Chereads / Anthares / Chapter 6 - 06. Sekelas

Chapter 6 - 06. Sekelas

Nenek bilang, dia sangat mengerti gue. Dia mengerti bagaimana segala pilihan yang telah ia buat akan menjadi yang terbaik untuk gue.

Dan gue sama sekali nggak mengiyakan.

Yang paling menakutkan bagi gue bukannya bagaimana ketika gue gagal dan mengecewakan nenek yang sudah bersusah payah membesarkan gue. Namun, Araruka Nazza ini jauh lebih takut akan kenyataan bagaimana nenek akan tahu.

Tahu bahwa gue sama sekali nggak yakin,apalagi bahagia dengan ini semua.

Namun, selama enam belas tahun gue hidup di dunia, rasanya nggak pernah gue terlalu berlarut dalam satu masalah hingga melupakan segalanya. Seperti saat ini, wajah kucel Alava membuat gue sedikit lupa akan permasalahan gue dengan nenek.

"Kemaren gue ngeliat mantan lo jalan dah sama cewek—"

Gue berkata dengan mulut enteng, membuat Alava yang sedang menikmati langit senja jelas terganggu.

"—kayaknya si cewek anak SMA tetangga." Gue melanjutkan kalimat tadi.

Terdengar helaan napas samar lalu sahutan, "bodo amat, gue udah move on."

"Iya, Arjuna gantengnya gak manusiawi sih. Bucin macem lo mana tahan ngeliat Arjuna ngejomblo." Celetuk gue, straight on point.

"KENAPA SIH LO TUH PEKA BANGET?!" Alava mengerang kesal, membuat gue kontan menutup mata dan telinga.

"Jauhan lo ah!" Seru sambil mendorong Alava menjauh. "Jadi cucu Haji Bolot gue kelamaan deket sama lo!"

Melihat reaksi Alava yang terlalu dengan nggak tahu dirinya malah nyengir, mulut gue kembali bersiap untuk membuat gadis yang kini tengah berbaring dengan tas kecil bermotif kotak-kotak warna merah dan biru sebagai bantalnya itu kesal.

"Kapan terakhir lo ngeliat dia?"

"Kapan ya? Pas Raffles nemuin bunga bangke kali. Lupa gue saking udah lamanya."

"Ini lo sengaja minta dikatain apa gimana?"

"Ganti topik ah! Tau gue sensi kalo bahasan yang kayak gitu."

Dan, entah mengapa gue kembali teringat akan masalah gue dan nenek.

"Stres gue mau kenaikan kelas."  Celetuk gue dengan tidak sadar, lalu mendapat anggukan samar dari Alava.

"Kayaknya baru kemaren ki---"

Mata gue memincing melihat nama nenek terlihat di layar ponsel gue. Tak biasanya. Sangat jelas bahwa menelepon gue bukan merupakan kebiasaan nenek. Gue tahu betul nenek lebih suka menghabiskan pulsanya untuk menelepon teman-teman arisannya selama berjam-jam daripada menelepon gue.

"Halo, Nek?"

"Pulang."

Gue membeku. Sejak kapan nada bicara nenek bisa sedingin itu?

"Nek.."

"Nak Catur bilang hari ini nggak ada latihan paskibra. Bisa kan langsung pulang ke rumah?"

"Emang kenapa, Nek?"

"Nenek mau daftarin kamu les."

Gue menghela napas. "Nazza nggak pernah bilang Nazza mau les, kok!"

Dan dari sambungan telepon, terdengar juga napas berat nenek yang seolah putus asa.

"Nenek liat hasil ulangan matematika wajib Nasa di meja belajar tadi. Kenapa cuma 75? Nenek nyekolahin Nasa buat jadi orang pinter, bukan ngabisin duit buat beli seblak!"

"Oh, plis, Nek. Ini gak ada hubungannya sama seblak. Lagian, 75 itu udah su—"

"Su apa? Susah? Syukur? Nasa itu kurang motivasi buat belajar. Pokonya Nasa pulang sekarang."

"Nek..."

"Nenek gak terima penolakan."

Suara sambungan telepon yang diputuskan sebelah pihak membuat gue hanya bisa mencabuti rumput dengan asal. Sepertinya besok Mang Kiki harus berterimakasih karena gue ikut andil dalam pembersihan sekolah ini.

"Kenapa lagi sama nenek?"

Gue merentangkan tangan, mengajak Alava berpelukan-—walau sebenarnya cenderung memaksa melihat wajah jijik Alava yang melihat gue seolah banci taman lawang.

"Harusnya gue yang nanya itu." Kata gue sambil menyandarkan kepala di bahu kecil Alava. "Nenek gue kenapa, sih?"

"Nenek boleh aja nggak suka dan nggak puas sama nilai-nilai jeblok gue. Bahkan gue sendiri kan juga kecewa, Va."

"Menurut lo adil nggak sih kalau Nenek gue selalu mendikte gue harus menjadi apa, harus kayak begini. Sementara gue maunya kayak begitu?"

***

"Lo beneran ngehindar dari gue, ya?"

Nyaris saja gue melemparkan tumpukan buku tugas kimia anak kelasan gue ke arah sumber suara kalau saja bukan wajah tengil Anthares yang kini gue lihat jelas. "Apaan, sih?"

"Lo tuh ya." Ares mendekat. "Nggak lupa kan mau barter sama gue?"

"Nggak, kok." Sahut gue singkat, lalu  dengan  santai hendak kembali ke kelas tanpa peduli wajah sebal Anthares.

"Gue nggak sekedar nunggu lo, Araruka."

Tawa gue menggelegar. "Apa cuma gue yang nggak nyaman sama nada bicara ambigu lo itu?"

"Lo serius gak sih sama gue?"

Gue menggeram. "Sumpah ya, Anthares. Udah gue bilang nada bicara lo tuh ya! Kesannya kayak udah gak sabar mau gue nikahin, tau gak?!"

Anthares mengerucutkan bibirnya, lalu menarik paksa tangan gue. "Ayo."

"Kemana, anjir?"

"Kantor urusan agama." Dia tertawa, "Ya BK lah."

"Lo gak liat gue lagi sibuk?" Gue melotot ke arah buku-buku di tangan gue.

"Ya udah, bawa ke kelas lo dulu."

Saat gue dan Anthares yang mengikuti di belakang sampai ke kelas, kami dibuat terkejut dengan keadaan kelas yang terlampau ramai dari toko baju diskonan.

"Anak ipa emang selalu berisik kayak gitu?" Anthares  menatap gerombolan anak kelasan gue yang terlihat sibuk membahas sesuatu.

Gue mengangkat bahu. "Positive thingking aja, mungkin mereka lagi bahas rumus?"

Cowok beralis tebal itu mengangguk paham sambil menyuruh gue agar cepat bersiap ke ruang BK. Dan gue dengan sangat amat jelas akan memilih untuk bergabung ke dalam gerombolan anak kelasan gue tanpa peduli Anthares yang bengong di depan pintu.

"Apaan sih, woy?" Gue angkat bicara, membuat mereka semua menengokkan kepala ke arah gue.

"Itu, Nazz. Si Bagus pindah."

Gue mengangguk paham. Meskipun sekolah baru dimulai dua minggu, pasti ada saja yang tidak bisa beradaptasi dengan cara pembelajaran dan guru-guru di One Dream.

Bagus adalah teman sekelas gue yang masuk ke One Dream lewat menggunakan piagam silatnya. Mendengar kepindahannya ke SMA sebelah yang jauh lebih santai dari One Dream, membuat gue dan teman sekelas tak heran. Kami semua akan merelakan kepergiannya dengan iklas.

"Ke SMA sebelah, ya?"

Mereka semua mengangguk, kecuali Mentari yang membuka mulutnya. "Gila, ya. Pak Eno sampe urusan sama BK juga gara-gara dia."

"Kok jadi bawa-bawa Pak Eno?"

"Yailah. Waktu Pak Eno ngasih tugas 3 LKS ke kita, si Bagus itu sampe demam tinggi ngerjainnya. Nggak kuat, katanya. Terus mamahnya malah jadi kesel, nyalahin Pak Eno sampe dateng ke sekolah dan ribut di BK."

"Buset."

"Kita sih ngakaknya Pak Eno malah santai aja, pasang watados padahal muka mamahnya Bagus udah merah banget."

"Terus-terus?"

"Pak Eno manggil Archie, Juna, sama beberapa anak kelas lain ke ruang BK."

Gue tak berkedip.

"Awalnya sih Pak Eno cuma diem aja nanggepin protesan mamahnya Bagus yang udah sepanjang rel kereta. Terus pas Archie sama yang lain dateng Pak Eno baru ngomong."

"Ngomong apa?!"

"Ya gitu. Dia nanyain apa Archie sama yang lain sampe demam gara-gara ngerjain LKS, ya mereka jawab engga dong karena emang kenyataannya mereka baik-baik aja walaupun kepala serasa mau meledak."

"Terus-terus?"

"Pak Eno bilang, cara dia mengajar ya kayak gitu. Gimana pun cara seorang guru buat membagi ilmu ke muridnya itu pasti bertujuan baik. Dan baik enggaknya itu relatif, tergantung muridnya. Kalau muridnya memang cerdas, mau gimana pun juga pasti bisa. Kalo Bagus nggak bisa bertahan dengan cara dia, sekolah lain masih banyak, kok."

"Mantul!" Gue tak berhenti bertepuk tangan takjub sebelum satu kalimat Mentari membuat gue teringat Anthares yang mungkin sudah berlumut.

"Gue penasaran siapa pengganti Bagus di kelas kita nanti." 

Astaga. Gue bergegas bangkit tanpa mengacuhkan pertanyaan Mentari  dan yang lain. Satu-satunya tujuan gue saat ini adalah Anthares.

"Puas udah bikin gue ngelamun dangdut disini?"

Gue tertawa. "Sori-sori."

Tak menghiraukan beribu caci maki yang keluar dari bibir merah Anthares, gue malah menarik tangan cowok itu menuju BK.

Rasa bahagia dalam dada gue saat ini memang sangat sukar untuk gue tahan, hingga berulang Anthares bertanya tentang kewarasan gue.

"Sekali lagi gue tanya, kenapa sih senyum-senyum mulu?"

"Nanti lo juga bakal tau pas di BK. Makanya ayo cepet!"

Karena gerakan gue tertahan oleh tangan Anthares, terpaksa gue tetap diam.

"Kasih tau gue sekarang."

Gue menyerah.

"Temen sekelas gue ada yang pindah, jadi lo bisa masuk dan gue tetep."

"Bukannya lo mau ke sosial?"

Gue mengangguk. "Sebelum nenek gue marah habis-habisan."

Setelah itu, Anthares mengerti dan melanjutkan langkah kami menuju BK. Padahal, jarak kelas gue ke ruang BK jelas tak terlalu jauh. Namun entah mengapa kali ini terasa sebaliknya.

Sebelum kami memasuki ruangan yang tak terlalu besar itu, Anthares berhenti, tepat di depan pintu. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga gue hingga deru napasnya menjadi satu-satunya suara yang gue dengar.

"Lo senyum-senyum tadi karena bakal sekelas sama gue, kan?"