Chereads / Really I Want / Chapter 49 - Chapter 48

Chapter 49 - Chapter 48

"Kangen Zea? sejak kapan? atau jangan-jangan lo itu--"

"Iya, gue masih cinta sama dia," tukas Zafran membuat Dirga dan Sintia tercengang. Akhirnya Zafran mau mengakui perasaannya. Mereka salut atas pernyataan Zafran. Biasanya Zafran selalu gengsi untuk mengakui perasaannya kepada Zea.

"Terus masalahnya apa?" tanya Sintia.

"Sudah dua hari ini Zea tidak ada kabar. Gue kangen banget sama dia," ujar Zafran dengan tatapan kosong.

Penantiannya sampai saat kini tak kunjung datang. Pikiran Zafran semakin kacau memikirkan hal negatif tentang Zea. Dia benar-benar takut jika akan kehilangan Zea. Jujur, Zafran belum siap menerima kenyataan pahit mengenai hubungannya dengan Zea. Tidak ada wanita setulus Zea yang mau menerimanya.

Sekarang Zafran sadar bahwa kebanyakan wanita yang menyukainya karena memandang fisik, harta, dan tatah. Zafran sangat menyesal telah membuat Zea kecewa. Zea adalah salah satu wanita yang tidak pernah meminta uang ataupun barang kepadanya kecuali dia minta ganti rugi atas barang yang telah dirusakkan Zafran.

Jika Zafran tidak menawari Zea terlebih dahulu maka Zea tidak akan meminta-minta. Memang jaman sekarang sulit mencari wanita yang benar-benar tulus mencintai. Jaman glow up membuat wanita gila skincare, padahal belum tentu keuangan mereka tercukupi. Oleh karena itu, mereka akan mencari pria dengan memandang harta dan tatah demi memanjakan dirinya sendiri.

Mereka akan menyebut bahwa kalau mau mencari cewek cantik maka harus memberi modal karena cantik itu butuh modal. Jaman sekarang memang banyak wanita bersaing mengenai glow up. Selain itu, mereka berlomba-lomba untuk menjadi terlihat yang paling wow diantara teman-temannya.

Dirga mengernyitkan kedua alisnya. Bisa-bisanya Zafran kangen sampai terlihat seperti orang frustasi. Teman di depannya ini bukan Zafran yang biasa kenal. Dia seperti terkena virus bucin. "Emang Zea pergi kemana?"

"Gue nggak tahu, Dir. Sejak kemarin gue sama sekali tidak bertemu Zea. Sudah beberapa kali gue hubungi dia namun tidak ada balasan sama darinya. Gue telfon nggak dijawab pas gue chat cuma diread. Perasaan gue nggak enak. Rasanya dia menyembunyikan sesuatu dari gue."

"Terus?"

"Pas kemaren berangkat sekolah, gue ketemu sama adiknya Zea yang namanya Ana itu."

"Adik Zea memang ada satu namanya Ana," celetuk Sintia.

Dirga menjitak kepala Sintia. Bisa-bisanya dia malah tambah mengacaukan perasaan orang lain. Bukannya menjadi pendengar baik dia justru malah membuat Zafran semakin down. Seharusnya menjadi teman baik itu harus bisa membuat temannya terasa nyaman dan tenang, bukan malah menyebalkan.

Sejak dulu mulut Sintia memang suka asal ceplos. Dia memang suka jujur tapi terlalu jujur. Sintia selalu berpegang teguh terhadap prinsipnya, yaitu lebih baik sakit dalam kejujuran daripada bahagia dalam kebohongan.

Sebaik apapun kebohongan ditutupi demi kebaikan, rasanya akan tetap sakit jika ketahuan. Pepatah pernah mengatakan, sepandai-pandai menyimpan bangkai pada akhirnya akan tercium juga. Jadi, pada dasarnya yang namanya kebohongan akan menyakitkan seseorang jika ketahuan.

Sintia akan melakukan kebohongan jika orang yang diajak bicara mempunyai penyakit parah, tetapi dia akan tetap mengatakan jujur jika waktunya sudah pas dengan cara dia memastikan situasi dan kondisinya terlebih dahulu. Walaupun seperti itu, Sintia tetap bisa sadar diri bahwa berbohong demi kebaikan dan keadaan orang lain memang terkadang diperlukan.

"Bisa diam nggak sih?! mulut lo itu sudah seperti toa tukang jual sayur, dari dulu bawaannya suka nyerocos mulu. Lo nggak kasihan sama Zafran apa? hargai perasaan dia markonah!" pinta Dirga.

Markonah? tentu saja panggilan itu membuat Sintia tidak terima. Ya kali namanya diganti-ganti. "Nama gue bukan Markonah, lo nggak bisa menghargai pemberian nama orang tua gue? berdosa banget lo ini."

"Diam lo! lanjut Zaf, ceritanya gimana."

Zafran menghembuskan napas kasar. Kedua temannya ini memang terkadang perhatian tetapi menyebalkan. Pada saat situasi menegangkan pun mereka berdua masih saja terlihat santai dan seperti orang yang bodoamat. Katanya, orang yang mudah spaneng itu tidak asik. Apalagi orang pendiam, rasanya seperti sedang bersama jangkrik.

"Pas gue ketemu sama Ana, gue tanya sama dia mengenai keberadaan Zea. Dia bilang bahwa Zea mungkin sudah berangkat. Menurut kalian aneh nggak sih kalau adiknya sendiri mengatakan kata mungkin. Seharusnya dia tahu dimana kakaknya, mereka kan satu rumah. Apa jangan-jangan Zea lagi ada masalah dan dia kabur dari rumah dan Ana menutup-nutupinya agar keluarganya terlihat biasa saja?" tanya Zafran berpikiran negatif.

Ini sudah sekian kalinya Zea suka menghilang tanpa kabar. Namun, kali ini terasa beda tidak biasanya Zea menghilang tanpa satu pun kabar selama dua hari. Zafran sedikit tahu bagaimana sifat Zea, dia memang tidak terlalu suka main handphone, tetapi Zea akan menjawab panggilan telfon dari Zafran.

"Iya juga sih, gue juga jadi punya firasat tidak enak. Sejak SMP gue sangat begitu mengenal Zea. Dia tidak akan menghilang tanpa kabar selama dua hari, paling dia sering menghilang itu selama satu hari saja, itu pun beberapa kali dia masih bisa dihubungi," kata Sintia.

Emang nih anak terlalu jujur, bukannya menenangkan Zafran dia malah membumbui pikiran negatif mengenai Zea. Seharusnya Sintia bisa tenang walaupun punya firasat buruk mengenai Zea agar tidak semakin membuat Zafran merasa tambah khawatir. Ingin rasanya Dirga menjahit mulut Sintia agar tidak bisa mengucapkan kata-kata lagi.

Kedua mata Dirga melotot ketika melihat gerak-gerik Sintia akan berbicara lagi. Akhirnya Dirga mencubit lengan Sintia membuatnya mengadu kesakitan. "Aw! sakit, Dirga! apaan sih cowok kok suka nyubit. Sini maju kalau berani. Gue tonjok muka Lo biar mirip badut baru tahu rasa lo!"

"Diam kalau lo masih sayang sama kedua kaki lo ini. Mau gue hajar biar retak tuh tulang? emang cuma lo doang yang bisa berantem, gue juga bisa kali. Paling sekali kena tendangan gue langsung terkapar di tanah," ejek Dirga.

Bisa-bisanya Dirga mengejek dirinya. Mentang-mentang anak taekwondo tidak bisa melihat siapa lawannya. Ya kali laki-laki melawan perempuan, cupu banget dia.

"Awas lo!" ancam Sintia tidak mendapat respon Dirga. Entahlah memang Dirga sengaja tuli atau memang tuli.

"Sudah, Zaf, kita nggak boleh berpikir negatif takutnya malah nanti mengarah ke su'udzan. Lebih baik nanti setelah pulang sekolah kita pastikan saja ke rumahnya," ajak Dirga membuat Zafran tersenyum.

Hanya Dirga yang merupakan salah satu teman bijaknya walaupun terkadang dia menyebalkan. Terkadang dia juga memberikan saran ataupun jalan keluar masalah dengan cara sindiran. Jika tidak terbiasa bermain ataupun berteman dengan Dirga maka akan mudah terkena mental hanya dengan ucapannya saja. Semua teman Zafran memang bobrok tapi Zafran tidak mempermasalahkan itu. Lagi pula dia juga sadar diri bahwa dirinya juga jarang memberikan solusi ketika temannya sedang ada masalah.

"Gue ikut ya. Nggak baik kalau cuma dua cowok, lebih baik ngajak teman cewek," pinta Sintia.

"Boleh, jangan ngaret, awas kalau sampai ngaret gue tinggal biar tahu rasa," ancam Zafran membuat Sintia mencebikkan bibirnya.

"Iya tuh, gue setuju sama pendapat lo, Zaf. Suka ngaret suka ikutan lagi, seperti celana dalam," ejek Dirga.

Wajah Sintia memerah menahan malu. "Dirga!"