membuatnya terluka seperti beliau yang tega membuatku luka di hati dan tak berdarah.

Ibu hanya terdiam mendengar kalimat-kalimatku yang tajam, beliau tak mencoba menjawabnya walaupun sebenarnya bisa saja.

"Lakukanlah yang ingin kamu lakukan, nduk. Ibu tak akan memaksamu. mudah-mudahan suatu saat gadis kecil ibu ini akan memahami dan menerima semua"

"Tidak akan !!!" Teriakku pilu, ibu tersentak kaget mendengar kata-kataku yang tegas dan tak tergoyahkan, tangannya yang tadi membelai pucuk kepalaku terhenyak. Tapi kemudian merengkuhku.

"Istighfar, nduk. Jangan mendahuluiNya. Aku kembali tergugu dipelukannya. Kenangan -kenangan ayahku berkelebat kemudian kenangan-kenangan aku dan ibu menjalani hidup berdua tanpa ayah.

Sore itu juga aku kembali lagi ke kota bersama Akmal dan Mam Najmi, tak sesuai rencana awal yang tadinya akan menunggu berita kelulusan di kampung.

Sebelumnya ibu bercakap-cakap sebentar dengan mereka. Pelukan yang tak aku balas mengantarkanku menaiki mobil, Sekilas aku melihat bapak-bapak itu dari kejauhan. Mungkin ia memberikan ruang pada hatiku agar tak terus tertekan melihatnya berada di samping ibuku.

"Titip gadis kecilku ya, bu, Akmal..." Kalimat terakhir yang kudengar dari bibir ibuku sebelum mobil yang kutumpangi memecah kelengangan kampung karena hujan baru saja reda saat itu.

****

Assalamualaikum..

Hai readers, terimakasih sudah terus membaca.

Episode kali ini author mohon undur diri dari Webnovel karena di episode-episode berikutnya sudah dikontrak di situs lain.

Terimakasih