Luna duduk-duduk santai dirumahnya, ia menikmati jus jeruk dimeja ruang tengah rumahnya. Sambil menunggu kedatangan Zach, entah kenapa ia begitu bersemangat sekali mengetahui bahwa ia akan ngedate dengan Zach. Ngedate,entah bisa di artikan seperti itu atau tidak yang jelas di hari minggu ini ia kan keluar berdua dengan Zach. Rasanya ingin cepat-cepat pergi keluar. Tapi, kenapa sudah 15 menit lebih Zach tidak ada kabar. Apa dia terjebak macet pikir Luna. Apa dia terlalu menunggu sehingga terasa begitu lama, padahal baru 15 menit, sedangkan jarak rumahnya dan Zach 30 menit. Mungkin ia terlalu berharap untuk segera pergi dengan Zach, jadinya terasa sangat lama karena dia terlalu mengharapkan. Oke, biasa saja. Ia akan bersikap seakan biasa saja jangan terlalu menantikan mengerti Luna, ucapnya pada diri sendiri mencoba menghibur diri.
15 menit kemudian juga sudah berlalu bahkan sudah sangat lebih berlalu. Tapi Zach tak kunjung datang, apa dia tidak jadi kerumahnya, jika memang tidak jadi kenapa Zach tidak mengajarinya. Luna sudah bosan menunggu di ruang tengah, tidak ada tanda-tanda kedatangan Zach di luar. Mood Luna sudah tidak bersemangat, Luna memutuskan untuk kembali kekamarnya malas untuk menunggu Zach lagi. Dia sudah mutung untuk pergi, seakan moodnya berantakan, bukan seakan lagi tapi memang sudah berantakan. Dengan kesal Luna melangkah pergi menaiki tangga menghentakan kakinya dengan keras. Kalau tau begini untuk apa dia tadi sibuk-sibuk berdandan dan memakai Dress yang tidak ia suka agar terlihat menawan didepan Zach. Sungguh hal seperti itu bukan stylenya, kenapa bisa dia ingin terlihat mempesona padahal bukan gayanya seperti itu. Dia malah keluar dari jati dirinya yang sesungguhnya.
Saat menaiki anak tangga Luna berpapasan dengan Lionil yang menuruni tangga bersama Jovan.
"Wiih, darimana Lo? cantik begini" ujar Lionil saat berpapasan dengan Luna sambil memperhatikan adiknya itu dari atas kebawah. Jovan juga ikut memperhatikan, dia tampak terpesona dengan penampilan Luna yang belum pernah ia lihat sebelumnya
"Dari bawah" Luna menjawab asal dengan juteknya.
"Serius, dibawah ngapain dandan kayak gini" Lionil tak yakin dengan perkataan adiknya, ia juga melihat kebawah. Siapa tahu ada tamu yang bertemu Luna.
"Taulah, gak usah ganggu gue kak" Luna sudah bosan meladeni kakaknya, dia melewati kakaknya naik ke kamar miliknya.
Jovan menoleh, memperhatikan Luna yang tampak sebal. Ditambah gadis itu membanting pintu kamarnya dengan keras, ia merasa aneh sebenarnya ada apa dengan Luna. Kenapa merasa kesal seperti itu.
"Ayo bro" ujar Lionil sambil menepuk pundak Jovan yang masih menoleh kebelakang memperhatikan pintu kamar Luna yang tertutup.
"emm.. Lo duluan aja, gue mau bicara sama Luna dulu"
"Ngapain Lo mau bicara sama adik gue? " tanya Lionil penasaran.
"Itu, soal gue mau balik ke Amrik nanti sore. Kalau gue gak bilang tahu sendiri kan gimana adik lo, dulu aja dia marah banget sama gue" Jelas Jovan beralasan, sebenarnya bukan itu saja yang ingin ia bicarakan pada Luna.
"Oke, gue tunggu Lo didepan ya" Lionil menepuk lagi pundak Jovan sebelum pergi terlebih dahulu.
Jovan hanya mengangguk, serta ia berjalan naik kembali ke lantai dua. Ia berjalan menuju kamar Luna.
Di luar kamar Luna, Jovan sedikit ragu untuk mengetuk pintu itu tapi kalau dia tidak mengetuknya bagaiman dia bisa masuk. Kalau masuj saja tanpa mengetuk pintu kan tidak sopan dengan ragu ia mengetuk pintu itu.
Sekali tidak ada tanggapan, dua kali juga tidak. Baru saja ia akan mengetuknya untuk yang ketiga kali pintu kamar sudah terbuka menampilkan Luna yang masih berpakaian seperti tadi menatap Jovan penuh tanya.
°°°°°
Zach berada di rumah sakit, dia berjalan di lorong rumah sakit membawa sekantung kresek berisi buah-buahan. Serta beberapa cemilan di tangan satunya, kedua tanganya penuh berbagai macam makanan. Dia berjalan seperti biasa, berjalan tegap, tatapan tajam kedepan. Sehingga membuat siapa saja terpesona dan takjub dengan paras rupawan itu. Bahkan di rumah sakit pun, banyak orang yang terpesona dengan itu termasuk para suster-suster wanita yang tampak terpesona dengan ketampanan Zach. Soalnya sedari tadi Zach berjalan melewati mereka pandangan jatuh cinta terlontar untuk Zach. Bahkan di antara mereka yang terang-terangan mengatakan suka pada Zach saat Zach melewati mereka.
Zach masuk ke salah satu ruangan yang berada di lorong itu. Ruangan VVIP Golden 2 tertulis jelas di pintu kamar. Entah siapa yang sedang di rawat di dalam. Zach memutar knop pintu, pintu kini terbuka sedikit Zach masuk kedalam dan bisa di lihat siapa yang sedang di rawat disitu. Salsa,..
Salsa yang berada di ruang perawatan itu, Kedatangan Zach langsung membuat Salsa tersenyum lebar menyambut Zach yang datang membawa banyak buah dan makanan untuknya. Di ruangan Salsa tidak sendiri melainkan ada kedua orang tua Roland yang berada di situ menjaga dirinya. Ya yang menelpon Zach saat dirumah tadi Salsa ia menangis kesakitan, merasakan perutnya yang begitu sakit. Zach yang mendengar itu tentu saja merasa khawatir dan tak tenang kekhawatiran nya semakin menjadi saat tahu Roland sedang pergi ke Luar kota yang berarti Salsa sendiri di rumah.
Dengan begitu takutnya terjadi apa-apa pada Salsa, Zach yang mendengar tangis kesakitan Salsa tanpa berfikir lagi langsung pergi menuju rumah Salsa sampai tidak terpikir janjinya pada Luna, ia padahal mengajak Luna untuk pergi tapi kini ia lupa karena hal yang begitu membuatnya takut kehilangan Salsa.
"Nak Zach, terimakasih ya. Sudah membawa Salsa dengan cepat ke rumah sakit. Berkat nak Zach, Salsa dan bayinya tidak apa-apa " ujar ibu Roland tak lain juga mertua Salsa.
"Sama-sama tan, Bang Roland sama Ayuk Salsa sudah seperti kakak saya sendiri" jawab Zach tak kalah lembut, bahkan ia tersenyum ramah. Tak menyangka Zach bisa bicara santai tanpa nada dingin nan datar di dalam perkataanya.
Salsa yang mendengarnya juga merasa tak percaya dengan ucapan Zach barusan. Dia sudah mengenal Zach cukup lama tapi baru kali ini ia mendengar Zach bisa bicara santai seperti itu.
"Ternyata adik aku, bisa bicara santai Ya" Salsa yang berbaring di bankar menimpali di perbincangan antara mertuanya dan Zach.
Zach yang mendengar itu langsung kembali ke mode dinginya, raut wajahnya kembali datar dan dengan santainya ia duduk di sofa di ruangan itu menyilangkan kakinya. Mengambil koran yang memang tersedia di meja.
"Kok kamu ngomong seperti itu Salsa, memang nak Zach bagaimana " tanya Ibu mertua Salsa tak mengerti.
"Dia itu orangnya dingin ma, sama ceweknya aja dingin banget" tutur Salsa menjelaskan.
"Oh iya, Luna mana? kamu nggak ngabarin dia" Zach yang tadinya sibuk membaca koran kini memperhatikan Salsa. Dia langsung teringat saat Salsa menanyakannya Luna, dia lupa hari ini mereka akan pergi bersama. Zach segera memeriksa ponselnya terdapat banyak sekali panggilan dari Luna, kenapa ia tidak dengar saat Luna menelpon. Sialnya ternyata Zach mensetting ponselnya ke nada hening. Pantas saja dia tidak mendengar saat Luna menelpon dirinya.
Beberapa pesan dari Luna juga ada, Zach membuka aplikasi pesan itu.
Pesan-pesan pertaman begitu terlihat bahwa Luna mengkhawatirkan dirinya. Namun pesan terakhir
"KALO LO GAK NIAT, NGAJAK GUE PERGI YAUDAH GAK USAH NGAJAK. GUE OGAH TERMAKAN UCAPAN LO LAGI, BESOK-BESOK GAK USAH AJAK GUE PERGI" dari ketikan saja terlihat bahwa Luna marah denganya. Zach menatap ponselnya,hendak mengetikan sebuah nama dengan ragu. Dia menghela nafas berat, bingun akan melakukan apa.
"Kenapa.? " tanya Salsa yang menyadari Zach tampak gelisah.
Zach menanggapinya dengan gelengan saja, berkata seakan tidak ada apa-apa.
°°°°°
"Serius kamu gak mau ini" ujar Jovan memegang boneka yang sedari tadi di amati Luna. Mereka berdua kini berada di sebuah pusat perbelanjaan, Ya Jovan mengajak Luna ke Mall saat Jovan pergi ke kamar Luna tadi.
Sebenarnya Luna tadi menolak tidak mau untuk pergi, tapi karna Jovan mengatakan untuk yang terkhir kalinya akhirnya Luna mengiyakan ajakan itu.
"nggak.. " dengan ragu Luna menjawabnya, sejujurnya ia ingin boneka itu.
"aduh gengsinya kamu" tawa Jovan lalu tetap mengambil boneka itu membawanya ke kasir. Luna melihat itu hanya mlongo sambil mengikuti langkah Jovan. Dia juga diam-diam tersenyum.
Jovan memang selalu mengerti dirinya.
Setelah membayar itu semua, Jovan langsung menggandeng tangan Luna mengajaknya pergi. Luna yang digandeng seperti itu sejujurnya merasa risih tidak nyaman dengan ini semua. Tapi, ia tidak enak untuk menolak sedangkan ini permintaan Jovan yang terakhir, entah kenapa laki-laki itu mengatakan yang terakhir.
"Kita Ke kafe ya?" ajak Jovan.
"Terserah kakak aja" jawab Luna mengikuti
Mereka sudah sampai di kafe, memang letak kafe tidak terlalu jauh dari toko boneka. Jadi tidak terlalu memakan waktu yang lama.
Dimeja kafe itu, mereka hanya saling diam tidak ada yang berbicara. Merasa bingung harus darimana dulu mereka berbicara
"Em.. kak Jovan mau bicara apa ya sama aku" Luna tidak bisa diam saja, jika salah satu dari mereka tidak berbicara maka ya tidak akan ada yang memulai pembicaraan. Lebih baik ia duluan saja yang bicara...
"Gini.. Kakak, tau kakak salah terlalu maksa kamu, buat suka sama kakak lagi, padahal dulu kakak yang nolak kamu. Maaf kakak gak dewasa" ujar Jovan ragu, sekaligus tersirat penyesalan.
"Kakak, gak akan maksa kamu lagi. Kakak pengen kamu nyaman sama kakak lagi kaya dulu, dan kakak bakal jadi kakak kamu. Walaupun rasa suka kakak masih ada buat kamu" Jovan berbicara lirih. Luna yang mendengar itu terkisap, diam terpaku menatap Jovan yang juga menatapnya.
"Kakak bakal balik ke Amerika, kakak harap kamu mau nganterin kakak ke bandara" lanjut Jovan.
sontak ucapannya itu membuat Luna terkejut, jujur dia tidak tahu bahwa Jovan akan kembali ke Amerika nanti sore. Dia tahu memang Jovan kembali ke Amerika tapi bukan nanti sore kenapa tiba-tiba sekali.
"Kak Jovan balik Amerika nanti sore, kenapa mendadak banget" Luna merasa tak percaya.
"Karena kakak, ingin menenangkan diri kakak. Buat nerima kenyataan kalau kamu udah gak ada rasa buat kakak"
"..." Luna terdiam, mendengar itu perasaan bersalah tiba-tiba saja bersarang direlung hatinya yang dalam. ia menunduk tidak berani menatap mata Jovan yang terlihat sendu.
"Maaf.. " ujar Luna sedih masih menunduk tak berani menatap mata Jovan.
"Udah gak usah merasa salah, kakak gak papa kok" Jovan memegang dagu Luna. Agar gadis itu mendongak menatapnya.
Entah mengapa air mata Luna jatuh begitu saja membuat Jovan tersenyum sendu.
"Eh, malah nangis. Serius kakak gak papa " ujar Jovan menenangkan, menghapus air mata Luna di pipinya.
"Maaf, maaf selama kakak dirumah Ceana, Ceana bersikap gak baik sama kakak" Luna sesegukan mengatakannya...
"Udah ah, jangan nangis. kita pulang aja yuk" Jovan sekali lagi menghapus air mata Luna. Mengajak gadis itu untuk pulang. Luna mengangguk, Jovan bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Luna. Lagi Jovan menggandeng tangan Luna menuntun gadis itu berjalan pulang..
°°°
T. B. C