Mungkin ini entah malam keberapaku merasa putus asa karena melawan gelapnya malam.
Melawan gelapnya malam yang tidak bisa membuatku terlelap. Membayangkan rasa sakit yang ternyata lebih sakit dari yang ku bayangkan.
Sepuluh tahun berlalu hal ini masih sama seperti neraka bagiku.
Sepuluh tahun berlalu, bahkan pelukan tak dapat menghentikan rasa sakit ini.
Sepuluh tahun berlalu ternyata aku hanya bersembunyi dari rasa sakit ini.
Jam disudut ruangan menunjukan pukul 01:30 pagi, namun hal ini tidak menghentikan lu untuk terus membuat garis-garis yang membentuk suatu ruang dilayar komputerku. Jika kalian berfikir aku adalah wanita yang sangat mencintai pekerjaanku yang rela tidak tidur semalaman hanya untuk menggambar desain untuk owner , kalian salah. Menggambar adalah salah satu caraku untuk melawan gelapnya malam. Menggambar adalah distraksi dalam hidupku.
Selama sepuluh tahun ini aku bertahan hidup dengan seperti ini. Terlelap karena kekejamnya malam lalu pagi membangunkan ku dengan kejamnya.
Tirai yang selalu tak kututup membangunkan ku dari tidur malam ku. Aku menyadari lagi lagiku terlelalap dengan posisi duduk diatas tumpukan kertas gambar.
"Pagi re, lu gak balik lagi?"
"Pagi ya, proyek kembangan udah deadline nih gue bantuin anak-anak render aja"
Mutya Adiyatsa, wanita 27 tahun yang selama 4 tahun ini membantu menjadi sekertarisku dan kebetulan sahabatku sejak duduk di bangku junior high school, sehingga dia begitu hapal dengan rutinitas ku.
"Re karyawan lu udah gak cuma satu lagi, sekarang lu udah punya team buat bantu lu. jangan terlalu keras sama diri sendiri"
Aku yang memang terlalu jengah dengan peringatan itu hanya mengabaikannya dengan meminum ice americano yang slalu Tya bawa pagi hari.
" Ya tolong kumpulin team gue jam 9 ya, gue mau meeting bentar"
"Gue rasa lu sebaiknya tidur sebelum kebandara dari pada meeting"
"Ya..."
"Ok gue kumpulin".