Singapura, 22 Mei 2020
"Ada apa ini?" teriakku. Seseorang mendekapku dari belakang, membungkus kepalaku dengan karung hitam. Ada sedikit lubang di ujung karung ini, tetapi tidak cukup bagiku untuk melihat keluar. Aku memberontak, mencoba melepaskan diri. 1. 2, 3 kali tendangan, tidak berhasil. Aku terangkat di pundaknya, ku raba kepalanya. Rambutnya pendek. Sepertinya dia seorang lelaki. Aku terus berteriak, memukul-mukul pundaknya.
Aku bisa mendengar suara langkah kakinya. Sepertinya pria itu ingin membawaku ke suatu tempat. Aku mencoba tenang, membunuh rasa panikku, aku memfokuskan pendengaranku.
Aku mendengar suara tombol, kemudian suara pintu terbuka. Karena tadinya aku sedang membuang sampah di tempat sampah dekat lift. Aku menduga kami sedang berada di dalam lift. Pria itu menekan beberapa tombol. Aku tidak bisa menafsir, apa yang dilakukanya? Ke lantai mana aku akan di bawa?
Hening, aku menghitung-hitung dalam hati. Sudah 5 menit, kami belum keluar. Di menit ke 11, pintu lift terbuka. Kami keluar, setelah beberapa langkah. Aku mendengar suara langkah kaki lainnya. Kutilik, mungkin 3 atau 4 orang. Mereka berbicara dengan bahasa asing, yang pasti itu bukan bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Mungkin bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa bahasa suku asli penduduk sini. Setelah beberapa menit berjalan, terlihat cahaya dari lubang kecil yang ada di karung ini. Mungkin aku berada di luar ruangan. Tapi kenapa? Kenapa aku di bawa ke atap gedung?
Aku diturunkan dari atas pundaknya, tangannya masih menggenggam lenganku. Takut aku akan kabur. Aku bersiap kemungkinan ada kesempatan untuk kabur, aku mengepalkan tanganku Karung hitam itu dibuka.
"Kejutan!" Suara teriakan para penculikku terdengar keras dan itu membuatku berseru tertahan. Aku menatap mereka. Aku tersadar, hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku tertawa, memukul bahu temanku yang menculikku tadi. Aku menoleh ke belakang.
"Apa ini!" seruku terkejut. Aku terjatuh, lalu merangkak, menjauh dari pembatas atap gedung. Aku menempelkan tubuhku sekuat-kuatnya di lantai atap gedung. Seluruh tubuhku gemetar, kepalaku pusing.
"Bawa aku ke dalam! Bawa aku ke dalam!" teriakku. Teman-temanku panik, langsung mengangkatku kedalam. Aku duduk, di kursi yang disediakan teman lelakiku tadi, sambil memberiku segelas air putih. Air itu bertumpahan, tanganku masih gemetar.
"Ada apa Luzy? Kenapa kau sangat takut setelah melihat ke bawah?" tanya temanku. Namanya Aurora, dia juga teman sekamarku. Aku terdiam, masih syok dengan kejadian tadi.
"Luzy, jawab aku. Aku belum pernah melihatmu seperti ini."
"Aku takut ketinggian."
"Tapi bukankah itu terlalu berlebihan?" sahut temanku yang lainnya. Aku menatapnya sinis. Dia tertunduk, tidak berani menatap balik.
"Lehermu basah karena keringatmu, mari aku keringkan." Tangan Aurora mengikat rambut panjangku. Aku melepas tangannya, juga ikatan yang ada di rambutku. Dia berkata, "Luzy, apa yang ada di lehermu? Bukankah itu bekas pisau?". Aku terdiam, Aurora mencoba memegang leherku, aku memukul keras tangannya, dan berkata, "Hentikan!".
Semuanya terdiam, setelah melihat wajahku merah padam. Aku menatap mereka satu per satu, dengan tatapan yang tajam. Aku menunduk, mencoba menenangkan diri.
"Teman-teman, terima kasih telah merayakan hari ulang tahunku. Tetapi aku rasa itu tidak perlu. Ayo semuanya turun, atau kita akan kena marah apabila bolos kerja," kataku, sambil melangkah, menuju ke dalam lift.
Aku meninggalkan mereka, yang masih menatapku heran. Aku bersandar di dalam lift, memegang bekas sayatan pisau yang ada dileherku. Aku menatap langit-langit lift. Air mataku menetes tanpa peringatan.
"Aku merindukannya," kataku lirih, di dalam heningnya ruangan ini. Pintu lift terbuka, aku mempercepat langkah kakiku, aku langsung masuk ke kantorku. Aku duduk di kursi putar, menatap luar dari tebalnya dinding kaca. Aku berpikir tentang kejadian tadi, 11 menit aku di dalam lift. Gedung kantor ini setinggi 45 lantai, jika tadi aku berada di lantai 19, itu artinya 11 menit waktu untuk menaiki 26 lantai.
Terdengar suara ketukan dari luar ruangan juga. Menghancurkan heningnya lamunanku.
"Masuk!" teriakku, memerintah. Ternyata Aurora. Aku mengambil posisi duduk yang benar. Aurora mendekati sofa, lalu terlentang. Gadis itu hanya menumpang tiduran di ruangannya.
"Luzy, sewaktu kau di Indonesia, kau tinggal di daerah mana?" tanyanya, dengan mata terpejam. Aku menatap heran temanku itu, bertanya, "Apa kau berasal dari Indonesia Aurora?" Gadis itu tertawa pelan, sambil membenarkan posisi tidurnya.
"Tidak, aku tidak berasal dari Indonesia. Aku pernah liburan ke sana, lebih tepatnya berpetualang bersama teman-temanku. Mungkin sekitar 1 tahun aku berada di sana. Itu sebabnya aku mengerti bahasa Indonesia, tapi tidak sepandai yang kau kira," jelasnya. Aku mengangguk mengerti, hampir 2 tahun aku bekerja di kantor ini, dan hampir 1 tahun aku menjadi teman sekamarnya, tetapi aku tidak tahu dengan hal itu. Aku mendengus pendek, meremehkan diriku yang sosiopat ini.
"Seperti biasa, kau selalu mengabaikan pertanyaanku," ucapnya ketus.
"Oh... Aku, berasal dari Bandung," kataku, tersadar dengan perkataan Aurora tadi.
"oh iya... Luzy, soal tadi. Aku sudah melihat semuanya. Luka yang ada di lehermu. Aku pikir luka itu bekas sayatan pisau, tapi itu cukup dalam. Bagaimana bisa luka itu ada di lehermu? Apa ada kejadian masa lalumu yang mengerikan. Maaf aku lancang, tapi aku penasaran, karena ini pertama kalinya aku melihat luka seperti itu." Aurora berbicara dengan gelisah, memegang-megang telinga, rambut, dan hidungnya.
"Soal itu... aku pikir itu rahasia," kataku, sama gelisahnya dengan temanku itu.
"Apa karena luka itu penyebabnya? Selama ini kan kau tidak pernah mengikat rambutmu. Apa kau menutupinya? Dan soal tadi, mengapa kau takut dengan ketinggian?"
"Kembalilah bekerja. Aku sedang mempersiapkan peluncuran aplikasi perusahaan kita," kataku, mengalihkan pembicaraan yang sangat kubenci itu.
"Ayolah, ceritakan, ini aku, bukan yang lainnya," bujuknya. Wanita itu sudah mengambil posisi duduk, menatapku, berharap aku menceritakannya.