Empat tahun yang lalu ...
{Mei, 2016}
Tet!!!
Bel masuk terdengar. Seorang siswi cantik dengan rambut ikal terurainya baru saja menyelesaikan gambar manga di atas kertas putih. Dia duduk di bangku sebelah jendela.
"Cantik banget, Lun!" puji teman di sebelahnya.
"Hm, makasih. Apa setelah tamat sekolah, aku kuliah jurusan seni rupa aja, ya?" angan Luna, demikianlah nama gadis itu.
"Ambil desain grafis aja. Sekalian belajar gambar dari komputer. Nanti kamu bisa nyambi jadi pengarang komik."
"Ih, iya. Tapi ...."
Zrakkk!!! Luna terkejut saat teman sekelasnya menyambar hasil karyanya itu.
"Adisty!"
Adisty Kazuya, demikian nama di bet seragamnya. Meski tampan, tapi dia sangat menyebalkan. Luna beranjak dari kursi, segera mendekat pada Adisty yang ada di belakang meja terakhir. Adisty sangat jangkung. Pria tampan dengan binar mata cokelat dan alis tebal itu hanya mencibir kecil saat Luna meloncat untuk mengambil kertas yang dijunjungnya.
"Balikin, ih! Apaan kamu, Dis!" keluh Luna.
"Dih, gambar jelek gini aja mau sok-sokan jadi author komik," cibirnya.
"Oi, Disty! Ini udah hampir tiga tahun dan lo ga ada bosan-bosannya gangguin Luna. Besok udah kelulusan, loh!" sahut salah seorang teman yang lain.
Adisty tertawa kecil. Dia berlari ke seputar kelas yang sunyi agar Luna mengejarnya. Masih ada senyum saat Luna tampak kesal karena gagal mendapatkan kertas gambarnya.
"Adisty! Balikin!" kesal Luna.
Adisty tertawa dan menjulurkan lidah. Dia merapat ke dinding sudut karena Luna masih mengejarnya.
"Makanya, jadi cewek itu jangan pendek-pendek banget. Masa ngambil ini aja ga bisa. Harusnya ...."
Deg! Adisty terkejut saat tak sengaja bibirnya tepat menabrak bibir Luna. Bukan salahnya. Luna yang menarik dasinya agar Adisty lebih menunduk untuk bisa menjangkau kertas gambar itu. Bahkan Luna terkejut. Wajahnya merah. Dia segera menjauh dan berbalik.
Aduh, itu tadi ga sengaja. Mati aku! Mikir apa nanti dia, rutuk batin Luna.
Luna kembali duduk di bangkunya. Syukurlah tak ada teman sekelas yang melihat. Luna melipat tangannya di atas meja, menyembunyikan wajah. Tak lama, seorang teman kelas yang lain datang ke hadapan Luna, menepuk lengannya agar Luna mengangkat kepala.
"Reza?"
Pria berkacamata bernama Reza itu hanya tersenyum, lalu meletakkan sebatang cokelat di atas kertas Luna.
"Buat kamu."
Hanya itu. Luna memegang cokelat favoritnya setelah Reza pergi. Sesekali Luna melirik ke belakang. Adisty masih di sana. Dia bergidik ngeri melihat senyum si jahil itu.
Yang terjadi beberapa menit lalu, hanya Adisty dan Luna yang tahu. Adisty tersenyum tipis sambil menggaruk telinganya. Detak jantungnya kian memburu jika mengingat 'ciuman' tak sengaja itu.
Kevin benar. Ini udah tiga tahun. Aku harus bilang sama Luna tentang perasaanku. Setelah kelulusan aja, gumamnya.
Itulah awal dari keberanian Adisty mengungkap rasa.
*
Binar ceria mewarnai para siswa yang keluar dari auditorium. Selesai sudah acara kelulusan. Banyak dari mereka yang mengabadikan foto sambil memegang bucket bunga. Para wali menyingkir untuk memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk melepas rindu jika berpisah nanti.
"Disty, mau pulang sekarang?" tanya papanya yang masih memegang ponsel.
"Ih, pulang sekarang? Ga, lah! Papa aja. Aku masih ada urusan."
"Hei, ini Papa buru-buru. Kantor cabang di Jepang udah mulai beroperasi. Kayaknya Papa mau otw ke sana."
"Lama, ga?"
"Apanya?"
"Balik ke sini."
"Kenapa emangnya?"
"Aku mau ngenalin calon menantu Papa."
Papanya terkejut. Lantas tak berpikir dua kali, dia pun mengetuk dahi putra semata wayangnya ini. Tuk!
"Anak ini mabok atau gimana? Baru lulus kok ngomongin kawin?"
"Ck, udah Papa pergi sana!"
Papa Adisty menggeleng. Beliau hapal betul sifat putranya itu. Setelah pergi, Adisty menjauh dari kerumunan. Dia duduk di bawah pohon beringin. Di sana, Luna masih tertawa bersama temannya.
"Ck, cantik!"
Adisty mengambil ponsel dan memotret Luna dari kejauhan. Menyadari Luna memperhatikan dari sana, Adisty segera menyimpan ponsel-nya. Cuek.
"Kamu motret aku, ya!" protes Luna.
"...."
"Tumben diam. Biasanya juga cerewet. Hari ini terakhir kita ketemu. Jangan kangen, ya! Jangan ikutin aku juga! Pasti kamu bingung karena ga ada lagi yang bisa kamu jahilin."
Tak bicara.
"Luna!!!"
Perhatian Luna teralihkan pada suara itu. Seorang pria tinggi sedang tersenyum sambil melambaikan tangan pada Luna. Pria itu mendekat setelah memarkirkan sepeda motornya.
"Kak Indra!"
Luna berlari untuk bisa memeluk pria itu segera. Senyumnya sangat manis, penampilannya dewasa karena memang dia sudah berumur. Luna sangat suka mencium aroma parfumnya bercampur keringat ketika dia berlabuh dalam pelukan erat.
"Maaf, Kakak udah usahain secepat mungkin. Ga tau kenapa tadi cafe-nya rame banget. Maaf ... kamu jadi sendirian."
Meski sedikit sedih, Luna tersenyum sambil mengusap keringat di dahi dan leher pria itu. Sangat pekerja keras. Dia bahkan belum melepas kostum waiter-nya dan segera pergi untuk menjadi wali di hari berharga Luna.
"Ga apa-apa. Kak Indra, kan, kerja juga buat aku. Aku mau protes apa? Kita bisa makan aja, aku udah bersyukur banget. Makasih, Kak Indra ...."
Indra tertegun. Luna mengalungkan lengannya di leher Indra agar bisa memberi kecupan dalam di pipi kakaknya itu. Durasi beberapa detik berlalu bagi Luna untuk mengungkap rasa sayangnya.
"Luna sayang sama Kak Indra. Makasih udah jagain dan ngerawat Luna sampai sekarang. Mama dan papa pasti tenang di sana."
Indra tak bicara lagi. Luna mengajaknya duduk di bangku pohon yang tak jauh dari Adisty. Adisty masih memperhatikan mereka. Tawa ceria Luna terdengar saat dia bermanja pada Indra. Indra pun tak henti tersenyum sambil mengusap kepala Luna.
Dia sayang banget sama Luna. Dia satu-satunya keluarga Luna yang harus kumintai izin nanti, batin Adisty.
Indra dan Luna hanya hidup berdua. Kedua orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan. Saat itu Indra berusia 17 tahun. Dia mulai bekerja keras membesarkan Luna yang masih berusia 5 tahun. Adisty tahu banyak karena dia menyukai Luna sejak lama. Bagaimana cintanya Indra selama ini pada Luna.
Acara perpisahan sekolah berakhir dengan senyum dan haru.
*
Beberapa hari berlalu sejak kelulusan. Indra pulang dari kerja lemburnya seperti biasa. Usai mandi, Indra pergi ke kamar Luna. Luna tertidur dan meletakkan kepalanya di atas kertas gambar. Satu karakter manga tercipta lagi.
"Kamu suka banget menggambar. Aku akan kerja keras untuk kuliahin kamu, Lun."
Indra merapikan meja belajar Luna. Menyadari Indra di dekatnya, Luna tersenyum dan menggelayut manja di bahu Indra. Senyum yang sangat cantik. Bidadari kecilnya ini semakin cantik ketika dewasa.
"Gendong!" ujar Luna, manja.
"Kamu sengaja tidur di sini supaya Kakak gendong, ya?"
"Hm. Soalnya Kak Indra wangi banget kalau abis mandi."
Senyum Indra menghilang saat Luna semakin merapatkan kepalanya ke tengkuk Indra. Meski dingin usai mandi, Indra merasa hawa sekitarnya semakin panas. Indra membaringkan Luna di kasur. Gadis kecilnya itu tersenyum saat Indra mengusap kepalanya.
"Kak Indra jangan lembur terus. Mayang bilang, cafe tantenya ada lowongan untuk posisi waitress. Besok ..."
"Ga! Jangan pikirkan Kakak lagi! Biar Kakak yang kerja. Luna harus terus gambar yang bagus. Bulan depan kita bisa daftar kuliah di kampus itu."
"Sampai kapan Luna jadi beban Kak Indra? Luna udah dewasa, Kak."
"Dewasa? Selamanya Kak Indra akan jagain Luna. Luna itu tanggung jawab Kakak. Luna ..."
Luna segera duduk. Dia kembali memeluk saudaranya itu. Setelah kecupan di pipi, Luna menempelkan dahinya di dahi Indra. Indra bungkam, menahan jantungnya yang terus berdetak belakangan ini saat Luna bermanja padanya. Wajahnya mulai merah.
"Cukup, Kak. Selama ini Kak Indra cuma mikirin Luna, ga pernah peduli sama hidup Kakak sendiri. Suatu saat Luna harus mandiri. Kak Indra juga harus punya keluarga sendiri dan ..."
"Ga! Kak Indra ga akan ninggalin Luna."
Luna tersenyum. Dia segera menjauh dan menggenggam tangan Indra. Sempat ditempelkannya ke pipi, lalu memberi kecupan di sana. Tangan kasar ini sudah bekerja keras bertahun-tahun membesarkannya.
"Hei! Kak Indra udah harus menikah. Mau sampai kapan gini terus? Kerja, kerja. Luna udah dewasa, Kak."
"Kalau Kakak harus ninggalin Luna cuma untuk menikah, Kakak ga mau."
"Kalaupun Kakak ga nikah, Luna pasti menikah, kan?"
Indra terdiam. Luna mengecup pipi Indra dan kembali berbaring di kasur.
"Selamat malam, Kak. Mimpi indah, ya!"
Luna berbaring memunggunginya. Indra belum bicara. Entah kenapa dadanya terasa sesak. Suatu saat Luna akan menikah dan meninggalkannya.
"Pokoknya Kak Indra ga mau pisah dari Luna."
Luna tak menyahut. Usapan lembut terasa di kepalanya, lalu Indra pergi.
"Ya masa jadi perjaka tua cuma gara-gara ngurusin aku. Nanti aku juga ga bisa mandiri."
Kling! Suara ponsel-nya terdengar. Pesan chat dari Adisty. Nomor itu sudah lama ada di kontaknya, tetapi tak pernah sekali pun muncul di jendela chat karena mereka bagai tikus dan kucing.
[Adisty : Lo tau? Gue ada nyimpan foto lo waktu lo ganti baju di toilet pas jam olahraga. Mau gue sebarin ke anak-anak?]
Luna terkejut. Tak salah lagi, Adisty pasti berulah lagi. Luna pun membalas pesan itu segera.
[Luna : Kamu mau apa, sih? Jangan macam-macam, ya! Kamu mau bikin aku malu?]
Kling! Balasan masuk lagi.
[Adisty : Temuin gue di taman deket rumah lo. Sekarang! Atau gue sebarin ke sosmed, mau?]
Luna kesal. Ingin rasanya dia menangis, tapi rasanya sudah kenyang bertahun-tahun dijahili Adisty. Luna segera turun dari kasur, berjalan mengendap-endap keluar rumah. Jika ketahuan, pasti kakaknya itu tak mengizinkannya keluar selarut ini.