Neraka itu berlangsung sampai dua jam lamanya. Delilah seperti dilem di lantai tempatnya berjongkok meringkuk sekarang. Di depannya ada sebuah ruangan yang disebut James sebagai The RedRoom. Ternyata di tempat itu James menyiksa pasangannya.
Delilah tak pernah melihat manusia seperti James sebelumnya. Wajah James benar-benar menipu semua orang. Tampan bak Malaikat tak membuatnya baik hati. Ia adalah Lucifer bersayap putih. Jika ada perumpamaan manusia sebagai Malaikat penjaga Neraka, maka James adalah sosok yang tepat.
Di mata Delilah, James tak lebih dari sekedar monster. Ia tak perduli bagaimana James bisa sejahat itu yang jelas ia bukanlah manusia. Ia adalah iblis berwujud manusia.
James keluar dari kamar itu dengan peluh dan beberapa bercak darah di tubuhnya. Resleting dan kancing celananya belum tertutup dan bagian vitalnya hanya tertutupi oleh celana dalam warna hitam. Dengan santai ia memamerkan keseksiannya di depan Delilah yang terduduk dengan kedua lutut terlipat di tengah dada.
Ia menengadah perlahan menatap sang monster di depannya itu. James menyeringai jahat lalu berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan itu dengan pintu terbuka. Delilah yang penasaran tapi ketakutan, kemudian mencoba mengintip sedikit dari posisi duduknya. Ia sedikit merangkak lalu berdiri sambil berpegangan pada sisi pintu.
Ia memberanikan diri masuk ke dalam ruangan itu. Perlahan ia masuk dan mencoba mencari dimana wanita yang dibawa masuk oleh James. Mata Delilah membesar saat melihat wanita tersebut berada di atas ranjang dan tubuhnya seperti dipakaikan selembar kain putih transparan dengan kaki, tangan dan leher terikat rantai. Bedanya ia bisa leluasa bergerak.
Tubuhnya penuh darah dan itu membuat Delilah panik. Berniat menolong, Delilah sampai setengah berlari ke ranjang itu dan berusaha menolong. Tapi kening Delilah kemudian mengernyit. Tak ada luka di tubuhnya.
"Aku ingin lagi!" desah wanita itu begitu melihat Delilah. Ia mencoba meraih Delilah namun ia spontan mundur. Ia bingung dan tak mengerti yang terjadi. Wanita itu terus mengerang nama James dan memanggilnya dengan sebutan J. Karena ketakutan, Delilah berlari keluar dari kamar itu. Ia menangis sambil menutup wajahnya dan berharap bayangan wanita itu hilang dari pikirannya.
Sementara James masuk ke kamarnya dan membersihkan diri dari peluh dan darah sintetis yang mengotori dada dan perutnya. Fantasi James memang kadang diluar nalar, tapi ia tak bisa mengendalikan kemarahannya.
Sambil menengadahkan wajahnya menghadap shower air dingin yang menguyur tubuhnya, ia menghapus sisa hasrat di tubuhnya agar pergi melewati air yang mengalir. Sekilas teriakan dan erangan Ibunya dulu saat melayani pria terngiang di telinganya. Ia benci mendengar itu tapi menikmatinya di saat yang bersamaan.
James tau jiwanya sakit, namun ia belum menemukan obat dari kelainannya selama ini. Tangannya lalu menyentuh sensor air dan kucuran shower itupun berhenti. Setelah tubuhnya bersih, James keluar dan mengeringkan tubuhnya. Ia memakai bathrobe dan masuk ke ruang walk n closet.
Delilah yang masuk kamar tak mengetahui jika James tengah berada di walk in closet. Malam ini ia berencana untuk tidur di sofa saja. Ia begitu takut.
Namun begitu mendengar beberapa suara, Delilah mencoba mengintip dan kaget saat melihat pria itu ada di dalam kamar ganti. James lalu menarik Delilah masuk dan menutup pintunya.
Delilah yang makin ketakutan lalu mundur dan menyembunyikan diri di balik lemari gantungan baju. Sedangkan James terus berjalan mendekati Delilah dengan rambut masih basah bahkan air masih sedikit menetes dari ujung rambut coklatnya. James terus mendesak Delilah yang sudah tak punya ruang untuk bergerak. Ia mengurung Delilah diantara kedua lengannya.
Karena tubuh tingginya, James menunduk mendekatkan wajahnya pada Delilah yang sudah menunduk dan ketakutan. Mata James terus memandang bibir merah jambu merekah milik Delilah berbanding kontras dengan kulit putih yang ia miliki. Entah kenapa ia sangat ingin melumat bibir cantik itu. Ia bahkan sudah gemas ingin mengigitnya tapi entah kenapa James tak kunjung melakukannya.
James terus mendesak dan menunduk sementara Delilah ikut menunduk menyembunyikan wajahnya. Sebelah tangan James lalu menyentuh lembut pipi Delilah dan mengangkat wajahnya. Akhirnya netra mata coklat itu kembali bisa melihat mata biru topaz milik Delilah.
"Mengapa selalu menunduk?" tanya James dengan nada lembut. Hembusan mint dari nafasnya membelai lembut ujung hidung Delilah.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada wanita itu, Tuan J?" Delilah balik bertanya dengan nada takut. James sedikit tersenyum tapi matanya tak ingin berkedip memandang Delilah.
"Duniaku hitam, Candy. Dan aku... pantas kamu takuti," ujarnya setengah mendesah. Ujung hidungnya llau seolah menyetuh dan membaui tulang pipi Delilah. Hembusan napas James membuat bulu kuduk Delilah berdiri. Selain itu ada rasa hangat di bawah tubuhnya yang tak pernah dirasakan Delilah sebelumnya.
"Serahkan dirimu padaku. Mungkin... aku akan mengampunimu," bisiknya lagi sambil mendesah. James mati-matian menahan keinginannya untuk mencium Delilah. Hasrat lelakinya perlahan naik dan ototnya kembali menegang tapi kali ini lebih relax... jauh lebih relax. Kombinasi yang aneh, tapi James menyukainya.
Delilah tersadar ia hampir saja dijerat oleh Lucifer itu. Ia mendorong tubuh James sehingga menjauh darinya. Dengan wajah merona, Delilah keluar dari ruangan itu meninggalkan James yang terpaku dan tak berbuat apapun untuk mengejar Delilah. James hanya menghela napas dan berbalik menatap dirinya di cermin besar.
Sementara Delilah yang keluar tetap bertekad akan tidur di sofa malam ini. Jika James memaksa, maka ia akan melawan sekuat tenaga. Tapi ternyata perkiraan Delilah salah besar, James tak perduli gadis itu hendak tidur dimana. Ia bahkan tidak mencari tau.
Satu hari dilewati Delilah dengan selamat. Setiap hari dan jam terasa begitu menyiksa karena James menyekapnya di mansion. Pasca kejadian di RedRoom itu rasanya Delilah tak ingin meninggalkan sofanya. Tapi ia sudah setengah hari berada di kamar dan James telah pergi pagi-pagi sekali.
Delilah tak bisa kemanapun. James memasang tembok yang tinggi di mansion itu. Mansion itu seperti benteng. Pengamanannya berlapis. Rasanya jika Delilah mencoba kabur itu hanyalah saat tubuhnya menjadi mayat.
Merasa bosan, akhirnya Delilah keluar kamar dan berjalan menuju dapur. ia sempat berputar beberapa kali sebelum akhirnya menemukan dapurnya. Lordes terlihat sedang membuat kue dengan icing coklat. Delilah menghampiri mencoba akrab pada pelayan itu.
"Hai..." Lordes menoleh dan tersenyum.
"Nona Delilah," balasnya lalu kembali mengoleskan pelapisnya.
"Kamu sedang apa?" tanya Delilah sambil terus memperhatikan.
"Oh, aku sedang membuat kue untuk Tuan Harristian." Kening Delilah mengernyit.
"Siapa itu Tuan Harristian?" Lordes kembali tersenyum dan memandang sekilas pada Delilah.
"Nama asli Tuan James Belgenza adalah James Harristian. Aku sudah lama mengenalnya jadi dia mengijinkan aku memanggil dengan nama aslinya." Delilah terperangah. Ia tak tau jika James punya nama lain.
"Apa dia... bukan anggota keluarga Belgenza?" Delilah makin penasaran.
"Hhmm... bagaimana aku mengatakannya ya? Dia memang bukan anak kandung tapi Tuan Belgenza menyayangi Tuan Muda James seperti anaknya sendiri. Bahkan mungkin lebih," jawab Lordes merapikan polesannya.
"Pantas dia tak seperti orang Italia, wajahnya..."
"Tampan? sangat tampan bukan?" potong Lordes dengan percaya diri. Ia tersenyum dan meneruskan pekerjaannya.
"Untuk apa berwajah tampan tapi dia jahat!" balas Delilah dan Lordes sedikit tergelak.
"Setiap orang memiliki alasan untuk menjadi seperti dirinya, Nona."
"Tetap saja itu salah. Orang jahat tetaplah orang jahat, mungkin saja Tuhan mengutuknya sejak lahir," rutuk Delilah setengah berbisik.
"Jangan bicara seperti itu, Nona. Jika Tuan Harristian dengar dia bisa marah," tegur Lordes.