Chereads / Revenge Of The Black Hare / Chapter 18 - Bestfriend or Bestfoe

Chapter 18 - Bestfriend or Bestfoe

Bulan purnama kian meninggi dan perlahan bergerak ke arah Barat. Tenggelam dan memunculkan mentari dari arah Timur dalam beberapa jam lagi. Angin terus berhembus dengan kencangnya. Menerbangkan daun-daun kering yang bertengger lemah di setiap ranting pepohonan. Ranting-ranting tajam pun mencuat setelah daun-daunnya hilang tersapu angin malam.

Jalan Thomas melambat, bertolak belakang dengan mengencangnya angin yang bertiup. Ia menarik resleting jaketnya ke atas sampai habis lalu memeluk tubuhnya erat. Ia tidak menyangka kalau angin malam itu akan sedingin ini, melebihi suhu tubuhnya yang memang sudah dingin.

Kepalanya terus menunduk dan tangan kanannya menyoroti jalan yang ia lewati dengan senter sambil mempertajam telinganya untuk menangkap suara Lizzie yang kian menghilang.

Tiba-tiba saja Thomas menabrak sesuatu di depannya. Ia langung berhenti dan melihat siapa yang menghalangi jalannya.

Thomas terbelalak sambil berjalan mundur beberapa langkah menjauhinya.

"Thomas..."

Makhluk itu menyebut namanya. Mengeluarkan suara berat dan dalam. Makhluk itu, makhluk yang sama dengan makhluk yang ditemui Chip di ruang tamunya. Makhluk bersosok pemuda dengan tubuh tercabik dan kedua tangannya yang hilang. Pemuda yang tewas karena diterkam hewan buas.

Thomas terus berjalan mundur sambil mengarahkan senter ke makhluk itu. Sedangkan makhluk itu terus menghampirinya. Ia tidak tahu mengapa makhluk itu terlihat marah padanya.

"Apa?" Thomas mencoba memberanikan dirinya.

"Kalian... harus mati," ucapnya lambat. Saat sosok itu hendak berlari, tiba-tiba Alice muncul di depan sosok itu entah darimana.

(Alice?) batin Thomas.

(Alice??) Thomas menangkap suara Lizzie.

"Permisi, Tuan. Sepertinya ada kesalahpahaman," kata Alice ramah. "Bukan dia yang sudah membunuhmu, tapi adik kembarku." Alice sama sekali tidak terlihat ketakutan. "Aku sangat menyesal atas apa yang dia lakukan padamu, jadi kuharap--"

Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang menggema dari suatu tempat. Hembusan angin yang berlawanan dari yang semestinya muncul sesaat menerpa raga mereka.

"Suara apa itu?" Thomas waspada dengan suara dan hembusan angin dari arah kanannya.

"Dia..." pemuda itu teralihkan perhatiannya. Ia pun menyeret kakinya ke arah sumber suara itu.

"Thomas!" Panggilan Alice menyadarkannya dari lamunan.

Thomas terkesiap dan memandang Alice di depannya. Ia tidak mengerti dengan tatapan Alice sampai ia memberi tanda padanya untuk segera mendahului makhluk itu dan kembali mendengar Lizzie kalau-kalau ia berpikir kembali.

Thomas kembali melangkah sambil menaikkan tudung jaketnya. Ia melirik sesaat ke makhluk yang sudah tertinggal di belakangnya.

(Alice? Alice siapa? Apa yang terjadi padanya?)

(Alice in Wonderland. Tidak kusangka Kimberly masih menyukai film itu,) batin Thomas. Ia mencoba sekeras mungkin untuk tidak memikirkan Alice. Membuat Lizzie untuk tidak curiga padanya. Walau ia tahu rasanya akan sedikit sulit untuk tidak memikirkan sosok baik itu.

(Untunglah. Aku kira dia...)

Thomas kembali berhenti berpikir. Ia fokus untuk mendengarnya dan mengikuti arah suaranya.

(Bertemu dengan malaikat mautnya.)

"Malaikat maut?" heran Thomas. "Apa yang dia bicarakan? Hhh... dia benar-benar membingungkan," keluhnya. Bicara adalah satu-satunya untuk mengeluarkan apa yang ia pikirkan. "Tapi apa..." ia tidak melanjutkan ucapannya dan langkahnya sedikit melambat.

Rasa percayanya pada Alice, tiba-tiba saja goyah.

•••

Dengan mudahnya api menyebar dari tumpukan daun kering ke tumpukan lainnya. Angin yang berhembus menjadi penyebabnya.

Seorang pemuda tergeletak di atas tanah dengan jarak yang cukup dekat dari kobaran api di sebelahnya. Kalau ia tidak tersadar, api itu bisa saja menyentuhnya dan menghabisinya.

Tiba-tiba pemuda itu terbatuk. Kepulan asap yang memenuhi paru-parunya menyadarkannya. Indra perabanya merasakan hawa panas dan membuatnya sadar sepenuhnya. Ia pun berusaha dengan susah payah untuk bangkit. Ia juga mengambil sebuah kacamata yang terletak tak jauh di depannya. Lalu ia menyelipkan tungkai kacamata itu di kedua telinganya sambil bersandar ke sebuah pohon di belakangnya.

Kobaran api menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Ia menghela napas berat sambil memijat pelipisnya karena pening. Panik pasti ada, namun itu tidak terlalu ia pedulikan. Satu-satunya cara untuknya supaya ia bisa berpikir jernih dan keluar dari sana dengan sisa-sisa tenaga yang tak bisa dibilang banyak. Ia pun memejamkan matanya dan menenangkan pikirannya.

"Hallo, Chip,"

Sapaan dengan nada yang diayunkan membuatnya membuka mata dengan cepat.

Lizzie. Makhluk yang paling Chip benci. Ia sudah berdiri di depannya beberapa langkah sambil memegang sesuatu di belakangnya.

"Kau," desis Chip. Melalui sorotan mata, bisa dikatakan Chip sangat benci setengah mati padanya.

"Aku punya sesuatu untukmu." Lalu Lizzie mengeluarkan tangannya dan menunjukkan sepotong lengan atas sampai telapak tangan hangus padanya. Tangan itu terlihat menggenggam sesuatu dan tali yang menjuntai keluar dari kepalan tangan itu membuat Chip tahu kalau sesuatu itu adalah liontin Tessa. Ia juga tahu kalau tangan itu milik Ron.

Lizzie menghampirinya dan berjongkok di depan kaki Chip. Ia menjulurkan tangannya dan memberikan tangan itu.

Chip bergidik ngeri melihat tangan hangus yang perlahan masih mengeluarkan darah itu. Tapi ia memberanikan diri untuk mengambil liontin itu dari genggamannya.

"Aku kira kau juga mati tadi," ucap Lizzie. Namun Chip tidak mempedulikan perkataannya, ia cukup sibuk untuk melihat kondisi liontin itu. "Hmm... apa mungkin karena kau spesial?" Lizzie berpikir sejenak, yang tentunya akan didengar Thomas. "Baiklah, akan aku buat kematianmu terlihat spesial." Ia tersenyum jahat sebelum ia berdiri dan berlari ke belakangnya sambil melempar asal tangan itu. Ia menembus kobaran-kobaran api dan hilang dari pandangan.

Chip kembali memandang depan yang seharusnya Lizzie masih berjongkok dan melihatnya. Tapi ia menghilang secara misterius. Chip menggunakan kesempatan ini untuk segera pergi dari sini dan meminta bantuan.

Ia berusaha berdiri sambil berpegangan pada pohon di belakangnya. Kedua kakinya benar-benar terasa tidak kuat untuk menopang tubuhnya, ditambah kaki kirinya yang terkilir membuatnya pesimis untuk bisa berlari cepat menuju tempat singgahnya. Ia melihat tongkat kayu tepat di depannya. Ia pun segera mengambilnya untuk membantunya berjalan.

Dan perlahan, ia melangkah keluar dari tempat itu.

Baru beberapa meter berjalan, Chip sudah menemui makhluk halus. Sosok wanita berseragam kantoran dan berambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. Ia tampak memperhatikan Chip yang terus berjalan dengan susah payah melewatinya. Lalu tak jauh di depannya lagi, ia kembali melihat makhluk halus yang berbeda. Sosok pria tua berjanggut putih dengan banyak kerutan di wajahnya. Juga ada botol minuman kaleng yang tertancap di mata kanannya. Sosok itu lagi-lagi menatap datar ke arah Chip yang bersusah payah untuk melewatinya.

Chip nampak tak peduli, namun dalam hati ia waspada dengan kedatangan arwah penasaran itu yang terus memperhatikannya. Untung saja arwah itu hanya memperhatikannya, kalau sampai mencelakainya bisa-bisa Chip pulang tanpa raga.

Tiba-tiba saja ia mendengar suara tawa yang menyeramkan. Suara itu menggema di setiap tempat dan membuat siapa saja yang mendengarnya merinding ketakutan. Chip tahu sekali kalau tawa itu dimiliki Lizzie yang haus akan darah dan obsesi akan korban yang berjatuhan.

Arwah kakek itu tatapannya menjadi tajam setelah mendengar tawa yang menggelegar itu. Lalu ia melayang melewati Chip. Ia seperti ingin menghampiri sumber suara itu.

Sebenarnya Chip tidak ingin menoleh ke belakangnya, ke arah sosok kakek itu pergi. Namun suara ketukan sepatu kuda sekaligus suara kikikannya, membuat ia harus menoleh ke belakang dan melihat apa yang terjadi.

Dari kejauhan, terlihat sebuah siluet kuda yang sedang mengejarnya.

"Sial!" Chip kembali menghadap ke depan dan mulai berlari tertatih dengan tongkat melawan rasa sakit.

Kali ini ia semakin panik dan ketakutan. Selama menjadi indigo yang sudah sering melihat makhluk halus mengerikan dan berinteraksi dengan mereka, ia tidak pernah merasa sangat ketakutan seperti malam bulan purnama ini. Pasalnya, ini bersangkutan dengan nyawa dan bisa saja menyebabkan trauma hebat.

Tiba-tiba saja suara ketukan sepatu kuda itu semakin terdengar jelas. Menengok ke belakang membuatnya semakin buruk. Kuda yang tadi ditungganginya, balik mengejarnya. Hewan malang itu juga terlihat ketakutan. Dibelakangnya, Lizzie mengejar. Mengiring kemana kuda itu berlari mengikuti arah Chip pergi.

Akhirnya Chip tidak bisa menghindar dari benturan kuda kelabunya dan terpental cukup jauh. Ia berguling di turunan landai dan berakhir di sebuah pohon besar. Kepalanya pening dan mulai mengeluarkan darah. Kacamatanya hilang saat tabrakan, membuat ia tidak bisa melihat jelas kalau kuda itu masih ingin menabraknya lantaran Lizzie terus mengejar dan menakut-nakuti kuda itu. Wujud kuda itu semakin dekat dan semakin jelas. Sekarang ia pasrah dengan keadaan.

Tapi tiba-tiba saja, seseorang mendorong kuda itu dari arah samping. Dorongan itu sangat kuat, cukup membuat kuda itu oleng dan keluar jalur. Akhirnya hewan itu lari melewati Chip. Lizzie pun berhenti mendadak.

Chip menutup setengah matanya menggunakan tangan karena silau dengan cahaya senter yang menyorotinya oleh Si Penolong itu.

"Siapa yang sudah mencelakaimu, Chip?" tanya si Penolong itu sambil meletakkan senternya di atas tanah lalu membantunya untuk duduk bersandar pohon di belakangnya.

Chip kenal sekali suara itu. "Thomas?" Suaranya terdengar serak. Ternyata memang benar itu Thomas. Ia datang di waktu yang tepat.

Melihat keadaan Chip yang sobek di bagian bibir dan kepala juga memar di pipinya, membuat Thomas geram dengan sosok yang sudah mencelakainya. Walau ia-tahu-siapa-itu.

Chip tidak menjawab. Ia memandang Lizzie yang nampak tak percaya melewati bahu Thomas. Ia pun berbalik badan, mengikuti pandangan Chip.

"Lizzie? Apa yang kau lakukan di sini?" kata Thomas tak percaya. Ia terlihat untuk membiasakan diri dengan wajah Lizzie tanpa cadar.

"Aku... Aku hanya," ia tergagap melihat kedatangannya. Thomas pun mencoba memahami keadaan dari apa yang sudah terjadi. Walau ia sudah menerka kejadian itu saat mendengar pikiran Lizzie.

"Dia yang mencoba membunuhku. Dia juga yang sudah membunuh Tessa dan Ron!" teriak Chip sambil menunjuk ke arah Lizzie. Ia terbatuk. Tenggorokannya tidak mendukungnya untuk berteriak.

"Aku tidak mungkin melakukan hal keji itu! Justru aku ingin menyelamatkan kalian!" Lizzie membela diri.

"Hei! Jangan sembarangan! Aku melihatnya sendiri. Kau menakut-nakuti kuda yang Tessa tunggangi sampai mereka berdua jatuh ke jurang. Kau menarik cincin tuas Ron. Bahkan kau juga berencana membunuhku, kan?!" protes Chip.

"Tessa terjatuh ke jurang karena serangan segerombol serigala. Kudamu terkena dampaknya. Jadi aku berusaha mengejar kudamu dan menyelamatkanmu." Lizzie membual dengan nada yang meyakinkan. "Soal cincin tuas itu, aku menemukannya di semak belukar. Aku tidak tahu kalau itu cincin tuas granat, ok," nadanya sedikit menurun.

Chip hendak bangun dengan susah payah dan menghampiri Lizzie. Tapi Thomas mencegatnya. "Apa yang kau lakukan? Kau tidak percaya denganku? Bukannya kalau kalian saling terikat, kau juga bisa membaca pikiran monster itu?" Chip melontarkan pertanyaan yang cukup mengena.

(Ayolah Thomas! Jangan dengarkan dia! Percaya padaku! Chip tidak pantas menjadi sahabatmu. Cukup aku saja!)

Thomas mendengar dengan jelas jeritan-jeritan Lizzie itu. Ia ingin sekali menutup kedua telinganya. Namun ia urungkan niatan itu.

"Thomas!" panggilan Chip menyadarkannya.

"Aku mendengarnya sekilas," ucap Thomas.

(Apa? Dia mendengarku?)

"Kau tahu apa yang ia bilang?" lanjutnya, "Lizzie berkata, 'menjauhlah, jangan kembali lagi. Hilanglah dari muka bumi, untuk sebuah keselamatan.'" Thomas mengambil kalimat yang pernah Lizzie pikirkan itu. Walau ia ubah-ubah beberapa katanya. "Aku tidak terlalu mengerti ucapan yang diulang-ulang itu sebelum mendengar penjelasannya"

"Kau tidak mengerti apa yang ia maksud, Thomas," balas Chip. "Kenapa kau tidak percaya denganku?" katanya pelan. "Aku sahabat kecilmu."

Thomas terdiam cukup lama. Ia kembali mendengar apa yang Lizzie pikirkan. Mendengar hasutan-hasutan setan itu lagi yang bisa mengubah semua pandangannya. Lalu ia menjawab. "Kau tidak banyak membantuku dan aku merasa kau yang sekarang ini berbeda dengan kau yang dulu."

"Tidak masuk akal!!" bentak Chip. Cukup membuat Thomas terkesiap. "Jangan termakan hasutannya!" Chip menyadari mata hitam Thomas yang mulai kemerahan itu. Dan ia juga merasa ada aura-aura hitam tepat di belakang Thomas. Aura jahat itu seakan berbentuk seperti kelinci bermata merah. "Sebaiknya kau jauh-jauh dari monster itu dan segera pergi dari sini." Chip menggenggam tangan dingin Thomas dan hendak menariknya sambil berusaha berbalik badan.

Tapi Thomas mempertahankan tempatnya. Ia terlihat tidak peduli dengan tangan Chip yang bergetar menggenggamnya dan menariknya lemah. Lalu ia melihat batu tajam di sebelah kakinya.

"Kau sebut Lizzie itu monster, sama saja kau menyebutku monster."

Chip tersentak mendengarnya. Ia pun kembali berbalik badan menghadap Thomas. Ia tidak menyangka kalau Thomas akan tega meletakkan batu tajam di atas tangannya sebagai bentuk ancaman. Ia pun melepas tangan Thomas dan ia kembali jatuh terduduk cukup cepat bersandar pohon. Ia meringis karena punggungnya tergores kulit kayu yang mencuat.

Napasnya tersengal. Tenaganya sudah habis tak tersisa. Bahkan untuk berdiri pun ia sudah tak bisa. Kehilangan sosok Thomas yang ia kenal, membuat mentalnya hancur. Walau ia tahu sebenarnya Thomas sudah tidak ada di dunia ini. Ya, memang sudah tidak ada lagi bagi Chip.

"Baiklah. Terserah kau akan berpihak pada siapa," gumamnya. "Tapi jika kau memang berpihak padanya, lebih baik kau enyah dari pandanganku! Anggap aku orang asing bagimu. Tinggalkan aku di sini dan jangan peduli jika aku mati di sini." Itu kata-kata paling tajam yang pernah Chip keluarkan untuk Thomas. "Dan aku sendiri juga tidak peduli kalau Lizzie akan mencelakaimu nanti," tambahnya.

Thomas sangat tidak peduli dengan ucapan itu. Bisa dilihat dari ekspresinya yang dingin dan tatapannya yang kosong. Chip memang sangat benci pada Thomas saat ini, tapi jika Chip bisa mendengar pikirannya mungkin ia akan berpandangan lain.

"Lizzie... Tidak akan mencelakaiku karena dia sudah sering menolongku," ucap Thomas.

Apa ia tak salah dengar? Thomas benar-benar membelanya! Betapa senangnya Lizzie mendengar hal itu. Betapa mudahnya ia termakan ucapan setannya sampai-sampai bisa memutus tali persahabatan mereka. Lalu ia menghampiri mereka berdua. "Thomas," panggilnya pelan.

"Sebaiknya kita pergi," saran Thomas.

Lalu ia melewati Chip yang masih tertunduk dalam, syok dengan kenyataan.

Lizzie berjongkok di depan Chip yang keadaannya jauh dari kata baik. Lalu ia meletakkan tangan kirinya di bawah dagu Chip dan mengangkatnya untuk menatapnya.

"Hey, kau dengar ucapannya, kan?" kata Lizzie.

Chip menatapnya penuh benci. Kesadarannya yang mulai turun membuatnya tak bisa berontak.

"Kau memang tidak cocok menjadi sahabat Thomas. Dia sudah menjadi sahabatku sekarang dan aku benci dengan orang yang sudah melukai sahabatku!!" bentak Lizzie.

Lalu ia mendekatkan wajahnya. Dengan jarak yang sedekat itu, Chip bisa mencium bau daging busuk yang tak terkira.

"Aku tidak akan mengingkari janjiku. Sudah aku bilang, aku akan mencicipi bumbu untuk makanan chip ku nanti," gumamnya sambil tersenyum jahat.

"Apa yang--"

Belum saja Chip menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja sesuatu keluar dari mulut Lizzie dan menyambar lidahnya cukup cepat. Kedua mata Chip terpejam dan mulai meronta minta dilepaskan. Ia tidak tahu apa yang baru saja masuk ke mulutnya dan memainkan isinya bahkan menekan-nekan luka di lidahnya sampai menyentuh ke pangkal lidah. Tapi hal itu sudah membuatnya untuk mengeluarkan isi perutnya karena ia merasakan hal yang sangat tidak enak dari benda itu.

Chip meraba permukaan tanah di sampingnya dan berharap ia bisa menemukan sebuah benda keras. Setelah ia menemukannya, ia ayunkan batu itu ke arah Lizzie. Tapi batu itu malah menembusnya, bukan menggoresnya. Dan disaat yang sama, mulut Chip sudah kembali bebas dan hendak memuntahkan isi perutnya. Tapi tidak ada yang bisa di keluarkan karena belum ada makanan yang masuk sejak tadi.

"Lizzie!" Panggilan Thomas yang cukup keras, membuatnya kembali berdiri.

"Iya aku akan ke sana," sahut Lizzie. "Darah golongan O enak juga," ujarnya sambil menjulurkan sedikit lidahnya--bisa dikatakan segumpal daging yang berwarna merah kehitaman dengan bentuknya yang tak karuan, jauh dari bentuk lidah pada umumnya--untuk membersihkan sisa-sisa darah di tepi mulutnya.

Wajar saja Chip rasanya ingin memuntahkan seluruh isi perutnya karena benda menjijikan itu baru saja masuk dan bermain-main di dalam mulutnya.

Lalu Lizzie meninggalkan Chip yang terbujur lemas dan menghampiri Thomas.

Saat dirasa Lizzie dan Thomas berjalan cukup jauh meninggalkannya, tiba-tiba saja ia melihat sosok perempuan bergaun putih di depannya. Chip tahu sekali sosok itu dan ia juga menaruh benci padanya.

(Astaga sekarang apa lagi!) erang Chip dalam hati.

"Kau! Apa yang sudah kau ucapkan pada Thomas secara privasi itu?!" geram Chip. Entah kekuatan darimana ia bisa berteriak dan mengeluarkan amarahnya lagi. "Kau tidak ada bedanya dengan Lizzie. Seharusnya aku tidak mempercayaimu dari awal." Nadanya memelan karena tenaganya kembali melemah. "Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?"

Alice menghampiri Chip sambil tersenyum miris. Lalu ia berlutut di depannya. "Sebelumnya, aku sangat berterima kasih padamu karena tidak bertanya pada Thomas tentang keberadaanku di depan Lizzie," ucapnya lembut.

Chip terkesiap. Bukan karena suaranya yang lembut itu, tapi karena ia sama sekali tidak terpikirkan tentang Alice sebelumnya saat bersama Thomas. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi sebenarnya?" heran Chip.

Alice mendekatkan wajahnya ke telinga Chip. Ia membisikkan sesuatu sampai-sampai ekspresi Chip berubah drastis.

•••

Saat mereka sudah jalan sejajar dan Lizzie kembali mengenakan cadarnya yang ia selipkan di pakaiannya, "Apa kau yakin akan meninggalkannya sendirian?" tanya Lizzie dengan nada iba yang dibuat-buat.

"Aku melihatnya sudah mengirim sinyal SOS," jawab Thomas. "Itu sebabnya kita harus segera pergi dari sana"

"Mungkin aku akan menangis kalau jadi Chip," gumam Lizzie sambil mengenakan sarung tangannya. "Wow kau kejam juga. Sudah 2 orang yang menganggapmu teman tapi kau malah mengkhianatinya, bahkan sahabat baikmu sendiri," katanya dengan nada tinggi. "Tapi tak apa. Masih ada aku di sini." Lizzie menunjuk bangga dirinya sendiri.

Thomas mendengus dan terlihat cuek.

"Tapi apa benar, kau bisa mendengar pikiranku?" kata Lizzie hati-hati.

"Tidak juga. Sepertinya. Sedikit mendengar. Mungkin"

"Hah?" bingung Lizzie. "Jadi hanya sedikit?" Ia mencoba mengambil kesimpulan.

Thomas mengedikkan bahu. "Bisa dibilang begitu," ujarnya. "Kau bisa membaca pikiranku, kan?"

"Iya. Sebenarnya hanya mendengar apa yang kau ucapkan dalam hati," ralat Lizzie. "Kalaupun kau juga bisa mendengarku, kau hanya mendengar apa yang aku batinkan," tambahnya. "Tapi ya, mungkin sama saja seperti membaca pikiran."

"Apa ada saatnya kau tidak mendengarku?" tanya Thomas untuk memastikan.

"Tidak. Aku selalu mendengarmu"

Thomas mengangguk lambat tanda mengerti. "Aku ingin cepat-cepat bertemu dengannya"

"Siapa? Pasti Kimberly," kata Lizzie yakin.

"Nataline," jawab Thomas.

"Nataline? Tumben sekali," kaget Lizzie. Ia tidak menyangka kalau nama Nataline keluar dari mulut Thomas begitu saja.

Thomas tidak menjawab. Ia terus melangkahkan kaki tanpa melihat Lizzie di sebelahnya sama sekali.

"Thomas?" Lizzie sama sekali tidak mendengar apa yang sedang Thomas batinkan. Ia diam. Sangat-sangat diam. Menumbuhkan rasa curiga Lizzie pada Thomas. "Apa kau baik--" ucapan Lizzie terpotong saat ia melihat sosok mengerikan tersenyum lebar dengan kedua mata putihnya tanpa iris mata yang berjalan menyamping di sebelah Thomas dan mengikuti mereka. Tiba-tiba sosok itu melemparkan kapak yang digenggamnya ke arah mereka.

"Merunduk!!!" Dengan sigap Lizzie mendorong kepala Thomas ke bawah. Lalu ia cepat-cepat menyentuh keningnya dan mengubah mereka menjadi sosok kelinci yang berlari tanpa arah.

(Aku ingin mengakhiri semua ini... Tanpa bertemu dengan Kimberly)

Kelinci itu terus berlari dari kejaran arwah yang mengancamnya. Terus berlari mencari tempat persembunyian. Lizzie memandu Thomas untuk mengambil arah dengan caranya sendiri. Sampai-sampai ia tidak mendengar apa yang terakhir Thomas ucapkan dalam hati.