Jika bukan karena mengambil kue pesanan bibi Anna, Lylia tidak akan mau keluar rumah malam-malam begini. Waktunya jadi terbuang sia-sia dan dia jadi tidak bisa menikmati kue jahe sekaligus segelas cokelat panas yang ayahnya buat di atas meja.
Lagipula ini malam tahun baru, mana ada kendaraan atau angkutan umum yang lewat.
Huft, ia mendengus kasar. Merapatkan mantelnya hingga menutupi hampir sebagian kepala.
Jalanan kota Sus terlihat lengang di depan matanya. Bahkan sudah hampir satu jam ia berdiri menunggu bus di terminal yang hampir roboh ini. Belum ada satu kalipun tanda-tanda bus atau kendaraan lain yang lewat.
"Cih!"
Lylia berdecih. Menatap butiran salju yang mulai turun satu persatu di atas telapak tangannya.
Kenapa hari ini sial sekali? Batinnya pelan. Ia sudah lama menunggu dan kini salju pertama di bulan Juni juga ikutan turun.
Astaga, bagaimana dia akan pulang. Pasti semua jalanan akan tertutup salju dan kendaraan benar-benar tak ada yang lewat.
Harusnya, sebelum pergi Lylia melihat jadwal cuaca dulu hari ini. Tapi gadis itu terlalu terburu-buru hingga melupakan peringatan ayahnya tentang cuaca malam ini.
"Luar biasa!"
Ia menendang kaleng minuman bersoda hingga terpantul dan mengenai seseorang. Tidak-tidak, itu lebih mirip sekelompok orang.
Padahal Lylia mengira jika dirinya sendiri yang terjebak di tengah badai salju. Nyatanya ada sekelompok orang yang ia lihat tak jauh dari tempatnya berdiri.
Mereka berlima, berpostur kekar berisi dengan badan lebih tinggi lima kaki.
Anehnya mereka melihat Lylia lapar dari ujung gang dekat terminal. Itu membuat Lylia bergidik dan merasa tak aman lagi.
"Hai gadis kecil, apa kau perlu teman untuk menunggu bus?" tanya salah seorang dari mereka.
Lylia masih diam di posisinya. Ya, sebisa mungkin gadis itu tersenyum meski terlihat sekali jika dia begitu memaksakannya.
"Kurasa tak akan ada bus yang lewat. Bagaimana jika kau menginap di tempat kami saja?" tawar pria bertindik di samping kanan Lylia.
Rasanya saat mereka menawarkan untuk menginap ada sesuatu yang tersembunyi di balik ucapannya.
"Tidak perlu paman, jika tidak ada bus aku bisa jalan kaki kok!" tolak Lylia halus.
Ia mulai beranjak pergi dari tempat itu namun tangannya tiba-tiba dicekal dari belakang.
"Kenapa terburu-buru sekali? Lagi pula ini masih sore, bagaimana jika kita bermain sesuatu dulu?" sergahnya.
Hidung Lylia berkerut. Dia semakin merasa tak beres dengan kelakuan kelima orang ini. Mereka seperti menahannya untuk pergi dan apa tadi, bermain?
Anak TK saja tahu, permainan apa yang tak bisa dimainkan bersama orang dewasa kecuali sesuatu yang mengerikan itu.
"Tidak!" tolak Lylia cepat.
Ia langsung menghempaskan tangannya kasar hingga cekalan itu terlepas.
Seketika raut wajah mereka yang tadinya ramah berubah. Mereka menatap Lylia tajam sembari tersenyum menjijikkan.
"Ouh, jadi kau suka kami bermain kasar? Baiklah kalau begitu. Tangkap gadis ini dan seret dia ke markas! Malam ini kita akan bersenang-senang dengan satu gadis," perintah si pria bertindik pada keempat pria yang lain.
Lylia langsung memundurkan langkah lantas berlari sejauh mungkin. Ia bahkan melemparkan pesanan Bibi Anna sebagai senjata ke arah mereka.
Masa bodo dengan kue. Lylia berpikir dia harus selamat malam ini.
• • •
Salju semakin deras meluncur turun. Semakin lama, semakin menutupi area jalan. Sekarang langkah kaki Lylia juga terasa begitu berat akibat tumpukan salju yang menghalangi langkahnya.
Di belakang, kelima pria itu masih mengejarnya. Mereka bahkan mengancam akan menembak kaki Lylia jika gadis itu tak juga berhenti berlari.
Tapi Lylia sama sekali tak menggubris ucapan mereka. Gadis itu tetap berlari lurus sampai pelariannya harus terhenti karena jalan buntu.
"Sial! Sejak kapan ada perbaikan jalan di sini?" gerutunya pelan.
Gadis itu langsung memutar otak cepat. Menelisik ke sana kemari, mencari opsi lain. Tak sengaja matanya melihat sebuah plang di kiri jalan bertuliskan 'Sairus Forest'.
Ah, hutan Pinus itu. Lylia tahu, karena ia pernah melihatnya di televisi saat media memberitakannya. Tanpa menunggu lagi ia langsung berlari masuk ke dalam hutan.
"Kuharap orang-orang itu menyerah dan tak mengejarku lagi," ujar Lylia pelan.
Dia sudah begitu lelah untuk berlari lagi. Napasnya terdengar begitu ngos-ngosan dan peluh sudah membanjiri pelipisnya. Langkahnya juga tampak sempoyongan.
Sialnya, mereka tak berhenti mengejarnya sampai di sini. Kelima orang itu terlihat lagi di belakang tubuhnya sembari tertawa terbahak-bahak.
"Apa kau sudah selesai bermain Tom and Jerry, gadis kecil?" Mata Lylia melotot saat mendengar suara itu.
Entah mengapa kakinya seakan terpaku di permukaan bumi.
"Apa aku akan kehilangan keperawananku sekarang? Oh God, please help me!" teriak Lylia.
Ia masih mencoba kabur namun bahunya sudah lebih dulu di tarik dari belakang. Ya, orang-orang itu berhasil menangkapnya. Mereka tersenyum penuh kemenangan seperti telah mendapatkan intan dan berlian.
Berbeda dengan Lylia yang terlihat berkaca-kaca dan hampir menangis sesenggukan.
"Kumohon, jangan lakukan apapun padaku!" pintanya pilu.
Lylia menyatukan dua tangannya di depan dada dan menatap sekumpulan pria itu memelas. Dia berharap mereka akan lupa dengan tujuannya dan melepaskan dirinya.
Bukannya kasihan, pria bertindik itu justru mendorong tubuh Lylia sampai jatuh tersungkur di bawah tanah.
"Kau pikir aku akan melepaskanmu? Jangan mimpi gadis kecil! Aku sudah susah payah mengejarmu sampai di sini. Bagaimana jika kita semua melakukan hal itu di tempat ini saja?" tukas pria bertindik yang langsung di jawab anggukan serempak keempat orang lainnya.
Lylia ketakutan di tempat. Ia ingin berteriak meminta tolong pada siapapun juga saat ini, namun suaranya pasti tidak akan terdengar sampai keluar.
Pria bertindik itu mulai berjongkok dan mendekati dirinya bersama keempat pria yang lain. Itu membuat Lylia ketakutan setengah mati. Hanya menutup mata yang bisa Lylia lakukan sembari berdoa agar ada orang yang mau menolongnya.
Saat tangan mereka dirasa mulai menjamah bagian tubuh dan melepaskan satu persatu kancing bajunya. Lylia mendengar suara teriakan salah satu dari mereka, bersamaan dengan suara geraman serigala lapar.
"Akh, bos! Tolong aku!" teriak pria berambut cepak di dekat Lylia. Tangan kirinya digigit serigala berbulu cokelat yang tiba-tiba melompat keluar dari semak-semak.
"Brengsek!" maki pria bertindik.
Ia begitu kesal karena kesenangannya diganggu oleh auman serigala tadi. Tak hanya itu rupanya mereka semua sudah dikepung 5 ekor serigala dari berbagai arah yang siap menerkam mereka kapan saja.
Lylia yang kebetulan terdesak di antara pohon dan bisa melarikan diri. Memilih untuk menjadikan kesempatan ini sebagai pelarian. Gadis itu sungguh tak perduli dengan teriakan kesakitan mereka atau tajamnya ranting-ranting tanaman liar yang mulai menggores lengan dan kakinya.
Lylia berlari semakin masuk ke dalam hutan, kemudian menghilang di telan rimbunnya pepohonan.
"Kurasa ini sudah begitu jauh dan aku tak tahu lagi harus kemana?" monolog Lylia.
Tenaganya benar-benar terkuras habis saat berlari. Ia bahkan tak mempedulikan tubuhnya yang terluka dan hampir setengah telanjang.
Rasanya gadis itu akan mati saat ini juga. Namun, secercah harapan kembali muncul saat matanya tak sengaja melihat sebuah bangunan tua tak jauh dari tempatnya berpijak.
"Mansion?" tanyanya.
Alisnya sedikit berkerut mendapati sebuah mansion tua terbengkalai di tengah hutan seperti ini.
"Tapi, mansion milik siapa?"