Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Bersama Tetangga

🇮🇩Yuliana_Farida
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.9k
Views
Synopsis
Kisah ini dimulai sejak kedatangan tetangga baru, keluarga tanpa seorang kepala keluarga yang baru saja melakukan perpindahan rumah ke kampung yang didiami oleh gadis bernama Ayuni Distina bersama keluarga. Kedatangan keluarga itu menjadikan sebuah kebiasaan baru bagi Ayuni yang memiliki kehidupan abnormal dalam kehidupan sosialnya, hanya karena kemunculan seorang pemuda bernama Adimas Prasetya, hidup Ayuni perlahan kian menjadi normal bahkan merujuk pada kebiasaan abnormal lainnya jika perhatian yang selalu ia luangkan untuk pemuda itu tak jua terbalas.
VIEW MORE

Chapter 1 - Gadis Seorang Budak

"Ayu! Kenapa belum mencuci? Sapuan kamu gak ada bersihnya! Kamu mau punya suami brewokan, hah?!" Suara teriakan itu menggema di dalam sebuah rumah yang terlihat lebih besar dan luas dari rumah-rumah di sekitarnya.

Ayuni yang sedang memainkan laptop di dalam kamarnya dengan alunan musik pop andalannya mulai beranjak dari kasur dengan malas untuk menghampiri mamanya yang sepertinya telah selesai memasak di dapur sebelum ia pergi ke pasar untuk berdagang.

"Ya, kalau suami sekelas Shahru Khan, Ayu mah mau-mau aja, mi. Enggak apa-apa brewokan juga." sahut Ayuni dengan cuek namun segera diiringi dengan cengiran lebar saat melihat tatapan mata ambunya yang mengkilat tajam.

Maryam berkacak pinggang sejenak dengan sebelah tangan yang menunjuk ke arah Ayuni, kemudian ia mengasongkan satu per-satu gelas dan piring yang masih tergeletak di atas meja yang belum dibersihkan ke hadapan Ayuni. Menunjukkan kepada gadis itu betapa berantakannya isi di dalam rumah mereka. "Berani lawan mama?! Kapan lakunya gadis amburadul macam kamu kalau bersih-bersih rumah saja enggak becus?"

"Mi, Ayu itu sebenarnya laku. Cuma, ya Ayu itu pemilih mau laki-laki yang mana. Mami mau, kalau anak gadisnya itu salah pilih laki-laki?" Dengan panggilan andalannya kepada sang mama Ayuni melengos duduk di kursi seraya menyenderkan punggungnya santai.

"Kenapa ribut-ribut atuh? Masih pagi. Malu sama tetangga." sahut Herman, ayah Ayuni yang tengah meminum segelas kopi hangat di halaman depan rumah.

"Mami, tuh pi. Masa pagi-pagi gini udah nyuruh Ayu ini itu, kan Ayu masih ngantuk." rajuk Ayuni yang mulai mengadu kepada ayahnya dengan sebutan yang membuat kedua orang tuanya bergidik jijik. Berada di lingkungan hidup yang sederhana membuat Herman dan Maryam sangat gatal telinga ketika anaknya itu selalu mempelesetkan panggilan untuk mereka. Sering kali gadis muda itu memanggil mereka dengan panggilan 'mami' dan 'papi'.

"Sudah jam sembilan dan mama pantas marahin kamu, Ayuni! Cepat kerja lagi! Anak gadis kudu cekatan!" Geram Maryam yang sekali gibas menghempaskan Ayuni dari tempat duduknya.

"Kapan Ya Allah, kerja rodi ini hilang dari rumah Papi Herman!." ucap Ayuni dengan nada memelas membuat Marya mendengus kesal mendengarnya. Ia telah berdiri dari posisi duduknya dan hendak melenggang masuk kembali ke dalam kamar remang-remangnya.

"Awas aja kalau rumah masih berantakan sampai mama pulang dari pasar!" Maryam menekan Ayuni dengan nada ancamannya.

"Mi, kenapa enggak nyediain pembantu aja? ayah-kan punya banyak duit. Ayu enggak perlu kerja keras-keras begini. Ayu lelah, Ayu ternistakan, Ayu mau bebas kayak-"

"Kamu nyuci saja sekarang. Nanti ayah kasih imbalan." sela Herman dari depan membuat Ayuni membinarkan matanya dengan kerlap-kerlip cahaya ketika telinganya mendengar kata imbalan dari sang ayah.

Namun mata itu kembali meredup dan rona bahagia meluntur ketika mengingat dirinya harus melakukan pekerjaannya dulu yang selalu dirasa berat.

"Yah, tapi Ayuni malu sama tetangga kalau nyuci di sungai, mana airnya bau tikus mati pula. Gimana kalau kulit Ayu iritasi? Sia-sia sudah Ayuni bersemedi di kamar selama pandemi ini." keluh Ayuni yang begitu kesal karena sedikitnya persediaan air di rumahnya yang mengharuskan mereka mencuci pakaian di sungai yang tak jauh dari belakang rumahnya.

Namun sepertinya kali ini sang ayah tidak mempan dengan keluhannya. "Jangan banyak alasan!"

"Yaudah ... ayah! Dua ratus ribu!!"

****

"Kenapa harus sebanyak ini?! Padahal cuma cucian kemarin! Siapa, sih yang suka ganti-ganti pakaian?!" umpat Ayuni seraya mengambil air dari sungai ke dalam wadah besar yang berisi tumpukan pakaian menggunakan gayung yang dibawa dari rumah.

"Gak nyadar diri!" umpatnya kepada diri sendiri melihat tumpukan baju yang kebanyakan kepunyaan Ayuni.

Bukan tanpa alasan ia memiliki cucian yang selalu banyak setiap harinya. Ayuni selalu merasa gatal dan tidak nyaman jika harus memakan baju dalam waktu yang terlalu lama. Padahal ia tak punya kelainan dengan kulitnya seperti yang dikatakan oleh dokter spesialis kulit ternama di kotanya. Tapi entahlah, butuh sedikitnya lima setel pakaian yang harus Ayu ganti setiap harinya. Dan itu menjadi permasalahan tersendiri bagi keluarganya, terutama mamanya yang selalu mengeluh kelelahan mencuci sementara orang yang menyebabkan banyaknya cucian jarang sekali meringankan pekerjaannya.

Dan pagi ini merupakan kali pertama Ayuni turun ke sungai untuk mencuci pakaian. Biasanya sang mama yang selalu turun, atau orang suruhan mamanya untuk mencuci jika tak sempat, namun karena ingin memberikan didikan kepada anak gadisnya yang beranjak dewasa, mamanya ingin Ayuni menjadi gadis baik dan idaman nomor satu untuk para lelaki.

Ayuni mendengus pelan mengingat perkataan mamanha yang selalu membandingkan dirinya dengan Dini, teman sebaya yang merupakan tetangganya yang rajin dan selalu membantu kedua orang tuanya.

Halah! Ayuni tahu itu hanya kedok semata! Dia rajin cuma nyapu di depan rumah aja! Di dalamnya juga sama saja seperti Ayuni yang hobi rebahan di kasur!

"Eh, mau ngapain disana! Kalau mau berak jangan disana! Airnya dipakai nyuci, tahu?!" sergah Ayuni saat melihat seorang anak laki-laki berumur tiga tahunan berlari tanpa memakai celana mendekati tepian sungai dan berjongkok.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki dewasa datang dan mengawasi anak kecil itu sambil melihat Ayuni yang kini berdiri memandang sengit. "Terus, kalau disana, dia harus cebok pakai air bekas cucian kamu?" Tunjuk laki-laki itu ke arah selatan laju air sungai itu.

"Heh? Ya ... enggak gitu juga, agak jauhan sedikit!" bentak Ayuni yang merasa kehabisan sabar dengan tingkah kedua anak laki-laki berbeda usia itu.

"Dia sudah tidak bisa ditahan." lirik laki-laki itu kepada anak kecil yang masih jongkok di tepi sungai.

"Enggak bisa!" Ayuni membentak laki-laki tak dikenalnya itu dengan penuh emosi. berbeda halnya dengan respon si lelaki yang hanya diam menatap Ayuni.

Laki-laki itu menyeringai menantang Ayuni sebelum ia kembali melihat anak kecil yang sudah selesai dengan urusannya dan berdiri di dekatnya. "Udah kejadian, gimana?"

"Kamu ... sialan!" geram Ayuni tertahan setelah melihat anak kecil itu berjalan mendekat kepada laki-laki itu. Dan itu pertanda bahwa anak itu telah melaksanakan buang hajatnya. Dan Ayuni tidak ikhlas ridho sama sekali jika harus melanjutkan mencuci pakaiannya menggunakan air bekas beraknya. Bukannya bersih, pakaiannya malah akan menjadi bertambah kotor dan bau.

Ayuni-pun memilih berbalik meninggalkan laki-laki itu bersama cuciannya yang basah. Dirinya benar-benar emosi berdebat dengan laki-laki yang baru dilihatnya. Memangnya dia siapa? Seenaknya saja bertingkah di tempat umum seperti itu?! Mama! Ayuni tidak mau mencuci baju lagi!!

"Ayuni! Kenapa balik lagi? Dimana cucian kamu?" teriak sang mama yang hendak mengunci rumah sebelum berangkat ke pasar. Dengan wajah yang masih menunjukkan kekesalannya Ayuni berjalan mendekati mamanya dan meringis setengah menyesali perbuatan spontannya.

"Di sungai, mi."

"Kenapa ditinggal? Nanti kalau dibawa orang lain, bagaimana? Cepat selesaikan! Nanti jemur di belakang rumah!"

"Nyucinya di rumah aja ya, mi? Masa Ayuni nyuci di sungai yang airnya dipakai segala. Apalagi dipakai buangan berak."

"Jangan pakai air sumur dulu, baru aja musim hujan, airnya belum penuh. Sana nyuci lagi, nanti dikasih duit sama ayah."

Ayuni dengan malas berjalan menuju sungai kembali dengan perasaan dongkolnya. Ia kemudian berpapasan dengan seorang ibu-ibu yang sedang menyapu di halaman dan menyapa dirinya. "Eleuh si Neng Ayu makin putih aja sekarang mah. Bibi jarang ketemu sekarang makin geulis (cantik) aja." 'Emangnya Ayuni dulu hitam banget, ya? Jelek banget?!' jengkel Ayuni dalam hati meskipun dari bibirnya tertarik sebuah senyuman tipis.

"Permisi, bu." sahut Ayuni tanpa mau membalas pujian yang dicampuri dengan sindiran halus untuknya.

Memang saat kecil Ayuni memiliki kulit sedikit gelap yang menurun dari Ayah Herman, namun semakin beranjak dewasa, banyak perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Dirinya semakin rutin merawat tubuhnya setiap hari. Apalagi dikondisi sekarang, Ayuni semakin jarang keluar rumah dan melakukan aktifitas di luar rumah sehingga ia tak terpapar sinar jahat matahari. ha itulah yang membuat Ayuni semakin cerah dan bersinar. Namun tentunya perawatan tubuhnya yang berkualitas juga berperan penting dalam perubahan dirinya.

Hal itupun menjadi kebanggaan tersendiri hingga sebuah senyuman bangga terbit tanpa dicegah sambil lalu melewati wanita paruh baya tersebut.

Ayuni menghela nafas saat hendak menuruni tangga buatan menuju sungai. Seharusnya kegiatan mencuci di sungai yang pertama kalinya ini harus sesuai dengan harapannya. Menyuci dengan tenang tanpa hambatan apapun. Namun belum juga ia memulai, sebuah gangguan besar menghampirinya membuat ia sangat kesal dan meninggalkan cuciannya di pinggir sungai begitu saja.

Rasanya Ayuni ingin mencekik longgar anak kecil itu. Karena untuk laki-laki besar yang menemaninya itu, sungguh Ayuni tak berani. Tangan putih dan halusnya tak mau menjadi terluka hanya karena mencekik laki-laki keras itu.

Saat ini Ayuni berdiri di lokasi dimana ia menyimpan cuciannya terakhir kali. Ayuni merasa tak salah tempat, ia ingat dimana tadi ia menyimpan cuciannya. Tapi kini wadah beserta cuciannya itu tak nampak di depan matanya. Tidak mungkin jika pakaian itu hanyut begitu saja disaat volume air tidak begitu deras. Apa mungkin, pakaiannya diambil oleh makhluk tak kasat mata penunggu sungai ini? Ayuni merinding sendiri serta mengusap-usap lengannya memikirkan pendapat itu.

Bisa saja itu terjadi, mengingat beberapa bulan lalu ia pernah mendengar bahwa ada orang tua yang terseret ke dalam arus sungai saat sedang memancing. Dan jasadnya itu ditemukan dua hari setelahnya dengan keadaan sudah tak bernyawa.

Ya Allah! Kenapa Ayuni harus memikirkan hal mengerikan di tempat kejadian perkara? Ayuni menjadi takut sekarang karena saat ini ia tengah sendirian.

Ayuni menggeleng kepala. Ia berusaha mengenyahkan pemikiran tersebut. Ayuni harus berpikir positif. Mungkin saja ada orang iseng yang berniat menyembunyikan cuciannya. Dan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ayuni bisa kembali menjadi budak mamanya yang lebih kejam lagi.

Tangan lentik-lentik itu saling berkait dengan resah. Cuciannya benar-benar hilang! Padahal di kampung ini tak pernah ada satu kejadianpun mengenai pencurian cucian di sungai. Apa Ayuni harus kembali ke pemikiran pertamanya mengenai hantu sungai itu? Tidak, tidak mungkin!

Apa laki-laki tadi? Ah, iya! Dia yang terakhir kali Ayuni lihat sebelum meninggalkan sungai. Bisa jadi laki-laki itu yang membawa cuciannya. Tapi, bagaimana Ayuni akan mempertanyakannya jika untuk namanya saja ia tak diketahui?