Menyimpan luka bukanlah sebuah pilihan. Luka itu tersimpan sediri tanpa bisa di cegah.
Zach duduk di pinggir kolam renang memandang air yang tenang tanpa ekspresi. Hanya raut wajah dingin yang terukir.
Alfin datang mendekati Zach, duduk di samping pemuda itu, memperhatikan sepupunya yang menatap air kolam renang dengan pandangan kosong.
"Masa lalu cukup masa lalu, itu telah pergi melewati. Tak perlu di fikir cukup lupakan dan perbaiki serta sambut perubahan baru" Alfin berujar sambil memandang ke kolam renang juga.
Mendengar apa yang dikatakan Alfin barusan Zach menatap sepupunya dengan raut wajah yang tidak bisa dibaca.
"Ngapain Lo kesini? " Tanya Zach, ia kembali menatap air yang ada di kolam renang.
"Biasa buat ngehibur sepupu es gue" ujar Alfin santai.
Zach hanya diam tidak berminat untuk melanjutkan percakapannya dengan Alfin lagi.
Lama sekali mereka hanya diam tidak saling berbicara satu sama lain. Alfin memang sengaja diam tidak berbicara, itulah caranya untuk menghibur seorang Zach. Zach akan merasa baik ketika diam menyendiri ditemani seorang tanpa bicara di sampingnya. Itu sebuah rasa menghormati menurut dirinya. Maka dari itu Alfin hanya diam di samping Zach memberi rasa tenang untuk sepupunya.
Zach akhirnya bangkit dari duduknya,
"Ayok masuk" ujarnya sambil menepuk bahu Alfin. Alfin tersenyum, melihat Zach itu artinya sepupu esnya telah selesai menenangkan diri dan kembali normal bukan normal menghilangkan sifat esnya tapi kembali bersikap biasa.
"Mau kemana? Ke ruang keluarga atau ke kamar? " tanya Alfin yang sudah berjalan menyeimbangkan langkahnya di sebelah Zach.
"Ke kamar" ujar Zach singkat. Pilihan terbaik memang sepertinya pergi ke kamarnya. Daripada harus berkumpul dengan yang lain di ruang keluarga. Entah kenapa selalu ada rasa tidak nyaman untuk sekedar berbicara di saat berkumpul bersama kedua orang tuanya.
"Oke, gue ikut ya. Gue mau numpang tidur di kamar Lo" ujar Alfin.
"Terserah" Jawab Zach acuh. Dia terus berjalan masuk ke dalam rumah. Terlihat keluarganya sedang berkumpul disana membicarakan sesuatu entah itu menyangkut dirinya atau bukan yang jelas saat Zach masuk dan mereka melihat kehadiran Zach sontak pembicaraan itu berhenti seketika. Dan seolah-olah mengalihkan ke topik pembicaraan lain.
Zach tidak perduli dengan itu, dia hanya diam melangkah menaiki tangga mengabaikan mereka semua yang menatap nya seperti mengasihi. Sesungguhnya ia begitu benci dengan tatapan seperti itu.
Alfin yang berjalan di belakang Zach yang juga melihat semua keluarganya yang ada disitu hanya mendesis kesal mengikuti Zach melangkah menaiki tangga yang menghubungkan ke lantai dua lebih tepatnya ke kamar Zach yang memang berada di lantai dua.
Alfin langsung merebahkan diri di kasur Zach. Sedangkan si empunya duduk di meja belajarnya memandang ponselnya yang tergeletak di meja itu. Mengambil ponselnya dan Dengan ragu ia mengetikan sesuatu di ponsel itu. Selesai mengetik sesuatu entah seketika saja ia membanting ponselnya saat ini di atas meja.
Suara keras akibat bantingan ponsel membuat Alfin terkejut, ia secara refleks langsung terduduk begitu berdegup dirinya karena terkejut mendengar suara barusan. Dia langsung memandang Zach yang duduk di meja belajarnya, tampak sepupunya itu sedang kesal entah kenapa sepupunya itu terlihat kesal dan emosi.
"Lo kenapa sih? Gue kaget tau nggak" ujar Alfin kesal.
Sementara Zach diam tidak menggubris ucapan Alfin dia beranjak dari duduknya dan langsung menghempaskan dirinya dengan keras ke ranjangnya tepat disebelah Alfin.
"Taulah, gue pusing ngurusin Lo" Alfin malas ambil pusing dengan sikap Zach. Ia kembali tidur.
°°°°°
L
una berlarian dari gerbang hingga sepanjang koridor sekolah karena ia bangun kesiang ditambah harus berdebat dulu dengan kakaknya Lionil dan alhasil lagi-lagi ia telat masuk sekolah. Untung saja hari ini pak satpam tidak masuk, kenapa dia bisa tau tentu saja tau lah di pos satpam tidak ada satpamnya. Jadi tidak ada masalah atau halangan yang menghalanginya masuk sekolah. Namun ada satu masalah, masalahnya adalah bagaiman cara masuk ke ruang kelas agar tidak ketahuan telat oleh guru yang mengajar mata pelajaran saat ini. Bagaimana dia sekarang apa membolos saja jam pertama, tapi kalau dia membolos ia harus kemana.
Begitu kacaunya Luna saat ini, dia bingung harus melewatkan jam pertama dimana. Jujur ia tidak tahu tempat persembunyian, kalau dia sampai ketahuan guru Bk mampus sudah kasus membolos bakal masuk dalam blacklist nya. Bisa-bisa Daddynya marah.
"Tidak apalah, gue kekelas saja" ujar Luna pada dirinya sendiri. Yups dia memutuskan untuk berjalan ke kelasnya saja.
Perlahan demi perlahan Luna berjalan mendekat ke kelas. Namun, belum sempat masuk ke dalam kelas, ia mendengar suara lirih yang memanggil dirinya.
"Lun.. Luna" suara lirih itu terdengar dari belakang Luna.
Luna membalikkan tubuhnya, melihat siapa yang memanggilnya. Disana ada Darren dan Dinda, saat melihat mereka berdua Luna tersenyum sumringah ternyata bukan dia sendiri di kelas yang telah. Ada Dinda dan juga Darren teman sebangkunya.
"Lo mau masuk" tanya Darren lirih
"Iya, kenapa? " Luna mengiyakan dan balik bertanya.
"Gak usah masuk aja yok, kita udah telat banget. Malah bisa-bisa kita kena hukuman" ujar Dinda.
"Ho'oh, gue setuju. Gak usah masuk aja yok" Darren mengiyakan saran Dinda.
Luna hanya diam menimbang, apakah ia akan menyetuji saran ke dua temanya itu. Tapi, kalau dia tidak masuk jam pertama dia juga akan di Alpa.
"Ayolah, "bujuk Dinda.
"Iya-iya kita gak usah masuk aja" akhirnya Luna mengiyakan tapi dia masih bingung akan kemana mereka bersembunyi.
"Kalau kita bolos, terus kemana kita sembunyi" tanya Luna.
"Ke Markas gue aja, markas anak Paskib" usul Darren.
"Ayokk" jawab Luna dan Dinda serempak. Mereka tampak senang mendengar usul Darren barusan. Bagaimana tidak senang mereka bakal ke markas anak Paskib yang terkenal nyaman. Mantap sekali pokoknya kalau bersembunyi disitu soalnya guru-guru tidak ada yang berani untuk mengusik atau masuk ketempat anak-anak Paskib jika tidak ada jam mereka di situ.
Luna, Darren dan Dinda akhirnya bergegas berjalan menuju ruang Paskib agar tidak ketahuan guru-guru yang kemungkinan akan berlalulalang di koridor sekolah. Darren berjalan lebih dulu, sementara Dinda dan Luna berjalan di belakangnya tampak sumringah sambil bergandengan tangan. Luna akhirnya tidak harus bingung dia mau kemana sebuah keberuntungan baginya di hari ini yang telat bukan ia saja tapi ada dua orang teman sekelasnya yang juga telat masuk sekolah.
"Waah, kalau kita tidak ada di kelas pasti Anya kebingungan ini" ujar Dinda.
"Tapi, biarlah. Kita lihat seberapa hampanya dia tanpa kita" ujar Dinda seraya tersenyum.
Luna hanya menanggapinya dengan cekikikan.
°°°°°
"Hay apa kabar, lama gue gak ganggu lo" Tanya Tiara yang tiba-tiba saja datang ke meja dimana Anya, Dinda dan Luna saat ini duduk di kantin sekolah.
Jam istirahat memang baru saja di mulai.
Luna, Dinda dan Darren tadi masuk ke kelas setelah jam pelajaran pertama usai. Setelah jam pelajaran kedua usai Dinda, Luna dan Anya segera menuju ke kantin. Sebenarnya mereka tidak berminat kekantin. Bukan mereka tapi hanya Luna saja yang tidak berminat ke kantin atau kemana pun, ia hanya ingin di kelas saja. Tapi, gara-gara Zach yang tiba-tiba saja ke kelasnya terpaksa membuat Luna pergi ke kantin dan untuk membuat Anya agar tidak marah lagi dengan cara mentraktir anak itu di kantin.
Luna, Anya dan Dinda hanya menatap Tiara jengah tidak memperdulikan kehadiran perempuan itu.
Tiba-tiba saja Tiara mengambil minuman milik Luna yang hendak Luna minum.
"Lo apa-apaan sih Tir" Ujar Luna kesal.
"Woww, tumben lo emosi. Perasaan gue lihat lo habis wik-wik sama cowo baru" ujar Tiara menyeringai
"Maksud lo apasih, jaga mulut Lo" sontak saja Luna langsung berdiri dari duduknya menatap Tiara tajam.
"Gue gak salah ngomong kan. Emang kenyataannya kan" ujar Tiara menjengkelkan.
"Lo sama kaya Mommy lo, yang suka begituan sama laki-laki lain dan ngasilin anak kayak lo" ujar Tiara lagi.
"Tiara, kalau ngomong tuh di jaga" Anya juga tersulut emosi mendengar ucapan Tiara barusan.
"Waah mulut cabe lo kumat lagi ya, belum tau rasa" ujar Dinda menimpali. Dia menatap kesal Tiara.
"Maksud lo apa, ngomongin mommy gue begitu. Lo gak tau ya" Luna berusaha mengontrol emosinya.
"Gue apa adanya, dan kelakuan Mommy lo nurun ke lo. Lo gonta-ganti cowok, sama siapa aja mau. Padahal lo udah pacaran sama Zach, tapi kemarin malem gue lihat Lo di bonceng Darren. Dan gue heran deh sama cowok-cowok kenapa mau sama Lo yang murahan begini anak pelacur lagi. Mulai dari kak Jovan, Zach, Darren semuanya kenapa milih lo" Uja Tiara panjang lebar dan sedikit berteriak di akhir ucapanya. Sehingga membuat semua orang yang ada di kantin menatap kearah mereka.
Plakkkk
Luna menampar keras pipi Tiara, dia tidak terima dengan ucapan tiara barusan yang mengatai dirinya bukan, bukan hanya dirinya tapi Mommy nya juga. Jujur dia tidak masalah kalau dirinya yang dikatai seenaknya oleh Tiara. Tapi, ini mommy nya juga. Sungguh ia tidak terima dengan ucapan Tiara barusan.
"Lo berani ya"
Plakkk
Tiara membalas tamparan Luna dengan begitu keras sehingga membuat ujung bibir Luna sebelah kanan sedikit terluka mengeluarkan darah.
Luna menatap Tiara tajam, dia berjalan keluar dari tempat duduk mendekat kearah Tiara. Lebih dekat dari tadi.
Mencoba menampar Tiara kembali.. Namun gagal Tiara menahan tangan Luna.
Dan dia memegang tangan Luna dan hendak menampar Luna menggunakan tangan satunya. Tamparan keras segera mendarat di wajah Luna kembali, sebuah lengan menahan tamparan itu. Itu Zach yang datang langsung menahan tangan Tiara yang hendak menampar Luna.
Tiara langsung menatap Zach, tiba-tiba saja dia menjadi kikuk harus berbuat apa. Dan tiba-tiba saja nyalinya menciut saat melihat wajah keras Zach yang memerah menahan marah. Menatapnya seakan ingin membunuh.
°°°
T. B. C