"Lo suka sama kak Salsa kan? "
Bukanya Luna menjawab pertanyaan Zach barusan malah Luna balik bertanya tentang hal yang selalu ia pikirkan saat melihat gerak-gerik atau sikap Zach saat bersama Salsa.
Zach langsung menatap Luna melihat wanita itu dengan serius..
"Kenapa, Ngelihat gue begitu" Luna balik menatap Zach.
Zach langsung mengalihkan pandangannya lagi ke depan, fokus pada jalanan di depannya tidak menjawab ucapan Luna barusan.
30 menit berlalu Mobil Zach sudah sampai di depan rumah Luna, Luna langsung bergegas turun melepas seatbelt dan membuka pintu, keluar dari dalam mobil Zach meninggalkan Pria itu di dalam mobil tanpa mengatakan apapun. Baru setengah jalan Luna berjalan dia tersandung tangga kecil sehingga membuatnya terjatuh dengan lutut yang membentur lantai terlebih dahulu.
"Aduhh" erang Luna menahan sakit.
Zach yang masih di dalam mobil melihat Luna yang terjatuh langsung bergegas keluar membuka pintu mobil dan berlari menghampiri Luna.
"Ceroboh" ujar Zach saat sudah sampai di dekat Luna yang mulai bangkit dari jatuhnya.
Luna hanya memperhatikan Zach tanpa berniat untuk membalas perkataan pria itu. Ia hendak berjalan tapi lagi-lagi Luna mengerang kesakitan.
Mendengar erangan kesakitan Luna Zach langsung duduk berjongkok di depan Luna membuat perempuan itu bingung.
"Naik" ujar Zach singkat melirik kebelakang.
"Gue bisa jalan" Luna kembali melangkah dengan tertatih menahan sakit di kakinya.
Zach yang dilewati beberapa langkah, langsung berdiri dan mencekal tangan Luna.
"Naik,.. " ujar Zach penuh penekanan dan ia kembali berjongkok di depan Luna.
Dengan terpaksa Luna akhirnya naik kepunggung Zach, membiarkan laki-laki itu untuk menggendong nya.
"Gue terpaksa ya, naik ke punggung lo. Lo sih nakutin banget kalau melotot" ujar Luna yang sudah berada di gendongan Zach. Zach hanya diam terus berjalan tidak menanggapi ucapan Luna.
Zach membawa Luna masuk ke ruang keluarga rumah perempuan itu, menurunkan Luna secara perlahan dari gendonganya ke sofa.
"Kamu kenapa Ceana? "Tanya seseorang yang baru saja datang.
"Gak pa-pa kak Jovan" jawab Luna pada Jovan. Jovan tampak mendekat kearah Luna yang duduk di sofa, berdiri di samping Zach tepat di depan Luna.
Zach jongkok didepan Luna memperhatikan Luka di lutut perempuan itu yang sedikit mengeluarkan darah.
"Sakit? " tanya Zach sambil memegang lutut Luna pelan.
"Sedikit " jawab Luna lirih karena merasa tidak nyaman mendapat perlakuan seperti itu dari Zach. Zach meniup luka itu pelan, dengan maksud agar lukanya tidak terlalu perih.
Jovan yang melihat adegan manis itu merasa tidak nyaman dan tidak senang saat Zach bersikap begitu manis terhadap Luna. Entah kenapa hatinya begitu resah memperhatikan dua orang didepannya ini. Karena ia merasa tidak nyaman dengan saat ini Jovan memutuskan untuk pergi.
"Aku ambilkan kotak P3K dulu" Ujarnya lalu pergi ke arah dapur untuk mengambil kotak obat.
Saat Jovan sudah pergi dari hadapan mereka Zach masih saja meniup lutut Luna agar perempuan itu tidak merasakan pedih di kakinya.
"Sudahlah Zach, kak Jovan sudah tidak ada disini. Berhentilah meniupi lututku" ujar Luna menyuruh Zach untuk berhenti melakukan kegiantannya saat ini. Luna merasa Zach bersikap manis kepadanya karena kesepakatan yang telah mereka sepakati waktu itu untuk sama-sama saling membantu dalam hubungan masing-masing.
Mendengar itu Zach langsung mendongakkan kepalanya keatas menatap tajam Luna yang duduk sambil menatapnya juga. Ditatap tajam lagi oleh Zach membuat Luna langsung diam dan mengalihkan pandangannya ke lain arah. Sementara Zach masih berjongkok di depan Luna sambil memegang pelan serta meniupi luka yang ada di lutut perempuan itu.
Tak butuh waktu lama akhirnya Jovan datang membawa kota P3K. Dia menaruhnya di meja serta dia juga ikut berjongkok di depan Luna.
"Gue aja yang bersihin Luka Ceana" ujar Jovan pada Zach yang berada disampingnya. Jovan membuka Kotak P3K itu dan mengambil alkohol serta kapas untuk membersikan lutut Luna yang berdarah. Zach hanya memandang itu semua. Namun saat Jovan akan membersikan luka Luna dengan kapas yang sudah diberi alkohol, Zach menghentikannya.
"Biar gue aja" Zach mengambil kapas itu dari tangan Jovan dan dia yang membersihkan luka Luna secara perlahan. Luna yang memperhatikan nya merasa bingung harus bagaimana dengan dua orang di depannya ini. Ia memperhatikan Jovan dan tiba-tiba perasaan tidak enak menghampiri dirinya. Tapi kenapa dia merasa tidak enak terhadap Jovan bukanya ini tidak berpengaruh apa-apa pada Jovan yang hanya menganggapnya adik jadi untuk apa ia cemburu kepada Zach yang memperlakukannya dengan manis.
°°°°°
Zach saat ini berada di rumahnya setalah tadi dia berjam-jam di rumah Luna kini dia sudah ada di garasi rumahnya yang begiti luas. Dia mengernyit tak kala memperhatikan salah satu mobil yang posisinya pindah atau tak sesuai dengan yang tadi saat dia mengantarkan Luna pulang. Ia memutuskan untuk melangkah masuk kedalam rumahnya yang begitu besar.
"Tumben jam segini sudah pulang dek" ujar sebuah suara lembut dari meja makan. Pintu rumah menuju garasi memang berada di dekat ruang makan.
Mata Zach menatap lurus ke sumber suara tanpa ekspresi.
"Masih ingat rumah" ujar Zach dingin.
"Yang sopan bicara sama mama kamu" Sumber suara lain datang mendekat ke arah mereka berdua.
Zach berjalan mendekat ke arah ke dua orang tuanya yang sudah duduk di meja makan. Iya tentu saja itu orang tua Zach. Arsen Wireman Pradipta dan istrinya Wilona Suherman.
Mendengar ucapan ayahnya barusan Zach hanya diam saja tidak ingin bicara lagi.
"Sudahlah Pa, kamu tahu sendiri Zach bagaimana " ujar Wilona mencoba untuk membuat suaminya mengerti.
"Papa dengar kamu hari ini tidak masuk sekolah" ujar Arsen memperhatikan putranya itu yang sedang minum jus yang baru saja di buatkan Wilona.
"Papa pulang kerumah hanya ingin menanyakannya hal itu padaku" balas Zach sambil tersenyum sinis.
"Pah,.. " tegur Wilona pelan pada suaminya yang seakan perkataan Arsen barusan membuat suasana antara Zach dan Arsen tampak tegang.
"Tenang, aku tidak akan mempermalukan kalian" ujar Zach dan langsung bangkit dari duduknya berniat untuk pergi dari ruang makan.
"Disini sebentar Papa masih ingin berbicara padamu" ujar Arsen.
Zach memperhatikan ibunya yang seperti memohon padanya untuk tetap berada di meja makan.
Akhirnya ia tidak jadi pergi ke kamarnya, Zach kembali duduk di hadapan Papa dan Mamanya.
"Beberapa hari yang lalu, mama dengar kamu sakit. Maafkan mama ya, mama tidak ada di dekatmu" ujar Wilona merasa bersalah.
Zach hanya diam tidak menjawab perkataan ibunya.
"Mama harus berterimakasih pada si mbok, telah merawatmu" ujar Wilona lagi.
"Iya, kita harus memberikan sesuatu pada si mbok yang telah merawat Zach serta menjaga Zach dengan baik" tambah Arsen sambil menyeruput kopi yang tersaji di depannya.
"Sudah cuman itu yang ingin kalian bicarakan, kalau begitu aku akan pergi kekamarku" ujar Zach menatap ke dua orang tuanya dengan datar.
"Kau masih saja bersikap dingin dengan kami, apa kau masih marah gara-gara kita mengusir Zayn dari rumah. " ujar Arsen sambil memperhatikan putra bungsunya itu.
Zach langsung menatap ayahnya tajam,
"Kami sudah meminta maaf dengan kakakmu itu saat kami bertemu di London beberapa bulan lalu"
Zach semakin menatap ayahnya dengan sorot mata tajam dan penuh rasa tidak percaya sama sekali dengan orang tuanya.
"Zach sungguh kita sudah berbaikan dengan kakakmu. Bahkan sebentar lagi ia akan berkunjung ke rumah kita" ujar Wilona meyakinkan putranya itu.
"Terserah kalian" Zach langsung bangkit dari duduknya berjalan pergi dari meja makan benar-benar pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang menatap kepergian nya dengan rasa bersalah. Zach menaiki tangga rumahnya menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Tatapanya hanya lurus kedepan tanpa ragu berjalan, dia terlihat sedang banyak luka yang ia simpan.
Zach sampai didepan pintu kamarnya, sebelum masuk kedalam kamar miliknya ia menoleh ke samping lebih tepatnya kesebelah kamarnya yang terdapat sebuah kamar di situ. Wajahnya tiba-tiba mengeras dan langsung membuka pintu kamarnya sendiri masuk kedalama dan membanting pintu itu dengan keras.
°°°°°
Luna sedang berada di kamarnya lebih tepatnya di balkon kamarnya yang menghadap ke halaman depan rumah. Menikmati angin malam yang berhembus melewati sela-sela rambutnya membuat rambutnya tertiup angin.
Memandang bintang-bintang yang tampak menghiasi langit malam. Seperti mutiara yang berkilau di lautan. Tiba-tiba saja Luna tersenyum tak kala ingatanya berputar pada kejadian tadi pagi menjelang siang saat ia terjatuh dan Zach menggendong dirinya serta saat Zach meniup lukanya agar tidak perih dan ketelatenan Zach yang membersihkan lukanay. Membuat hatinya berdebar membawa rasa nyaman dan bahagia mendapat perlakuan seperti itu dari Zach. Luna perlahan menyentuh dadanya merasakan debaran di hatinya yang begitu berkesan di ingatan. Semakin membuat senyumnya merona.
Sadar dengan apa yang ia lakukan dan ia bayangkan buru-buru Luna menggelengkan kepalanya sambil memukul-mukul kepalanya pelan.
"Sadar Lun, Sadar" gumam Luna pada dirinya sendiri.
"Kenapa lo berdebar cuma gara-gara manusia es yang memperlakukan lo manis begitu lun" Luna kembali berujar pada dirinya sendiri.
"Dasar baperan" lagi Luna berujar lagi pada dirinya sendiri sambil terus memukul-mukul pelan kepalanya.
"Ihh, ngeselin kenapa gue mikirin manusia es terus sih. Lebih baik gue tidur aja deh daripada kepikiran terus sama tuh orang" Luna segera berjalan menuju tempat tidurnya. Sebelum itu ia menutup pintu kaca yang menghubungkan antara balkon dan kamarnya. Tak lupa juga ia menutup hordeng besar di pintu itu, setelah itu ia berjalan ke arah saklar lampu mematikan lampu di kamarnya. Kini kamarnya sudah gelap gulita saatnya ia untuk tidur.
Luna berjalan ke kasur, merebahkan tubuhnya disana. Sebelum memejamkan matanya ia menghidupkan lampu tidur yang terletak disebelah ranjang miliknya. Dia memang terbiasa tidur dengan cahaya redup. Atau dengan kegelapan.
Karena Luna berpendapat kalau tidur dengan cahaya redup atau lampu di matikan akan membuat tubuh lebih sehat dan segar di pagi hari.
°°°
T. B. C