Hari sudah malam, Luna baru saja sampai rumah. Dia turun dari mobil Lionil dengan lemah dan lesu. Lionil Yang juga baru turun dari mobilnya hanya diam saja melihat adiknya yang tampak sedih, dia mendekati Luna merangkul pundah adiknya menepuk-nepuk pelan tubuh adiknya itu. Untuk memberikan energi semangat agar Luna tidak merasakan sedih lagi. Mereka baru saja mengantarkan Jovan ke bandara, iya Jovan sudah berangkat ke Amerika. Dia berangkat setelah mengajak Luna tadi ke Mall, ia hanya pulang sebentar mengambil barang-barangnya dan langsung berangkat ke bandara dengan diantar Lionil dan Luna. Luis dan Sarah tidak bisa mengantar mereka karena mereka berdua sedang berada di Luar kota bersama Liam beserta anak dan istrinya.
Luna begitu sedih karena Jovan pergi membawa kecewa pada dirinya entah kenapa saat ini ia merasakan bersalah kepada pria itu. Rasa salah yang begitu membuatnya sedih, hatinya sudah ditempati orang lain bukan Jovan lagi. Lionil berjalan dengan masih metangkul adiknya, mereka berjalan bersama memasuki rumah mereka. Baru saja mereka mendekati pintu, ternyata di depan pintu ada Zach yang berdiri melihat kedatangan kakak adik yang berjalan mendekat itu.
"Loh, Lo disini Zach? kenapa gak masuk" Lionil tertegun saat melihat Zach yang sudah berdiri di depanya begitu juga Luna yang juga tertegun mendongakkan kepalanya yang sedari tadi berjalan menunduk melihat bahwa Zach sudah berdiri tepat didepan mereka.
***
Zach kini sudah duduk di ruang tengah keluarga Rayes seorang diri. Luna sedang ke atas berganti pakaian, sedangkan Lionil tadi pria itu bilang akan pergi kerumah Rangga untuk berkumpul bersama teman-teman yang lain. Sembari menunggu Luna, Zach meminum tehnya yang baru saja di buatkan bi Mirna. Ia sesekali juga membuka ponsel miliknya melihat barang kali ada pesan atau apa yang penting.
Luna menuruni tangga, turun ke ruang tengah menghampiri Zach yang duduk di tengah sofa menatap kearah televisi. Ia mendekat dan duduk di sofa yang terletak di sebelah sofa yang diduduki Zach. Zach memandang Luna yang hanya diam tidak berbicara padanya terlihat wajah gadis itu yang tampak bengap apalagi di kedua matanya yang terlihat jelas bahwa gadis itu habis menangis. Menangis? apa yang membuatnya menangis? batin Zach.
"Ada apa Lo kesini? kalau gak penting mendingan lo pulang, gue capek" ketus Luna, ia hanya sekilas memandang kearah Zach. Dan selanjutnya memandang kearah lain.
Zach masih diam, dia hanya mengamati wajah Luna yang memang tampak lelah. Bukan itu saja, sepertinya gadis itu juga tidak mau menatap kearahnya.
"Zach.. " panggil Luna. Karena Zach hanya diam menatapnya tak berbicara.
"Lo sakit.? " pertanyaan dari Zach yang begitu saja. Ia beranggapan bahwa gadis di depanya tengah sakit.
"Nggak, gue sehat" lirih Luna.
"Pliss Zach, kalau nggak ada hal penting Yang mau diomongin. Lo pulang aja, gue capek serius" Luna sudah benar-benar lelah sekarang psikisnya. Dia sudah tidak ingin menanggapi omongan orang lagi untuk saat ini, yang ia butuhkan saat ini hanyalah beristirahat menenangkan fikiranya. Dan mencoba bersikap biasa setelah kepergian Jovan, rasa bersalahnya ini membuatnya begitu lemah.
"Lo marah sama gue" Tanya Zach dia berdiri berpindah duduk menjadi di samping Luna, memandang lebih dekat gadis itu.
Luna menghela nafas berat, dirinya benar-benar lelah saat ini. Dan dia tidak ingin membahas tentang Zach yang tidak menepati ucapanya. Yang ia inginkan benar-benar istirahat. Luna bangkit dari duduknya berniat untuk pergi saja dari hadapan Zach tanpa menjawab pertanyaan laki-laki itu. Belum juga ia pergi lengannya sudah tertahan, Zach menahan lenganya.
Zach ikut berdiri, masih memegang lengan Luna. Menatap gadis didepanya seakan berbicara untuk tidak pergi, dan mendengarkan penjelasan dirinya.
"Tunggu, gue mau ngomong" ujarnya.
Secara perlahan Luna melepaskan tangan Zach dari lengannya
"Besok aja kita bahas, gue saat ini beneran lelah dan gue butuh istirahat. " Luna sudah terlepas dari Zach. Ia berjalan pergi meninggalkan laki-laki itu yang hanya memandangnya nanar saat dirinya sudah menaiki tangga.
Zach terus saja menatap nanar kearah Luna yang pergi meninggalkannya seorang diri di ruang tengah keluarga Rayes. Ia tidak mengalihkan pandangannya sama sekali, sampai gadis itu masuk kedalam kamar dan menutup pintu kamar.
°°°°°
Luna berjalan tanpa semangat menyusuri koridor sekolah untuk menuju ke kelasnya. Rasanya semangatnya entah hilang kemana, niat hati tidak ingin berangkat ke sekolah tapi dirinya sudah terhitung dua kali tidak mengikuti pelajaran. Apalagi ini sudah mau ke naikan kelas jadi tidak mungkin ia akan menambah daftar tidak masuknya. Ia memasuki kelas dengan begitu lesu tak bersemangat, langsung menaruh tasnya di meja dan mendudukkan bokongnya di kursi.
Kedua sahabat Luna memperhatikan Luna aneh tak biasanya teman mereka itu tampak lelah. Biasanya Luna selalu bersemangat, bahkan waktu ia masih sering di bully, tuh anak masih tampak semangat nan ceria. Tapi, kenapa kini dia seperti itu batin kedua teman Luna.
"Woi, kenapa Lo" Anya menepuk bahu Luna yang tampak melamun memperhatikan ke arah pintu. Anya duduk di kursi sebelah Luna yang kebetulan kosong. Dan Dinda menyeret kursi dari belakang meja Luna mendudukkan bokongnya disitu. Kini mereka berdua mengerubuti Luna.
"Iya, Lo kenapa sih. Kaya gak ada tenaganya begini? " Tanya Dinda penasaran
"Gak pa-pa" ujar Luna singkat.
"Lo bohong sama kita kan?, kita berdua tuh tau. Lo pasti sedang ada masalah. Cerita sama kita berdua" tuntut Anya, karena dia begitu mengenal Luna. Mereka bertiga bersahabat sudah cukup lama jadi mereka tau dikala Luna sedang memiliki beban masalah di pikiranya.
"Bener banget, kata Anya. Lo pasti ada masalah gak mungkin nggak? Jangan bilang nggak pa-pa disaat hati serta pikiran Lo kenapa-kenapa" Dinda menimpali perkataan Anya.
"Gue bersyukur deh, punya sahabat kaya kalian ini" ujar Luna sedikit tersenyum. Ia merasa terharu dengan kedua sahabatnya yang selalu ada dan mengerti dirinya.
"Udah cepetan cerita, mumpung belum masuk dan mumpung belum ada banyak orang" Dinda terlihat tidak sabaran, karena ia benar-benar merasa penasar tentang apa yang membuat sahabatnya itu begitu terlihat lesu.
"Gimana ya gue bilangnya" Luna masih bingung darimana ia akan berbicara.
"Bilang tinggal bilang, jangan ragu untuk mengatakannya. Lepaskan semua yang membuatmu tak bersemangat, cerita sama kita" Anya meyakinkan Luna untuk segera mengatakan masalah apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu.
"Gue ngerasa sedih sekaligus ngerasa bersalah sama kak Jovan" Luna akhirnya mulai bercerita.
"Kenapa Lo ngerasa bersalah? " tanya Dinda.
"Kak Jovan, waktu itu.. ngungkapin perasaanya ke gue. Dia bilang suka sama gue, dan gue.. " Luna dengan ragu mengatakanya dan belum sempat menyelesaikan ucapanya Dinda sudah terlebih dahulu memotongnya.
"Ya bagus, tandanya cinta Lo kedia nggak bertepuk sebelah tangan. Kenapa Lo harus ngerasa bersalah" celetuk Dinda memotong pembicaraan Luna. Karena itu ia mendepat tempeleng di kepalanya. Anya menempeleng kepala Dinda.
"Dasar Oneng" Anya terlihat kesal dengan Dinda.
"Sakit bego" teriak Dinda di telinga Anya.
"Lo yang bego" Anya merasa gemas sendiri dengan Dinda.
"Lo berdua mau dengerin cerita gue nggak sih" Luna cemberut melihat kedua temanya itu yang malah ribut sendiri.
Anya dan Dinda yang tadinya adu argument. Kini diam mereka saling tatap dan selanjutnya menatap ke arah Luna memperhatikan kembali temanya itu untuk bicara.
"Lanjut nggak nih" tanya Luna
"Lanjut"
"Lanjut" Dinda dan Anya menjawab bersamaan, sambil membuka telapak tanganya untuk mempersilahkan Luna melanjutkannya.
"Gue jelas merasa bersalah sama kak Jovan, karena gue gak bisa bales rasa sukanya. Entah kenapa dengan hati gue, seharusnya kan gue seneng denger dia bilang suka sama gue. Tapi hati gue nggak, gue biasa aja. Dan karena itu gue mikir apa hati gue udah buat orang lain" jelas Luna. Membuat kedua temanya saling tatap.
"Lo berarti suka sama Zach atau malah lo jatuh cinta" celetuk Anya.
"Bener kata Anya, Lo mungkin udah jatuh cinta sama Zach. Makanya hati Lo biasa aja denger pernyataan ka Jovan" Dinda membenarkan ucapan Anya. Luna diam mendengar perkataan-perkataan kedua sahabatnya, ia sendiri masih tidak yakin dengan perasaanya.
°°°°°
Zach masih berada di kelasnya padahal saat ini sudah jam istirahat. Ia tidak sendiri melainkan bersama Rama, Fajri serta pandu temannya dari kelas XI IPS 1. Mereka berempat tampak asik mengobrol, eh bukan berempat tetapi bertiga. Kenapa bertiga sementara ada empat orang yang bergelombol disitu, tentu karena Zach tidak ikut berbicara dia hanya diam sibuk dengan dunianya sendiri. Ia sedari tadi sibuk menulis, entah menulis apa. Tapi dia juga sesekali melihat ponselnya, yang padahal tidak ada tanda-tanda berbunyi sedari tadi.
"Darren kemana sih woy, kok gak kelihatan. Padahal gue balik dari pertukaran pelajar" ujar Pandu yang merasa kurang tidak ada Darren. Pandu memang murid jenius sehingga dia mengikuti pertukaran pelajar ke Australia selama 6 bulan.
"Tau tuh kemana? " sahut Fajri.
"Mungkin lagi ngerjain tugas di kelasnya" Rama menimpali.
"Masa ngerjain tugas, pacaran mungkin tuh anak. Dia pacaran sama siapa tuh, Luna kan? yang duduk dengan dia" ujar Pandu tampak berfikir dan mencoba yakin.
Sontak itu mengalihkan Zach dari kesibukanya, Ia langsung menatap kearah Pandu tajam. Seakan berbicara, tarik omongan lo barusan.
Rama dan Fajri juga menatap kearah Pandu mereka seakan mengkode Pandu untuk menatap kearah Zach yang terus-terusan menatap Pandu.
"Kenapa kalian berdua.?" Pandu tak mengerti dengan tatapan kedua orang didepannya.
"Sebelah Lo" Rama berbicara singkat saja agar Pandu memperhatikan Zach yang duduk disebalahnya.
Mendengar ucapan Rama barusan, Pandu langsung menurutinya, ia kini memiringkan wajahnya memandang kesebelah melihat Zach Yang menatapnya datar tak berekspresi.
"Kenapa? " Pandu masih tak mengerti.
"Tarik omongan Lo" Sinis Zach.
"Omongan gue yang mana? " Pandu masih tidak mengerti juga.
Dia menatap Fajri dan Rama bergantian, meminta penjelasan, jujur ia tidak tahu apa yang Zach maksud. Omongan dirinya yang mana.
°°°
T. B. C