Chereads / (Still) Marry You / Chapter 2 - Lamaran Adisty

Chapter 2 - Lamaran Adisty

Sesampainya di taman, dia melihat Adisty duduk sendiri di rerumputan dengan cahaya taman yang temaram. Sinar ponsel memantul ke arah wajahnya.

"Gila, kamu!"

Adisty mengangkat wajahnya. Pria itu hanya tersenyum cuek, melepas satu kancing kemejanya sambil mengibaskan tangan sebab udara sangat gerah.

"Duduk sini!" perintah Adisty.

Luna duduk di sampingnya, dengan ekspresi cemberut tentunya. Sudah lulus pun, Adisty masih tetap jahil dan selalu cari masalah dengannya.

"Hapus fotonya!"

Adisty mengurai smirk, hanya memandang layar ponsel-nya.

"Disty! Kenapa diliatin gitu? Dasar mesum!"

Adisty cuek. Saat Luna hendak merampas ponsel-nya lagi, Adisty mengangkat tangannya. Kesal, Luna pun segera beranjak untuk menjangkau lengan itu. Bruk! Luna tak sengaja mendorong Adisty hingga pria itu berbaring tepat di bawahnya.

Detik berlalu dan mereka saling memandang. Bukan Luna, Adisty yang tampak gugup. Sesekali matanya mengerjap, membuka sela bibirnya untuk menghela napas berat. Hanya berjarak beberapa inchi dan Adisty sesekali memerhatikan bibir cherry Luna.

Dia ... kenapa? batin Luna.

Luna sempat mengeratkan jarinya di sisi kemeja Adisty. Polos sekali gadis itu. Tak tahu saja bagaimana gugupnya Adisty saat cengkraman Luna itu sedikit menyentuh bidang dadanya.

"Luna ...."

Luna segera bangkit setelah berhasil menyambar ponsel Adisty. Dia pun duduk untuk memeriksa ponsel itu. Adisty beranjak dari posisi berbaring, memerhatikan Luna yang sangat serius membongkar galeri ponsel-nya. Luna menahan detak perasaannya. Bagaimana tidak? Bukannya menemukan foto tak pantas yang tadi dibicarakan Adisty, galeri ponsel-nya justru penuh dengan foto-foto Luna.

"Fotonya ga ada. Aku bohong, Lun."

Luna terkejut. Bukan karena kebohongan Adisty, tetapi karena cara bicara pria itu yang sopan. Luna menatapnya serius. Adisty sedikit menunduk. Di bawah temaram cahaya lampu, Luna bisa melihat rona merah dan gugup di wajah Adisty. Apa karena tadi? Luna tidak mengerti.

"Perusahaan cabang papaku yang di Jepang mulai beroperasi akhir minggu ini. Aku harus pindah ke sana," tutur Adisty.

Luna menautkan alis, bingung. Tak ada alasan yang cukup bagi Adisty untuk membicarakan masalah pribadinya. Bicara normal saja mereka tidak pernah.

"Trus? Kenapa? Apa hubungannya dengan kamu bohongin aku soal foto itu?"

"Supaya kamu bisa datang ke sini."

"Ck, kamu ga bosan-bosan jahilin aku, ya! Kamu ...."

"Marry me, please!"

Luna terkejut. Bagaimana bisa? Selama tiga tahun ini di kelas, Adisty selalu menjahilinya. Mereka juga jarang bicara dengan baik. Tak ada alasan bagi Luna untuk menaruh hati padanya. Pun dia belum memikirkan cinta. Baginya, cinta Indra yang terbaik. Indra satu-satunya yang mencintai dan melindunginya. Luna tak pernah membayangkan ada pria lain selain kakaknya yang memberi rasa sayang juga. Ini cinta yang berbeda.

"Kamu ... abis 'minum' atau apa? Tiba-tiba bilang gitu. Atau kamu mau ngerjain aku lagi? Atau kamu ...."

Luna tak lanjut berkata. Adisty mendekat, menjangkau tengkuk Luna agar dia bisa memperdalam kecupannya di bibir cherry Luna. Luna mematung. Adisty hanyut dalam sensasi perasaannya. Sesekali Luna bisa mendengar hela napasnya yang berat. Apa Adisty serius?

Adisty terhenti. Dia menjauh, sedikit tertunduk dan menutup bibirnya dengan punggung tangan. Ekspresi manis Adisty pun mengundang gejolak perasaan Luna. Tiba-tiba saja perasaan itu hadir karena baginya, sisi manis Adisty justru muncul saat dia mengungkap rasa.

Manisnya, batin Luna.

Adisty kembali menatap Luna. Tidak. Kali ini Luna bisa melihat keseriusan di mata Adisty. Ini bukan seperti Adisty jahil yang selama ini mengganggunya di kelas. Perasaan suka yang tiba-tiba hadir di dada Luna dikarenakan Adisty menyentuh dan mengungkapkan cinta dengan manis. Tapi, apa benar harus menikah?

"Dis, kamu ...."

"Aku ga mau pergi. Aku ga bisa jauh dari kamu. So please ... marry me, Luna."

Luna belum bicara. Menikah bukanlah keputusan asal-asalan. Akan tetapi, wajah Adisty sangat serius hingga Luna tak tahu harus menjawab apa.

"Kita bisa merit dan tinggal di sana. Ga, aku ga akan nuntut banyak. Tetap jadi teman setelah nikah juga ga apa-apa. Ini ...."

Adisty mengeluarkan selebaran dari dalam sakunya. Dia menunjukkan benda itu agar Luna membacanya.

"Kamu bisa kuliah di sana. Kamu bercita-cita jadi pengarang komik, 'kan? Kamu bisa lakuin apa pun, aku yang akan jaga kamu."

"Dis ...."

"Ga perlu makasain diri. Aku juga tau ini terburu-buru. Tetap di sampingku aja udah cukup. Ga perlu harus jadi istri yang baik juga. Aku tau kamu manja dan ga bisa masak. Dan ...."

Tuk! Adisty terhenti saat Luna mengetuk kepalanya dengan ekspresi wajah cemberut. Pria itu tak bicara lagi karena harus mendengar keputusan Luna.

"Ga berubah, ya! Kamu selalu bicara sesuka kamu, ngasih keputusan sembarangan. Kamu juga mau ngatur hidupku?" protes Luna.

Apakah Luna akan menolak? Adisty mulai murung. Bibirnya terkatup rapat karena tak bisa memaksa lagi. Kegilaannya pada Luna membuatnya melamar Luna yang bahkan belum tentu punya perasaan padanya.

Bodohnya aku! Jadi pacarnya aja dia belum tentu mau. Kenapa malah ngelamar dia kayak orang bodoh gini? Tapi Papa ga mungkin pindah sendiri dan ninggalin aku di sini. Aku juga ga bisa biarin Papa bolak-balik penerbangan cuma karena khawatir. Tapi aku ga mau pergi. Aku ga mau jauh dari Luna, batin Adisty.

Takut Luna jadi membencinya, Adisty tak berani menatap Luna lagi. Luna masih memperhatikannya. Adisty menoleh ke belakang, menyambar jaket yang sempat dia lepas tadi karena gerah menunggu Luna.

"A-aku pergi, ya. Kamu sehat-sehat terus. Itu ... kamu bisa lupain yang aku bilang tadi. Ka-kalau ada waktu, aku mungkin balik ke sini. Jangan ... buru-buru jatuh cinta sama cowok lain, ya! Aku ...."

Adisty terkejut saat Luna mendekat dan mengalungkan lengannya di bahu Adisty. Dia tersenyum karena puas menjahili Adisty yang selama ini selalu dominan menjahilinya.

"Kamu ngambek?" tanya Luna seraya menyentuh pipi Adisty dengan jarinya.

"Luna ...."

"Kamu bodoh atau gimana, sih? Apa gitu caranya melamar cewek? Ga sopan! Aku bukan lahir dari batu, 'kan?"

Adisty tertegun. Jawaban diwakili saat gadis itu memiringkan kepalanya untuk mencium pipi Adisty yang berlesung itu. Dia kembali menatap Adisty yang terkejut karena masih belum percaya.

"Aku masih punya Kak Indra. Besok malam ... kamu datang sama papa kamu dan lamar aku di depan Kak Indra. Aku akan coba bicara dulu sama dia."

"Kamu serius?"

"Hm. Lagian ga ada salahnya juga. Aku ga mau Kak Indra terus ngurusin aku. Udah saatnya aku mandiri dan jauh dari dia. Tapi kalau ke Jepang ... apa dia akan rela, ya?"

Adisty mulai tersenyum. Dia sedikit menunduk untuk menempelkan dahinya di dahi Luna. Lamarannya disambut baik Luna. Menikah muda memang sudah direncanakannya sejak awal dia jatuh cinta pada gadis cantik itu.

"Marry me, Disty. Please ...."

"Makasih, Luna."

Pengikraran cinta yang entah kapan dimulai. Luna harap bisa menjadikan Adisty sebagai sandaran untuk mengurangi beban Indra.

*

Luna sangat cemas. Belum sempat dia memberi tahu pada Indra tentang rencana lamaran Adisty, Indra terburu-buru pergi bekerja setelah subuh. Hingga hampir petang pun, Indra belum pulang. Luna sudah berdandan rapi di kamar, menunggu Indra yang sudah berjanji akan pulang cepat.

[Kalau Kak Indra ga pulang sekarang juga, aku ga mau bicara lagi sama Kakak!]

Begitulah pesannya. Ancaman kesal itu pasti akan membawa Indra berlari ke rumah sederhana mereka. Benar. Tak sampai sepuluh menit, sepeda motor Indra terdengar dan kakak kandungnya itu masuk tergesa ke ruang tengah.

"Luna!"

Luna muncul dari kamar. Gadis manis yang sangat cantik. Rambut cokelatnya tergerai indah dengan pita putih di ujung kepalanya. Gaun putih selutut juga membalut tubuh rampingnya. Indra tertegun. Luna mendekat dan mengajak Indra duduk lebih dulu.

"Kamu ... kenapa dandan rapi gini? Ada yang penting?"

Luna tersenyum. Dari belakang, dia mengalungkan lengannya di bahu Indra. Dagunya disandarkan di bahu kokoh kakaknya itu.

"Pasti ada sesuatu, 'kan? Luna mau apa? Ga perlu sampe ngerayu gitu," cetus Indra.

"Iya. Ada yang mau Luna minta. Luna harap Kak Indra setuju dan ga nolak permintaan Luna."

"Ih, kapan memangnya Kak Indra pernah nolak maunya Luna? Semuanya buat Luna, 'kan?"

Luna menjauh dari Indra. Dia pun pergi ke dapur untuk mengambil teh agar dia hidangkan di atas meja. Setelah melepas jaketnya, Indra mengambil koran di atas meja, membuka kolom lowongan kerja. Dia menelisik satu per satu dari baris iklan tersebut.

"Kerja di cafe kayaknya cuma cukup untuk kita makan sehari-hari. Kak Indra harus cari kerja part time lain untuk tambahan biaya kuliah Luna. Luna nyusahin Kak Indra terus."

"Ga, Luna bicara apa? Kak Indra sayang sama Luna."

"Luna cuma jadi beban buat Kakak. Kerja sehari-hari cuma buat Luna, buat Kak Indra kapan?"

"Buat Kakak? Emangnya Kakak buat apaan? Itu udah ada motor. Emang mau beli apa lagi?"

"Kak Indra harus mulai nabung untuk ngelamar calon kakak ipar Luna nanti."

Indra tertegun. Dia meletakkan pena saat Luna duduk di sebelahnya. Dia memeluk erat lengan Indra, bersandar di bahunya.

"Kak Indra harus nikah. Kak Indra harus belajar bagi hati untuk orang lain."

"Luna mau bicara apa sebenarnya?"

"Luna ga tau apa ini benar. Tapi ... Disty ngelamar Luna, Kak."

Indra terkejut. Setidaknya dia pernah mendengar nama teman sekelasnya itu saat Luna berkeluh kesah perihal jahilnya Adisty. Luna segera menjauh dan duduk sempurna untuk bicara serius pada Indra.

"Luna udah dewasa. Luna juga harap Kak Indra mulai kehidupan baru. Biar Luna tinggal sama Disty. Luna mau Kak Indra ...."

"Apa-apaan ini, hah?! Kamu gila?"

Luna terkejut. Ini pertama kalinya Indra meninggikan suara setelah bertahun-tahun mereka bersama. Memang benar. Ini terlalu bodoh dan tergesa-gesa saat Luna menyampaikan bahwa Adisty melamarnya. Tak tahu, Luna hanya merasa percaya sepenuhnya pada Adisty. Adisty itu pria yang baik meskipun selalu menjahilinya.

"Kak ...."

"Kakak ga mau bicara sekarang!"

Indra segera pergi meninggalkan ruang tengah, membuka dan membanting pintu kamar dengan kasar. Brak!

Luna membisu. Dia hanya terkesan dengan perasaan Adisty. Tidak, dia mulai menyukai dan percaya bahwa Adisty akan menjaganya menggantikan Indra. Apalagi malam ini Adisty akan datang bersama papanya. Luna pasti malu karena tak dapat restu dari Indra.

"Kak Indra ...."

Luna mendekat ke pintu kamar Indra. Dia mengetuk berulang, berharap Indra membukanya.

"Nanti malam Disty mau datang untuk ngelamar Luna. Kak, please ... Luna suka sama Disty. Tolong ... biarin Luna yang tentuin masa depan Luna. Luna cuma mau Kak Indra mulai hidup baru tanpa Luna."

Tak ada jawaban dari dalam. Isak tangis Luna mengusik Indra yang bersandar di balik pintu yang sama. Entah kenapa, dia menunduk sambil menahan sakit di dadanya. Rasa sakit kehilangan, rasa sakit saat Luna mengatakan Luna mulai menyukai pria lain.

"Lun, Kak Indra ... ga mau jauh dari Luna."

Ternyata itu sebabnya adik kecilnya itu berdandan cantik saat menyambutnya. Ya, Luna sudah dewasa. Sudah saatnya dia melepas Luna pergi. Kenapa terasa sakit? Tangisan Luna juga menambah perih lukanya. Bertahun-tahun dia memenuhi keinginan Luna, tak pernah membiarkan menangis atau terluka. Apakah dia harus melepaskan Luna ke dunia seorang diri?