Dievo seakan tidak kehabisan cara untuk membuat Vanya melukiskan kebahagiaan di wajahnya. Dengan memendam kerinduan yang bergejolak di dalam hatinya, Dievo seolah tidak mampu menunda waktu untuk segera menemui kekasihnya selepas kembali dari sekelumit kesibukannya. Rona bahagia terpancar dari wajah tampannya, seakan sinar matahari yang begitu menyilaukan mata tidak mampu menghentikan niatnya untuk segera menghujani berbagai hadiah yang hanya akan diberikan untuk Vanya seorang.
Kini mobil berwarna keperakan itu sudah berhenti tepat di depan rumah Vanya. Dievo memutuskan untuk meninggalkan barang-barang yang menjadi hadiah untuk kekasihnya di tempat duduk belakang.
"Tok-tok-tok." Terdengar suara pintu diketuk. Vanya melangkah dengan gontai karena tidak mengetahui Dievo akan mengunjunginya. Vanya tersentak dan kedua matanya membulat ketika melihat sosok wajah Dievo kini sudah berada di depan pintu rumahnya. Bukan tidak suka melihat kekasih hatinya, melainkan perasaan bersalah yang kini menyelimuti relung hati dan membuat Vanya merasa gelisah.
"Apa aku terlalu lama pergi sayang? Sehingga kini kamu tidak memelukku?" tanya Dievo. Dia berbicara lembut dengan suara khas miliknya yang nge-bass.
"Maafkan aku. Aku hanya...," jawab Vanya. Dia nampak ragu melanjutkan kata-katanya.
Dievo tidak membiarkan Vanya untuk melanjutkan kegugupannya, dia tanpa ragu segera mencium bibir merah jambu milik Vanya yang begitu dia rindukan selama beberapa waktu lalu. Seakan tidak ingin melepaskan Vanya dari genggamannya, Dievo segera menarik Vanya hingga menuju ruang tamu untuk mendapatkan kebebasan meluapkan kerinduannya. Lengan kokoh itu kini mulai mengusap lembut pinggang Vanya dan mendekapnya dengan erat.
Vanya berusaha menenangkan diri dengan melupakan kejadian di waktu yang lalu serta menerima perlakuan cinta dari kekasihnya. Kini lengan mungilnya mulai melingkar di bahu Dievo. Merespon kecupan hangat yang mengukir kerinduan kekasihnya dengan bergairah. Tanpa ragu kini Vanya menggerakkan jemarinya ke arah bawah perut Dievo seraya ingin memberikan sentuhan cinta kepada kejantanan milik kekasihnya itu yang sudah dirindukannya. Seketika tangan kokoh Dievo menghentikan pergerakan jemari Vanya, seakan memberi tanda bahwa dirinya tidak diperbolehkan untuk menyentuhnya.
Vanya mematung melihat reaksi Dievo yang seakan menolak dirinya. Kecewa. Itu kata yang terlintas di benak Vanya dan membuat dirinya segera memalingkan tubuhnya karena perasaan malu ditolak oleh Dievo. Seakan tidak ingin memulai pertengkaran, Vanya dengan tenang berjalan menuju ruang dapur untuk mempersiapkan minuman serta makanan. Wajah yang tidak berekspresi itu tampak tidak mempedulikan Dievo yang sedari tadi memperhatikan dirinya.
Menyadari perubahan sikap terhadap kekasihnya dengan perlahan Dievo melangkah dan mendekati Vanya hingga kini tepat berada di belakang tubuh kekasih hatinya. Dievo melingkarkan lengan kokohnya di pinggang Vanya seraya berkata "Apa kamu marah sayang?" tanya Dievo. Vanya tidak bergeming. "Apa kamu kesal padaku?" Dievo meredam egonya dan mulai kembali bertanya untuk yang kedua kalinya. Vanya menjawab dengan singkat dan disertai dengan nada yang terdengar ketus. "Tidak!" Dievo tanpa ragu membalikkan tubuh mungil itu dan mendekapnya dengan erat serta berbisik lembut tepat di telinga Vanya. "Bukan aku tidak menginginkannya. Hanya saja aku tidak boleh melakukan hal itu padamu," ucap Dievo. Dia berbicara dengan sangat lembut.
Vanya terperangah dan mendorong perlahan tubuhnya untuk membuat jarak dengan Dievo. "Apa maksudmu?" tanya Vanya. Dia nampak tidak mempercayai alasan Dievo yang tiba-tiba berubah. Hingga kedua matanya membulat seakan tidak mengerti dengan kata-kata yang diucapkan oleh kekasihnya.
"Aku menginginkannya. Bahkan sangat ingin melakukannya. Tapi apa tidak sebaiknya kita melakukannya lagi setelah kita menikah sayang," jawab Dievo. Dia berbicara dengan hati-hati.
"Lalu bagaimana dengan yang sudah kita lakukan pada saat itu?" tanya Vanya. Terdengar suara Vanya yang bergetar karena menahan tangis.
"Aku menikmatinya. Sangat menikmatinya. Bahkan itu selalu terbayang dalam ingatanku dan membuat aku menginginkan dirimu sepanjang waktu Vanya," jawab Dievo seraya berusaha menenangkan kegundahan hati Vanya.
"Lalu apa yang merubah keinginanmu?" tanya Vanya. Dia kembali mempertanyakan hal itu dengan perasaan getir.
"Cinta. Aku mencintaimu dengan tulus hingga aku tidak mampu melukaimu," jawab Dievo. Kini jemari Dievo sudah menggenggam erat jemari Vanya.
Seakan tidak ingin Dievo melanjutkan kata-katanya, Vanya segera memotong dengan suaranya yang kini terdengar berbisik. "Tapi aku terluka!" ucap Vanya.
Dievo menarik lembut jemari Vanya untuk menghadap dirinya dan seketika membungkukkan tubuh kekarnya hingga merubah posisinya menjadi berlutut. Vanya terperangah melihat kekasihnya yang kini berlutut di hadapannya. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Vanya.
Dievo memberikan senyuman terbaiknya dan berbicara dengan lembut tanpa merubah posisinya yang masih berlutut. "Percayalah aku sangat menginginkan dirimu sayang. Aku melawan gemuruh hatiku untuk tidak melakukannya. Bukan aku tidak bergairah ketika bertemu denganmu. Tetapi aku hanya ingin berusaha menjadi kekasih yang baik, yang mencintaimu dengan tulus tanpa niat menguasai tubuhmu sebelum kita resmi menikah," jawab Dievo.
Vanya terdiam dan membeku mendengar kalimat yang diucapkan Dievo yang begitu terdengar sangat menjaga harga diri serta kehormatan Vanya. Seakan tidak mampu menahan gejolak di hatinya, kini air mata itu sudah membasahi pipi lembut Vanya yang merona.
Dievo segera merubah posisinya yang kini berdiri tepat di depan Vanya dan memeluk tubuh mungil itu dan membenamkan tangisan kekasihnya di dada yang bidang dengan kehangatan cinta.
Beberapa waktu kemudian.
Dievo meminta Vanya untuk menunggu karena harus kembali ke mobil untuk mengambil sesuatu. Vanya terperangah ketika melihat Dievo sedang membawa sebuah kantong berwarna keemasan yang tampak begitu elegan dan cantik. Vanya berusaha menyembunyikan rasa penasarannya dan memilih untuk tidak bertanya. Dievo memberikan senyuman yang begitu memukau hingga membuat pipi Vanya merona.
"Ini untukmu sayang," ucap Dievo seraya menyerahkan sebuah kantong kepada Vanya.
"Apa ini Dievo?" tanya Vanya. Tatapan matanya nampak bersinar.
"Ini sengaja aku beli karena aku langsung teringat padamu ketika pertama kali aku menemukannya," jawab Dievo.
"Ini semua...?" tanya Vanya. Dia tercekat dan kata-katanya menguap. Seakan tidak ada kalimat yang cocok untuk menggambarkan perasaan yang terkejut ketika melihat isi dari tas yang berwarna keemasan itu.
"Aku mohon jangan menolak pemberianku. Aku bukan tidak mau mendengarkan pendapatmu. Aku hanya ingin memberikannya untukmu sebagai rasa cintaku," jawab Dievo.
"Tapi, ini terlalu berlebihan Dievo," ucap Vanya. Dia terdengar berbicara dengan hati-hati.
"Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu sayang," ucap Dievo.
"Aku bahkan tidak bisa memberikanmu sebuah hadiah walaupun aku juga begitu mencintaimu," ucap Vanya. Dia nampak kecewa karena tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap kekasihnya.
Dievo menggenggam erat dengan hangat jemari Vanya seraya menenangkan. "Kamu tidak perlu melakukan hal itu. Karena cukup mencintaiku dengan sepenuh hatimu. Itu saja yang dapat membuat aku menjadi satu-satunya pria yang paling bahagia di dunia ini," ucap Dievo.
Vanya tidak dapat berkata-kata. Mulutnya seakan terkunci dan kini butiran air mata itu kembali membasahi pipinya. Dievo memberikan dada bidangnya untuk yang kesekian kalinya sebagai tempat bersandar Vanya ketika sedih maupun bahagia. "Aku mohon, ingatlah satu hal Vanya. Aku selalu mencintaimu di mana pun aku berada, dan aku selalu memikirkan dirimu sesibuk apa pun aku dengan pekerjaanku," ucap Dievo. Tangisan Vanya seketika pecah mendengar kalimat cinta Dievo yang begitu tulus.
_TBC_