"Ana nggak nangis, Kak," jawab Zea. Dia sengaja berbohong agar mereka tidak mencurigai dirinya. "Mata Ana cuma perih saja."
Ana memejamkan mata untuk memperdalam aktingnya. Untung saja dia langsung kepikiran kalau kedua matanya sedang sakit. Kalau tidak maka mereka akan sangat khawatir. Dia mengusap air matanya menggunakan tisu yang tadi diberikan oleh Dian.
Antara perasaan dan pikirannya tidak sinkron. Sama halnya apa yang diinginkan dengan kenyataan tidak sama. Kalau mau memberontak pun Ana tidak tahu mau memberontak kepada siapa. Satu hal yang membuatnya terus bertahan adalah keluarga. Hanya keluarga adalah tempat berlindung dan bernaung ketika diri sendiri merasa sedih dan kesepian.