Chereads / The Seven Wolves: The Collateral / Chapter 1 - The Stranger (Volume 3: James Harristian)

The Seven Wolves: The Collateral

🇮🇩Andromeda_Venus
  • 487
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 560.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - The Stranger (Volume 3: James Harristian)

Seorang pria terengah berjalan sambil memegang luka tembak di perutnya. Ia berjalan dengan beberapa luka di wajah dan bagian tubuh. Pengawalnya masih belum datang dan ia harus berusaha melindungi dirinya sendiri.

Ia dikhianati oleh temannya sendiri. Dijebak dalam sebuah pertemuan yang ternyata hanya bertujuan menyingkirkannya. Ia terlanjur percaya dan menyuruh tangan kanannya, untuk pergi.

"Sialan, akan kubunuh dia nanti!" umpat pria itu terengah dan meraba perutnya yang terluka. Ia mengecek lagi senjata yang tengah dipegangnya dan bersiap akan menembak siapapun yang mendekat.

Kini 20 orang mencarinya di sepanjang jalan Salita Cacciottoli yang sudah sepi. Dengan nekat ia keluar dan menembakkan senjatanya pada kumpulan pria yang kemudian mengejarnya seperti anjing kelaparan.

Daarr... darr... bunyi senjata meletus selagi ia berlari dengan sisa tenaga dan sakit di perutnya yang mulai tak tertahan.

"Il Cazzo!" (dasar brengsek) umpatnya menembak lagi. Pria yang tak terkena tembakan terus mengejar dan siap akan menghabisinya jika mereka mendapatkannya. Pria itu kemudian melompat ke dalam sebuah selokan dan bersembunyi. Ia menunggu kesempatan untuk bisa keluar. Orang-orang yang mengejarnya memang gila. Mereka menyisiri semua sudut agar bisa mendapatkannya.

Pria itu mulai pusing karena kehilangan cukup banyak darah akibat luka tembak tersebut. Tapi ia tetap harus menunggu jika ingin selamat. Tikus got mulai mencium bau darah dan akan segera menggerogotinya jika ia tak keluar.

Dengan sisa tenaga, ia menginjak sampai mati tikus yang mulai mendekati dengan sepatu patofel mahal yang kini tak lagi berharga. Sepatu itu sudah terkena air got bercampur darah dari bangkai tikus yang ia bunuh dengan telapak sepatunya.

Sampai hampir 30 menit berlalu, matanya sudah berkunang-kunang dan tak mampu lagi berdiri. Pria itu mencoba keluar setelah semua aman tapi dia tak sanggup memanjat tembok selokan yang tinggi.

"Tolong aku!" ucapnya lirih tak sanggup lagi berdiri dan mulai meminta bantuan. Tak ada yang lewat di jalanan sepi itu lewat tengah malam begini pria itu mencoba naik lagi tapi hanya membuatnya semakin tergelincir dan jatuh.

"Aaahkk! Sialan!" ia terengah kesakitan dan hanya bisa mengumpat kesal.

"Tolong aku, aku mohon!" pria itu memohon lagi lalu mencoba menarik dirinya ke atas dan berpegangan di balik tembok selokan. Terlihat jam tangan mahal di pergelangan tangannya yang bersinar di bawah lampu jalan yang mulai remang.

Di saat ia sudah tak tahan lagi pada ketidakberuntungan yang ia punya karena akan mati kehabisan darah di dalam selokan, tangannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang dari atas. Tangan yang menariknya halus dan lembut. Tangan itu begitu ramping dan tak cukup bertenaga menarik pria tinggi sepertinya.

Ternyata yang menolong menariknya ke permukaan adalah tangan seorang gadis.

"Tuan, tarik tubuhmu ke atas. Kamu terlalu berat!" keluh gadis itu. pria itu mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk ikut mendorong tubuhnya sendiri ke atas. Pria itu menarik tangan gadis itu dan hampir menyeretnya ikut masuk ke dalam selokan.

"Aaahkk!" pria itu mengaduh kesakitan usai menarik paksa gadis itu menjadi tumpuannya supaya bisa naik ke permukaan.

Setelah sampai di aspal, pria itu kemudian menoleh pada gadis yang sudah menolongnya. Matanya mencoba mengerjap-ngerjap namun ia tak bisa melihat dengan jelas.

"Tolong aku!" pria itu pingsan usai meminta bantuan gadis itu. Gadis berambut pirang terang dengan kunciran bawah, memakai kacamata besar dan behel itu jadi kebingungan. Ia menoleh kiri kanan dan menegakkan lagi kacamatanya agar bisa melihat lebih jelas.

"Tuan... Tuan... apa yang terjadi padamu?" tanya gadis itu mendorong tubuh pria tersebut berusaha membangunkannya. Ia makin kebingungan karena pria yang tak begitu terlihat jelas wajahnya karena cahaya yang seadanya itu, kini pingsan.

"Apa yang harus aku lakukan? Dia sepertinya terluka," gumam gadis itu lalu mencoba meraba dan ia menyentuh darah yang terlihat di sekitar perut.

"Aduh, bagaimana ini!" ia kebingungan dan mencoba berdiri melihat ke kanan dan kiri. Tak ada siapapun yang lewat atau mobil yang berhenti. Jalanan makin sepi dan jika ia tak mulai berjalan ke ujung jalan maka jangan harap akan mendapatkan taksi.

Gadis itu terpaksa menarik dan memapah pria jangkung itu di tubuhnya yang mungil.

"Ahh, kamu berat sekali!" keluh gadis itu berusaha untuk bisa menyeretnya. Dengan susah payah dan beberapa kali terjatuh, gadis itu setengah menyeret pria yang sedang ia tolong. Ketika terjatuh lagi pria itu sedikit terbangun. Ia mencoba meraba-raba apa yang terjadi namun sepertinya ia merasa tubuhnya dibawa oleh seseorang.

"Siapa kamu," tanya pria itu dengan lirih lalu pingsan kembali. Saat itulah gadis itu sempat melihat wajah pria yang ditolongnya. Ia seperti seorang dewa yang turun ke bumi. Wajahnya sangat tampan dengan struktur yang sempurna.

Tak sempat mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu sempurna itu, ia kembali menyeret pria tersebut dengan sisa tenaga ke pinggir jalan. Setelah menyandarkan pada water tank di pinggir jalan, gadis itu berlari ke jalan mencoba mencari apa saja yang bisa membawanya ke rumah sakit.

"Tolong aku... tolong berhenti!" teriak gadis itu dengan suara yang tak begitu keras.

"Aku mohon berhenti!" baru setelah beberapa taksi lewat akhirnya ada satu yang berhenti.

"Terima kasih, Tuan!"

"Ayo cepat!" sahut supir taksi itu bahkan tak membantu gadis itu memasukkan pria yang sudah tak sadarkan diri itu lagi.

"Antarkan aku ke rumah sakit!" ujar gadis itu seperti seorang anak SMP memberi perintah pada pria berusia 60 tahun. Pria berkulit hitam itu lalu menoleh ke belakang dan mengernyitkan keningnya.

"Apa kamu punya uang?" gadis itu terlihat sedikit menyengir dan merogoh tas kecil yang ia bawa. Ia mengeluarkan sebuah dompet kecil lusuh dan mengambil sisa uangnya hari ini.

"Ini!" ujarnya memberikan uang. Supir taksi itu mendengus kesal dan mengambil uang tersebut lalu mulai menjalankan mobilnya. Gadis itu harus memberikan sisa uang menjual bunga yang ia dapatkan dari salah satu langganannya.

Kini dia bingung akan pulang seperti apa nanti dari rumah sakit sehabis mengantar pria malang tersebut. Tapi gadis itu kemudian menggelengkan kepalanya. Ia selalu diajarkan oleh Neneknya untuk selalu membantu orang lain.

"Tuhan pasti akan menggantinya. Aku tidak boleh ragu," gumamnya melirik beberapa kali pada pria yang pingsan tersebut.

Tiba di salah satu lobi rumah sakit, gadis itu keluar dari taksi dan meminta beberapa perawat untuk mengeluarkan pria tersebut dari dalam taksi. Pria itu kemudian di tempatkan di sebuah ranjang dorong dan segera dibawa ke dalam.

"Nona, kamu harus ikut kami memberikan keterangan!" ujar salah satu petugas pada gadis tersebut.

"Aku?" petugas itu mengangguk lagi.

Gadis tersebut terpaksa mengikuti para pegawai rumah sakit yang mendorong seorang pria yang baru saja ia tolong.

Tiba di ruang ER, ia gadis itu diminta masuk agar memberikan keterangan tentang pria yang ia tolong.

"Siapa namanya?" tanya perawat rumah sakit yang mengiterogasi gadis tersebut.

"A-aku tidak tau. Aku menemukan dia di pinggir jalan jadi aku membawanya kemari. Dokter yang sedang melakukan tindakan medis pada pria tersebut jadi mengernyitkan kening.

"Bagaimana kamu bisa menemukan dia tergeletak di jalan?"

"Aku lewat dan dia meminta tolong padaku," jawab gadis itu polos.

"Cari identitasnya!" perintah dokter tersebut dan seorang perawat mulai memeriksa saku pria tersebut. Ia menemukan sebuah dompet berisi identitas di pemilik.

"Namanya James Belgenza, Pak," ujar pegawai yang memeriksa pria tersebut. Dokter itu mengangguk lagi lalu memberi perintah.

"Siapkan ruang operasi. Aku harus mengeluarkan pelurunya!" ujarnya memberi perintah. Dengan cepat beberapa peraway cekatan akan memindahkan pria tersebut ke ruang operasi.

"Nona, kami harus meminta persetujuanmu untuk mengoperasi pria ini. bisakah aku mengetahui namamu?" gadis itu bingung tapi ia tetap mengatakannya juga.

"Namaku Vreya Delilah Starley," jawabnya polos. Petugas itu menulis dan mengangguk.

"Baik, apa hubunganmu dengan pasien?"

"Tidak ada," jawabnya spontan.

"Tapi kamu harus memiliki hubungan agar bisa menandatangani surat ijin operasi ini!"

"Tapi aku bukan keluarganya. Aku bahkan tak kenal dia." Petugas itu masih terus meyakinkan Delilah.

"Jika tidak dia tidak bisa dioperasi. Begini saja, aku akan membubuhkan namamu sebagai penanggungjawab dan ahli waris. Bagaimana kalau hubungan yang kutulis adalah hubungan asmara, pacar."

"HAA!!"