Dan hari-hari berlalu seperti daun yang terhembus angin, terbang begitu saja dan pergi.
Hari-hari selalu sama untuk Cecile, jenuh dan hampa. Duduk seorang diri dikamar, ia tampak seperti wanita tua yang menghabiskan waktu luangnya dengan menyulam.
Jemarinya yang lentik terus bergerak menusuk jarum kedalam kain, menarik benang keluar dan menusuknya kembali. Begitu terus dan berulang.
Tatapannya terlihat kosong dan seakan jiwanya mengembara jauh keluar. Ia kembali teringat dengan pertengkaran nya pada sang ayah tentang penolakannya untuk bertunangan dengan Edwin.
Itu adalah pertama kalinya ia menentang keputusan ayahnya setelah menjadi anak yang begitu berbakti dan patuh bertahun-tahun lamanya.
"Ayah.. kumohon kali ini saja, biarkan aku memilih. Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya membuat keputusan besar dalam hidupku"
"Tidak! Kau masih terlalu kecil untuk membuat keputusan besar dalam hidupmu" Eckbert menentang dengan tegas. Aura kepimpinannya selalu membuat orang-orang di sekitarnya mundur dan memilih tunduk padanya, tidak terkecuali putrinya.
Tapi itu tidak terjadi hari itu. Putrinya seperti kerasukan roh jahat yang sungguh membuatnya begitu keras kepala.
"Ayah ini adalah tentang masa depan ku, kenapa kau tidak mengizinkan aku untuk memilih? Aku tau ayah hanya ingin yang terbaik untuk ku, tapi tidak bisakah ayah memberi ku sedikit peluang untuk memutuskan pada siapa aku ingin melanjutkan masa depanku?"
"Cecile kau tidak tau apa-apa! Jadilah gadis yang baik dan menurut saja seperti biasa, lagi pula apa yang kurang dari Edwin? ayah sudah memilihkan yang terbaik untukmu"
"Ayah.. putrimu ini memang tidak tau apa-apa karena minimnya pengalaman. Sebagai ayah yang bijak kenapa tidak ayah mengizinkan aku untuk memilih pria seperti apa yang ku dambakan? lalu setelahnya ayah dapat memberi ku bimbingan dan arahan terhadap yang ku pilih. Ayah..kau pernah muda, kau tentu paham dengan apa yang ku inginkan.."
Tapi ayahnya akan selalu menjadi sosok yang teguh pada keputusannya. Tidak menerima penolakan dan menuntut sekitarnya untuk tunduk terhadap apa yang telah ia putuskan.
"Apa kamu mempunyai seseorang di hatimu? tentu saja tidak! lalu kenapa kamu begitu bersikeras untuk menolak pertunangan ini?"
Cecile menghela nafas berat. Menatap pada ayahnya, mungkin sudah saatnya ia melepaskan semua tekanan di dadanya saat ini.
" Ayah.. aku merasa dari kecil sampai sekarang aku selalu hidup dalam pengaturan mu. Memaksakan diriku untuk melakukan banyak hal di bawah tekanan mu, mengatakan ini adalah kewajiban ku sebagai seorang putri dari kepala suku dan aku melakukannya. Aku membawa beban itu bersamaku bertahun-tahun lamanya. Aku kehilangan masa kecil ku yang bahagia, yang harusnya bermain dengan gadis seusia ku tapi aku harus melepaskan semua itu"
Menarik nafasnya sesaat lalu ia menghelanya dengan berat. Sepasang bola matanya yang coklat sudah basah. Ia merasa sangat puas melepaskan semua ketidakbahagiaan yang di tanggung nya selama ini sebagai gelar terhormat putri kepala suku.
"Aku selalu iri dengan Anne yang bisa begitu bebas untuk memilih apa yang ia suka, melakukan apa yang ia mau dan bahkan bebas untuk memimpikan apapun untuk masa depannya. Dan aku? aku tidak pernah memiliki kesempatan itu karena aku selalu takut ayah akan menentang nya. Tapi sekarang aku sudah menyerah ayah.."
Airmatanya yang jernih, meluncur sempurna di kedua belah pipinya yang halus.
Eckbert yang melihat putrinya yang begitu menyedihkan, terdiam dan kehilangan kata-katanya. Apakah ia sudah terlalu keras mengekang kebebasan putrinya selama ini?
Tapi itu adalah suatu hal yang harus dimengerti putrinya sebagai putri terhormat dari kepala suku, ia membawa nama baik ayahnya di setiap langkahnya. Jadi Eckbert tidak berpikir ia sudah melakukan hal yang berlebihan.
"Jadi kumohon ayah.. untuk kali ini saja beri aku sedikit kebebasan untuk memutuskan apa yang aku suka..."
"Tidak! Kau akan tetap bertunangan dengan Edwin apapun itu"
"Aku akan melarikan diri dari rumah jika ayah tidak mengubah keputusan ayah, aku akan bertindak gila kali ini!"
Segera air muka ayahnya yang muram menjadi gelap dan sangat buruk. Ayahnya hanya diam dan tidak menjawab apa-apa lagi. Sepertinya Cecile sudah begitu menekan kesabaran ayahnya waktu itu dan ia sama sekali tidak menyesal. Ia merasa sangat puas karena sudah meluapkan segala tekanan yang di pikul nya selama ini.
"Ouch!"
Tanpa sengaja ia telah melukai jari telunjuk nya dengan jarum. Itu karena lamunan nya beberapa saat yang lalu dan juga tidak fokus nya pada sulaman nya.
Padahal saat ini ia tengah menyulam nama Edwin disebuah saputangan putih. Acara pertunangan mereka akan segera dilangsungkan, dalam adat suku Zeath adalah sebuah keharusan bagi gadis yang hendak melangsungkan pertunangan untuk menyulam nama tunangannya disebuah saputangan.
Tidak semua gadis dari suku Zeath bisa menyulam. Tapi pada saat posisi seperti itu mereka harus bersungguh- sungguh belajar untuk menyulam nama tunangan mereka.
Itu adalah sebuah simbol ketulusan dan kesungguhan si gadis dalam menjadi pendamping pria dimasa depan.
Dalam menyulam membutuhkan keterampilan, ketelitian dan kesabaran untuk sebuah sulaman yang indah. Jadi tak ayal banyak para gadis yang berjuang untuk menuntaskan tugas itu dengan baik.
Terakhir banyak dari mereka yang berhasil menyulam nama kekasih mereka meski tidak pandai untuk pola yang lain.
Cecile bukanlah awam dalam sulam- menyulam. Itu adalah salah satu kemampuan yang sudah dipelajarinya sejak belia. Ia ingat Betapa banyak ia melukai jari telunjuk kirinya pada masa itu.
Sampai ia sedikit traumatis dengan benda tipis dan tajam itu. Tapi karena paksaan dan tekanan ayahnya akhirnya ia dapat menguasai bidang itu dan terbiasa dengan banyak pola.
Menatap ke jari telunjuknya, ada sedikit darah terpancar. Cecile hanya mengabaikannya. Luka tusuk seperti itu bukanlah hal baru untuknya.
Melihat pada saputangan dibawahnya, itu adalah pola yang hancur. Hasilnya terlihat seperti rerumputan di alam liar. Sangat berantakan dan jauh dari pola nama Edwin.
Cecile mendesah, maksud dari tradisi itu sendiri adalah untuk sebuah simbol kesungguhan dan ketulusan. Tapi ia tidak mempunyai kedua hal itu dalam dirinya. Jadi, itu wajar bukan ia tidak dapat menyelesaikan ini dengan baik?
Cecile meletakkan semua itu di meja kecil di dekat kasur, ia tak lagi bergairah untuk melanjutkannya.
Melirik ke jendela yang kini memiliki jeruji besi, itu hari sudah sore. Tidak lama lagi senja akan tiba. Malam akan bertandang dan hari baru akan segera hadir. Dan itu akan menjadi hari pertunangannya.
Sesungguhnya ia tidak main-main dengan kata-katanya hari itu untuk melarikan diri. Tapi siapa yang menduga kalau ayahnya akan mengurungnya dirumah ini dengan semua jendela terpasang teralis. Jadi dengan keadaan terpenjara seperti ini, bagaimana ia bisa melakukannya?
Tok.. tok..
Itu adalah suara ketukan dari kaca jendela kamarnya. Cecile segera menoleh kesana dan menemukan Anne yang tersenyum diluar jendela kamarnya. Tangannya melambai padanya lalu mengisyaratkan nya untuk segera datang.
Cecile merasa sangat bahagia. Semenjak kejadian pemberontakan itu, ayahnya tidak lagi mengizinkan ia bertemu dengan Anne sampai hari pertunangannya. Itu untuk mencegah ia melarikan diri. Tapi ia tidak pernah menduga Anna nekat datang padanya diam-diam seperti ini.
Ayahnya masih memiliki urusan diluar dan akan pulang dimalam hari. Anne memang memilih waktu yang tepat untuk datang.
"Anne!" Seru Cecile.
Ia tidak dapat membendung lagi air matanya sehingga bulir jernih itu jatuh mengalir. Sesungguhnya ia sudah sejak tadi ingin menangis, menumpahkan segalanya.
Tapi ia menolak melakukannya karena itu percuma. Takkan mengubah apapun. Tapi kedatangan Anne seakan menghidupkan harapannya kembali.
"Aku akan membantu mu melarikan diri"
Katanya di balik jendela, hembusan nafasnya membuat kaca jendela sedikit beruap. Cecile yang mendengar nya semakin menangis.
"Bagaimana caranya? lihat aku sudah seperti tahanan dirumah ini" Keluh Cecile dengan tangan mengepal kuat pada jeruji besi dan menghentak nya dengan sia-sia.
Anne merasa kasihan pada Cecile. Pamannya tidak seharusnya terlalu mengekang Cecile seperti ini. Padahal Cecile sejak kecil menjadi anak yang penurut, kenapa tidak sekali saja pamannya itu menuruti kemauan Cecile.
"Sekarang kau menjauh beberapa langkah kebelakang" Peringat Anne sebelum melakukan aksinya.
Cecile merasa ragu diawal, tapi setelah melihat kepercayaan diri Anne ia merasa yakin bahwa Anne punya cara. Dengan begitu ia mengangguk dan melangkah beberapa kali kebelakang.
Anne segera mengeluarkan palu yang dibawanya didalam tas. Lalu ia mengayunkan palu itu ke kaca dengan sekali pukulan dan kaca itu semuanya retak.
Cecile melongo melihatnya.
Tidak sampai disitu, kali ini ia mengayunkan palu itu pada jeruji besi berkali-kali hingga bengkok dan melakukan hal yang sama pada besi lainnya sampai meninggalkan celah untuknya keluar. Setelah selesai, Anne melempar palunya dan tersenyum puas. Ia tak kan bisa membayangkan bagaimana reaksi pamannya setelah melihat semua ini.
"Kau- dari mana kau mendapatkan ide gila ini?" Kata Cecile yang masih belum begitu pulih dari keterkejutannya.
"Kau memikirkan sesuatu yang gila untuk melarikan diri, karena itu aku harus bisa memikirkan sesuatu yang tak kalah gilanya untuk dapat membantu mu"
Mendengarnya Cecile semakin terharu. Mengusap keduabelah pipinya yang basah ia menarik segaris senyum.
"Terimakasih Anne, kau sudah bekerja keras untuk semua ini" Anne menatapnya dengan tulus dan mengangguk.
"Aku sudah berjanji untuk selalu mendukung mu, tentu saja!" Katanya kemudian dengan murah hati.
Dengan begitu Cecile melangkah hati- hati untuk keluar dari jendela. Tapi Anne segera menghentikan nya.
"Sebentar!"
Cecile berhenti melangkah dan ia melihat Anne mengeluarkan kain tebal lalu meletakkan nya di jendela hingga menutupi kepingan beling yang tajam. Lalu ia melemparkan sepasang sendal untuknya.
"Sekarang keluarlah dengan hati-hati"
Cecile tidak mengira bahwa Anne menyiapkan segalanya dengan begitu matang. Memakai sendalnya ia segera memanjat jendela dengan hati-hati.
Dengan adanya kain tebal itu ia tidak langsung tergores dan sedikit terlindungi. Lalu ia meloncat keluar dengan perasaan bebas tak terkendali.
Dadanya terasa sangat lapang seakan simpul yang mengikat nya sudah terlepas. Pundaknya pun terasa jauh lebih ringan seakan beban yang berat sudah tersapu bersih dari sana.
"Kau harus bergegas sebelum ayah mu pulang dan menemukan mu" Peringat Anne dan Cecile mengangguk dengan mantap.
"Tapi Cecile apa kau yakin melakukan semua ini? tidak mudah hidup diluar sana, begitu banyak bahaya yang mengintai. Jadi ku harap kau membuat keputusan dengan baik"
Anne mengatakan itu karena ia tau Cecile hanyalah seorang gadis rumahan yang tidak terbiasa dengan dunia luar. Apa lagi ia masih begitu muda dan tidak didukung dengan pengalaman apapun. Bagaimana mungkin Anne tidak khawatir dengannya.
"Anne aku sudah besar, jadi kau tidak perlu khawatir. Aku tau menjaga diriku dengan baik" Kata Cecile yang sudah sangat yakin dengan pilihan nya. Ia sudah sejak lama menginginkan kebebasan ini dan ia tidak akan melepas nya begitu saja.
"Tapi Cecile--"
"Baik aku akan segera pergi!" Potong Cecile dengan cepat, ia tidak ingin mendengar apapun lagi.
Senja akan segera tiba, ketika hari mulai gelap ayahnya akan pulang. Ia tidak ingin semua rencana ini gagal. Tapi Anne masih menatapnya dengan berat seakan menolak keputusan nya.
Menarik nafasnya dan menghelanya Cecile berkata tegas pada Anne.
"Anne kau sudah menyatakan dukungan mu padaku" Kata Cecile sembari memegang kedua bahu Anne ia melanjutkan.
"Dan lakukan itu sampai akhir" Walau berat akhirnya Anne mengangguk.
"Bawa tas ini! Aku sudah menyiapkan beberapa hal yang akan kau butuhkan di perjalanan nanti didalamnya. Dan ini..."
Anne mengeluarkan sekantong kain yang terikat dan menyerahkan nya pada Cecile.
"Itu adalah beberapa keping perak yang sudah ku tabung. Ku harap ini cukup untuk membantu mu selama kau belum mendapatkan pekerjaan diluar sana" Cecile dapat merasakan kantong itu sangat berat, pasti banyak keping didalamnya. Matanya makin berkaca- kaca. Ia tak menyangka Anne bahkan rela mengorbankan tabungannya untuk nya.
"Anne terimakasih! Kuharap suatu hari nanti aku bisa membalasnya"
"Kau tidak perlu memikirkan semua itu, sekarang kau pergilah! Jalan saja beberapa langkah dari sini sampai ke perempatan, disana kau akan menemukan kereta kuda yang sudah ku sewakan khusus untuk mu"
Kali ini Cecile kehilangan kata-katanya. Menarik tubuh Anne ia mendekapnya dengan erat.
"Sekali lagi terimakasih" Bisik nya lirih.
"Em!" Anna pun menepuk punggung Cecile dengan lembut.
Dan tepat ketika mega-mega merah memenuhi langit, Cecile melambai pada Anne lalu pergi meninggalkan pekarangan rumah.
Di perempatan, ia menemukan kereta kuda yang sudah menunggunya. Mengangkat bawaannya ia melangkah masuk kedalam.
"Nona kemana kita akan pergi?" Tanya si pak kusir. Cecile terdiam sesaat lalu menjawab.
"Bawa saja aku pergi jauh dari wilayah ini, jika perlu kita ke suku Akez"
Suku Akez terletak jauh di belahan Utara. Populasi penduduk nya pun sangat sedikit, mungkin akan mudah mencari pekerjaan dan tinggal di tempat itu.
"Itu sangat jauh, akan menghabiskan waktu tiga hari tiga malam, nona kau harus membayar lebih untuk perjalanan ini" Kereta kuda nya memang sudah disewa tapi itu hanya untuk satu hari.
"Berapa aku harus membayar?"
"50 keping emas"
"Aku hanya punya perak"
"Kalau begitu 100 keping perak"
"Sepakat!"
Dan akhirnya kereta kuda pun berjalan. Dibalik tirai, panorama senja sudah terasa sangat jelas diluar sana.Tidak lama lagi hari akan segera gelap.
Cecile akhirnya berhasil melakukan pelarian nya di penghujung senja. Dalam hatinya ia sedikit merasa bersalah pada ayahnya tapi ia tidak punya pilihan lain.
Untuk membangun mimpi dan harapan nya sendiri, ia harus bebas dari semua kukungan yang sudah ditanggung nya bertahun-tahun lamanya. Ia ingin bebas dan membentuk hal- hal besar dalam hidupnya.
"Ayah... maafkan aku! Andai kau tidak terlalu mengekang ku, mungkin aku tidak akan bersikap konyol dengan melarikan diri seperti ini"
Melempar pandang keluar tirai kereta, hari sudah senja dan mega merah tampak akan segera pergi. Air mata Cecile jatuh, mata basahnya menatap lurus ke langit senja.
Disana ia melihat sekawanan burung yang terbang, melukis langit senja dengan sekumpulan sayap hitam mereka yang membentuk formasi yang rapi.
Dalam suasana matahari tenggelam ini, mereka bergerak untuk pulang tapi itu cerita yang berbeda untuk Cecile yang baru saja memutuskan untuk beranjak pergi meninggalkan kediamannya.
___