Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Ineffable Truth.

🇮🇩fallenrises
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.9k
Views
Synopsis
ㅤㅤMeskipun bukan ini yang kuinginkan, tetapi nyatanya, tidak satupun dari kami berdua yang berhak mengubah takdir. Tidak satupun dari kami menginginkan sebuah perpisahan yang menjadi akhir. Karena seperti perkataan Aditya, "Cerita kita belum benar-benar berakhir."

Table of contents

Latest Update1
Prolog.4 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog.

Tepat tiga tahun lalu, ketika kutanya, "Apakah semua akan baik-baik saja?" Jawaban darinya tentu membuatku sedikit dapat bernapas lega. Waktu itu, kami sedang tidak dalam keadaan yang baik satu sama lain, ditambah dengan kesibukannya sebagai siswa kelas akhir Sekolah Menengah Atas.

Kami duduk berdua di tepi lapangan futsal, setelah sepersekian jam aku menunggunya menyelesaikan latihan untuk turnamen minggu depan. Dengan peluh menghiasi pelipis serta deru napas yang belum cukup teratur, kuulurkan sebotol air mineral dingin yang sengaja kubeli dari kantin sekolah untuknya.

Hanya diam, memandang lurus ke arah beberapa siswa yang memilih untuk beristirahat di lapangan. Sesekali ekor mataku mencuri pandang ke arahnya, dan sekali itu juga aku ketahuan. Dia menepuk tempat kosong di antara kami, memintaku untuk bergeser duduk lebih dekat.

"Yuk, dibicarain," ujarnya, meletakkan handuk kecil dan botol minuman itu di sebelah kanannya. Matanya lurus menatapku yang masih saja diam tanpa tahu harus berbuat apa.

"Kalau ada yang masih mengganjal, bilang aja, Adira."

"Kita bakal baik-baik aja gak sih, Kak?" tanyaku.

Kulihat dia sempat berpikir-atau lebih tepatnya pura-pura berpikir. "Emmm... mungkin?"

"Mungkin?"

"Mungkin kita bisa dan akan baik-baik aja,"

Aku tersenyum, sebagaimana kulihat sudut bibirnya ikut terangkat. Binar mata tidak bisa lagi kusembunyikan ketika tangannya menepuk halus puncak kepalaku.

"Miskin banget yang pacaran di pinggir lapangan!"

"Itu mereka baru baikan, aura jatuh cintanya kerasa lagi,"

Hingga celetukan-celetukan itu menghancurkan momen yang ada.

Aku melempar tatapan sengit ke arah dua wajah yang sama sekali tidak asing karena mereka adalah teman seangkatanku, Irama dan Galfareza.

"Diem lo, jelek!" sungutku.

Hampir tidak terhitung banyaknya kami berdua berselisih paham tentang apapun, sampai parahnya, aku pernah sekali untuk tidak membalas pesan dan memilih mengabaikannya ketika kami bertemu.

Pertengkaran kecil itu selalu berujung dengan manis. Tidak dengan usaha kerasnya membujukku, tidak juga dengan aku yang perlahan luluh dengan sendirinya. Semua itu karena kita sama-sama tahu, alasan dibalik dipertemukannya Adira Danastri dan Aditya Hartadi, adalah untuk selalu bersama tidak peduli seburuk apa ujiannya.

Katakan ini menggelikan, apalagi bagi siswi yang baru saja menduduki bangku kelas sebelas tahun itu.

Benar, aku tidak dapat menyangkal betapa aku menyayangi Aditya, betapa aku sangat merasa berharga karena memilikinya.

Hingga saat di mana kami memutuskan untuk menyudahi, satu lembar perjalanan panjang yang begitu melelahkan.

Tangannya tak lagi ada untuk menggenggam dan merengkuhku ketika butuh.

Aku cukup senang pernah memilikinya meskipun yang kutahu, kini namaku tak pernah lagi ada dalam kata ketika matanya terbuka di setiap paginya.

"Semuanya baik-baik aja kan?"

"Tentu."

"Termasuk cerita kita?"

"Iya, cerita kita akan selalu baik-baik aja."

"Gimana kalau ternyata nanti berakhir menyedihkan?"

"Itu artinya cerita kita belum benar-benar berakhir."

Kupegang erat sebuah figura kecil yang semula terpajang rapi di sudut meja belajarku. Foto itu, ingat betul kuambil sekitar bulan Juli, tahun ajaran baru setelah aku resmi menjadi siswi kelas akhir. Kami sedang di toko buku dekat sekolah, yang memang diminta salah satu guru untuk membeli beberapa paket soal latihan di sana.

Seperti biasa, dia hanya menunggu dari luar, mondar-mandir tidak jelas, atau mungkin menghampiriku sesekali. Dengan almamater fakultasnya, Aditya menepuk pelan kepalaku.

"Kirain kamu udah masuk ke dunia komik, lama banget."

Tidak kuhiraukan, aku tetap melanjutkan aktivitas menelusuri rak di kanan kiriku, dan menemukan satu buku yang sedari tadi kucari. "Ketemu!"

Memutar badan menghadapnya, dengan bangga kutunjukkan satu buah novel terbaru karya penulis kesukaanku.

"Bukannya tadi kamu disuruh cari buku latihan soal?" tanyanya, bingung.

Aku tertawa. "Kan ada kamu," kutatap matanya penuh harap. "Pinjam buku kamu aja, ya? Ya? Ya?"

"Mana bisa. Punyaku udah coretan dan ada jawabannya semua, gimana kamu mau latihan?"

Terlalu panjang jika kuceritakan semuanya. Intinya, setelah perdebatan itu, kami memutuskan segera pulang, karena dia juga harus kembali untuk mengerjakan tugas kuliahnya.

Selama perjalanan, tidak ada objek lain yang kutatap selain pantulan wajahku di helm belakangnya. Aku dapat duduk sedikit lebih nyaman karena hari itu dia memakai motor matic milik mamanya. Jarang sekali kami bepergian menggunakan mobil, dia sering menawari, tetapi kutolak karena kata Melodi, temanku, lebih romantis jika mengendarai motor lalu kupeluk dirinya dari belakang. Ya, seperti ini, mungkin?

Cukup lama tidak kudengar kabar darinya. Sekitar dua tahun, mungkin. Tepatnya setelah hari kelulusan angkatanku, hari yang seharusnya begitu menyenangkan setelah resmi melepas statusku sebagai pelajar Sekolah Menengah Atas, rupanya kejutan semesta benar-benar di luar dugaan.

Tatapan penuh rasa bersalahnya, masih terus membayangiku hingga sekarang. Gerak tangannya mengusap lembut rambutku, sentuhan terakhir yang sampai kapanpun akan selalu menjadi yang paling menyakitkan.

Dia menjemputku sore itu, dengan motor matic mamanya, kupeluk dia dari belakang, seperti biasa. Kami tertawa sepanjang perjalanan, kuceritakan bagaimana keseruan seharian itu, sampai motornya berhenti tepat di depan minimarket dekat komplek rumahku.

Aku turun, dia mengulurkan tangannya, yang dengan senang hati kusambut. "Hadiah kelulusannya es krim dulu, ya," ujarnya.

Aku mengangguk, kami pun masuk ke dalam supermarket yang sesegera mungkin disambut sejuk AC serta sapaan hangat kasirnya.

Hari itu, aku memutuskan mengambil dua es krim, satu untuknya. Selesai membayar, dia mengajakku duduk sebentar di kursi teras, dan kuiyakan.

Cukup lama kami saling diam. Aku sibuk menghabiskan es krim di tanganku, meksipun sebenarnya fokusku tertuju padanya yang menunduk sedari tadi.

"Kak," panggilku, sambil melempar bungkus es krim yang baru saja habis ke dalam tempat sampah.

Dia mendongak, lalu tersenyum. Bukan senyum yang biasa kulihat. Bukan.

"Ada apa?" Kian penasaran, kuputuskan untuk bertanya lebih dulu.

"Gak ada apa-apa. Udah habis es krimnya?" Dia menanyakan hal yang sudah jelas apa jawabannya. Aku tidak menjawab, menatapnya bangkit dari duduk dan menarik tanganku. "Ayo, pulang."

ineffable truth ╱ fallenrises.