Malam telah tiba, bulan bersinar dengan terangnya. Audi duduk di taman rumahnya dan menatap ke arah bulan yang indah, pikirannya terus mengingat kejadian tadi di sekolah. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, Audi sangat merindukan sosok Riza yang dulu.
"Lo kenapa? Mikirin kejadian tadi, ya?" tanya Alex sembari duduk di sebelah Audi.
"Iya, gue kangen Riza yang dulu. Gue kangen Riza yang selalu ada buat gue, gue kangen semuanya. Tapi sayang, sekarang cuma jadi kenangan aja," jawab Audi tak semangat.
"Jangan ngomong gitu, gue yakin Riza cuma dipengaruhi Aura kok."
"Iya gue juga tau, tapi ini kenyatannya." Setelah mengatakan ini, air mata Audi tak bisa ditahan lagi. Air matanya jatuh menetes deras ke pipinya.
"Jangan nangis," ucap Alex kemudian menyandarkan kepala Audi ke dadanya.
"Makasih karena lo selalu ada buat gue."
"Sama-sama."
***
Kenzie berjalan keluar dari kamar dan menuju garasi rumahnya. Sorot matanya tertuju pada seorang gadis yang mengenakan pakaian yang sama dengan dirinya, Kenzie menghembuskan nafas panjang. Ia sangat malas bertemu dengan Aura lagi.
"Yuk berangkat," ucap Aura dengan menatap Kenzie.
"Lo berangkat sendiri aja, gue berangkat sama Jeff," jawab Kenzie berbohong.
"Nggak mau, tadi mama kamu juga udah nyuruh kita bareng kok. Mau ku telfonin?" tanya Aura. Kenzie hanya diam, ia tidak bisa menolak jika membawa orang tuanya.
Kenzie berjalan menaiki mobil karena Aura tidak mau dibonceng sepeda motor. Sepanjang perjalanan, Aura terus mengajak Kenzie berbicara namun Kenzie hanya diam dan tak menanggapi semua pembicaraan Aura.
"Kamu kok diam aja sih?" tanya Aura kesal.
"Gigi gue sakit."
"Kamu sakit? Ya ampun, jangan sakit dong. Nanti yang jagain aku siapa?" ucap Aura sembari memegang wajah Kenzie.
"Apaan sih," ucap Kenzie tak nyaman.
Kenzie sudah sampai di sekolah, ia berjalan menyusuri kooridor untuk sampai di kelasnya. Tetapi di tengah perjalanan, langkah kakinya terhenti karena berpapasan dengan Audi dan Alex. Audi menatap Kenzie penuh makna, sedangkan Kenzie menatap Audi hanya sekilas lalu membuang muka.
"Kenzie kenapa, ya?" tanya Audi kebingungan.
"Mungkin dia udah asyik sama yang baru," jawab Alex dengan menatap Audi.
"Oh."
Selama palajaran, Audi menatap ke arah Riza. Ia sangat merindukan sosok sahabatnya itu, Audi rindu semua masa dengan Riza. Bahkan sampai saat ini, Audi masih tidak percaya jika dirinya dan Riza sudah menjadi musuh.
"Lo ngapain lihat gue? Terpesona sama kecantikan gue?" tanya Riza dengan menatap Audi tajam.
"Jaga omongan lo!" sahut Alex.
"Apaan sih, nggak jelas," ucap Riza.
Sementara itu, Audi hanya diam melihat Alex dan Riza ribut kecil. Ia tidak ingin memperkeruh suasana, Audi tahu jika saat ini Riza sangat membenci dirinya.
Bel istirahat berbunyi, Audi malas pergi ke kantin namun Alex memaksanya. Dengan berat hati dan terpaksa, Audi menuruti ucapan Alex karena di iming-iming makanan gratis. Audi duduk di meja paling depan, ia sedang menunggu Alex memesan makanan.
"Eh ada anak lemah disini, ngapain lo kesini? Masih punya nyali buat ketemu gue?" tanya Aura dengan tersenyum licik.
"Iya nih, mana tadi lihat-lihat gue di kelas," sahut Riza.
"Denger ya, Kenzie itu milik gue dan lo nggak berhak buat deketin dia lagi. Kalau lo masih nekat dekatin dia, gue jamin hidup lo nggak akan tenang. Ingat itu!" ancam Aura lalu pergi dari hadapan Audi.
Audi hanya diam, ia tidak tahu harus bagaimana. Ia sangat mencintai Kenzie, tetapi mengapa banyak drama seperti ini?
"Lo kenapa?" tanya Alex cemas.
"Nggak kok, tadi kejepit meja makanya nangis gini. Tapi nggak apa kok," jawab Audi bohong.
"Jangan bohong deh."
"Gue nggak bohong, Lex," bantah Audi. "Gue makan ya?" Alex mengangguk dan Audi memulai memakan makanan itu.
Jam menunjukkan pukul dua siang, Alex sedang menatap Audi yang fokus mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru semasa ia tidak masuk. Alex menunggu Audi dengan malas, ia malas karena Audi tidak memberitahu dirinya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Ini buat lo, semangat ya ngerjain tugasnya," ucap Kenzie yang tiba-tiba masuk ke dalam kelas dan memberikan sebuah cokelat.
"Kenzie?"
"Iya ini gue, kenapa? Udah kangen ya?" goda Kenzie dengan tersenyum kecil.
"Nggak, gue nggak kangen sama lo," jawab Audi.
"Jujur aja, gue tau kok." Audi hanya berdehem, pertahanannya runtuh ketika menghadapi Kenzie.
"Ngapain lo kesini?" tanya Alex dengan menatap Kenzie tajam seolah mengibarkan bendera perang.
"Gue mau ketemu Audi," jawab Kenzie.
"Masih berani lo temuin dia setelah apa yang lo lakukan ke dia? Punya malu nggak?" ucap Alex dengan menarik kerah seragam Kenzie.
"Alex, udah! Gue nggak mau kalian ribut disini!"
Malam telah tiba, Alex duduk di kursi taman sembari menatap bintang dan bulan yang bersinar terang di angkasa. Sementara itu, Audi hanya diam dan menatap Alex dari jauh. Ia masih marah dengan apa yang dilakukan Alex tadi. Audi tidak terima jika Kenzie diperlakukan seperti itu.
"Jangan marah lagi dong," bujuk Alex dengan ekspresi memelas.
"Lagian, siapa suruh lo marah-marah sama Kenzie? Lo tau nggak, kehadiran dia itu udah buat gue jauh lebih semangat daripada biasanya. Gue cinta sama dia," jawab Audi dengan tegas.
Sakit, itu yang dirasakan Alex ketika mendengar semua ucapan Audi. Ia selalu berandai-andai jika ada di posisi Kenzie, ia selalu ingin Audi bisa mencintai dirinya seperti mencintai Kenzie. Namun sayang, semua itu hanyalah angan yang tak kunjung tercapai.
"Gue selalu salah di mata lo?" tanya Alex tiba-tiba.
"Maksud lo apa?"
"Akhir-akhir ini, gue selalu ingin ngelindungi lo dari Kenzie. Tapi lo selalu marah sama gue. Apa seburuk itu gue di mata lo?"
"Lo sakit hati atas ucapan gue?" tanya Audi dengan menatap Alex yang sedang berada di hadapannya saat ini.
"Iya, gue sakit hati banget. Gue suka sama lo, gue cinta sama lo. Apa lo nggak bisa kasih gue cinta suci lo? Gue sayang sama lo, Audi," ucap Alex sembari melihat kedua mata Audi.
"Lo bercanda, kan?" Alex menggelengkan kepalanya, ia sedang tidak main-main.
Audi menatap Alex beberapa detik, ia ingin memastikan lewat tatapan Alex jika ucapannya tadi hanya main-main. Namun, Audi menemukan jika Alex tidak sedang bermain-main.
Audi menatap Alex tajam. "Gue benci sama lo!"
Alex tahu, ketika Audi mengetahui tentang perasaannya semuanya akan berubah total. Mungkin saja Alex bisa kehilangan Audi dan Audi tidak ingin dekat lagi dengan dirinya. Tapi mau bagaimana lagi, Alex sudah tidak tahan melihat Audi yang terus menangis karena satu nama yaiti Kenzie Ardito Pradikta.