2. Ayra Denata
Ayra memandang sebuah amplop coklat dan pria dihadapannya secara bergantian. Detik berikutnya ia menghembuskan nafas berat. "Ini... serius buat aku kak?" tanya Ayra memastikan.
Pria itu tersenyum dan mengangguk kecil. Dia mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Ayra membuat sang empu mendengus. "Kapan kakak pernah bohongin kamu? Hari ini kerja kamu di caffe bagus, kakak suka sama semangat kerja kamu. Makanya kakak kasih kamu bonus. Lumayan bisa kamu pakai beliin hadiah buat anak panti."
"Padahal kakak udah sering banget kasih aku bonus. Aku jadi nggak enak sama temen-temen aku yang lain, kak."
Ayra menunduk lesu. Dia tak berbohong. Di antara banyaknya pelayan di caffe tempatnya bekerja, hanya dia yang paling sering mendapat bonus. Itulah mengapa banyak pelayan caffe yang membenci dirinya.
"Udah nggak usah permasalahin itu. Lagian yang gaji kamu itu aku, bukan mereka."
"Tapi--"
"Stop! Sekarang kamu pulang, nanti ditungguin sama anak panti." potong pria itu cepat. Dia hanya ingin membuat Ayra bahagia, apa itu salah?
Tanpa protes lagi Ayra mengangguk. Dia berpamitan dengan pria itu dan melangkah keluar dari caffe. Tak bisa dipungkiri jika dia bahagia karena bisa membelikan hadiah untuk anak-anak panti.
Dia Ayra Denata, gadis cantik dengan senyum manis yang selalu menghiasi wajahnya. Dia tinggal di panti asuhan sudah sejak ia masih bayi. Meskipun tak pernah bertemu kedua orang tuanya, Ayra tetap bersyukur karena memiliki bunda pemilik panti yang memberinya kasih sayang berlimpah.
Pria tadi adalah pemilik caffe tempatnya bekerja. Umur pria itu hanya satu tahun lebih tua darinya. Pria itu selalu baik pada Ayra. Entah itu di sekolah, di caffe, atau dimana pun. Bahkan dia sampai menganggap pria itu sebagai kakaknya.
Tin... tin...
Suara klakson yang memekakkan telinga itu membuyarkan lamunan Ayra. Menolehkan kepalanya ke jalanan, Ayra sontak membulatkan matanya. Di sana, di tengah jalan, seorang anak kecil menatap truk yang melaju kencang dari arah berlawanan.
Entah karena shock atau bagaimana, anak kecil itu hanya berdiam diri bak patung. Dengan gesit Ayra berlari dan mendorong anak kecil itu ke pinggir jalan. Namun naasnya, malah dia yang tertabrak truk itu hingga terpental saat belum sempat menyingkir.
Samar-sama dia mendengar suara tangis anak kecil tadi dan derap kaki mendekatinya. Sebelum matanya benar-benar terpejam dia dapat melihat banyak orang mengelilinginya.
Beginikah akhir hidupnya?
Di saat dia belum bisa bertemu kedua orang tuanya?
Ayra tertawa miris dalam hati. Akhirnya dia lahir dan pergi dengan kesepian. Tanpa ada kedua orang tua disampingnya.
Selamat tinggal kesepian.
Hingga pandangannya menggelap dan suara berisik disekelilingnya hilang. Kedua bola matanya mulai terpejam seiring kesadarannya yang mulai menghilang.