Jemari lentik itu menyibakan tirai besar di sebuah ruangan. Masih dengan apron yang menempel di badannya, ia menyapa seseorang yang baru saja membuka matanya karena sorotan mentari pagi dari jendela.
"Pagi, Ka. Mandi sana, aku lagi buat sarapan." Ucapnya yang masih sibuk dengan kegiatan mengikat tirai besar berwarna kuning lemon itu.
Menguap dan mengucek matanya sebentar, dengan piyama berwarna abu satinnya ia terbangun tanpa membalas si penyapa. Beranjak dari kasur empuknya sebelum menuju kamar mandi ia lakukan kecupan singkat seperti biasa pada istrinya. Namun tanpa senyuman seperti biasa.
Maka sang istri kembali menuju dapur, mempersiapkan sarapan mereka setelah merapikan ranjang dan memilihkan kemeja serta stelan jas untuk suaminya.
***
"Hari ini aku pulang agak sorean ya, soalnya beres dari kampus aku mau ke kantor penerbit dulu" ucapnya saat seorang pria datang meghampirinya dengan dasi yang menjuntai di kedua sisinya karena belum terpasang, hanya tersangkut di lehernya.
Sang istri menghampiri suaminya yang sudah terduduk di kursinya
"Kamu nanti pulang jam berapa? Kalau kamu pulang duluan kamu jemput aku ya" ucapnya seraya mengikat dengan apik dasi di leher suaminya, dan yang padahal tak perlu di minta pun sang suami pasti akan menjemputnya.
Tak ada sedikitpun pergerakan dari bibir pria itu, ia hanya terdiam dengan tatapan yang malas. Ia bergumam dalam hatinya 'nih anak gak nyadar ya kalau gue lagi marah? Apa pura pura gak nyadar? Atau lagi ngebaikin?'
Terkadang Kiara memang tidak terlalu perduli dengan keadaan sekitar tentang situasi yang ia hadapi. Ia memilih masa bodo. Seperti halnya saat ini, salah besar jika Azka berfikir Kiara tak menyadari sikap dinginnya.
Azka memang selalu tampil dingin, tapi tidak pada kenyataannya, dan Kiara sangat tahu. Bayi besarnya itu lebih sering merengek. Maka jika Azka menampakkan sikap dinginnya sudah jelas Kiara paham bahwa Azka sedang dalam keadaan sebal.
Maka setelah dasi itu tersimpul dengan sempurna, mendaratlah kecupan singkat di bibir Azka, setelahnya Kiara berkata "Appetizer" seraya tersenyum manis pada suaminya.
Meski masih dalam suasana hati yang sebal Azka tersenyum, tapi di dalam hatinya. Maka acara sarapan mereka pun hening di salah satu sisi karena tak adanya balasan dari kicauan Kiara.
***
"Saya rasa desain ini cukup bagus, saya suka" vokalnya mendominasi ruangan yang penuh dengan orang yang saling duduk berhadap di depan meja persegi yang panjang.
Sedang seseorang di sudut hadapnya tersenyum seraya membungkukkan badannya dan berkata "terimakasih banyak pak"
"Oke, kalau gitu kita pakai desain ini aja untuk produk kita kali ini."
Semua orang di ruangan itu mengangguk pada desain ranjang box bayi yang di setujui oleh pimpinan mereka
"Kita akhiri rapat kali ini, terimakasih atas kerja keras kalian"
Direktur utama ARAZ Corp. Itu melenggang pergiĀ dari ruang rapat, di ikuti oleh sekertarisnya.
"Kenapa furniture bayi itu lucu lucu ya?" Monolognya pada diri sendiri
"Kalau desainnya serem jadi gak lucu, pak" sahut seseorang yang berjalan selangkah di belakangnya, seraya menahan tawa atas apa yang diucapkannya.
Maka Azka menghentikan langkahnya dan menoleh pada sumber suara itu, menatap tajam dengan tatapan yang sinis.
"Maaf pak, kalau saya lancang" ucapnya, saat tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan.
Tungkai panjang itu kembali melangkah mengikuti atasannya. Dan mulutnya pun kembali berucap "Apa kali ini bapak mau coba produk kita sendiri?"
Berulah, bukan berucap tepatnya
"Maksud kamu?" Kali ini ia ucapkan tanpa menghentikan langkahnya, bahkan tanpa menoleh
"Emangnya bapak gak kepengen punya peralatan bayi di rumah, rumah bapak kan besar, masih muat kan untuk nyimpen peralatan bayi"
"Kamu kalau ngomong jangan ngawur, bayinya aja gak ada, ngapain nyimpenin perlatan bayi. Gak kepake"
"Emangnya bu Kiara masih belum kepengen punya anak ya pak?"
Tertohok, Azka hampir menghentikan langkahnya saat pertanyaan itu terlontar dari mulut sekertarisnya.
Ia mengingat 5 tahun sudah pernikahannya tanpa hadirnya tangisan seorang bayi. Ia sudah kepala 3, namun belum juga di karuniai seorang anak. Terkadang ia merasa iri jika berkumpul dengan teman temannya yang menceritakan perkembangan buah hati mereka. Azka juga ingin terbangun tengah malam karena tangisan seorang bayi, ingin di repotkan mengganti popok yang basah, bahkan juga ingin di ganggu oleh rengekan manja saat ia tengah sibuk bekerja.
Mereka tidak menundanya, Kiara sudah lulus sekolah, tak ada yang perlu di khawatirkan. Tak akan ada yang mengeluarkannya dari kampus jika ia hamil. Hey, kuliah tidak seformal sekolah berseragam itu kan. Lalu, kenapa Kiara masih belum hamil juga?
"Pak Zul"
"Iya pak"
"Tiba tiba saya ngidam kepengen jitak kepala bapak boleh gak?"
Pupil matanya membesar, tubuhnya di bungkukkan seraya ia katakan "ampun pak, saya minta maaf" setelahnya ia lari terbirit meninggalkan Azka di depan daun pintu yang besar.
Mungkin jika yang berkata seperti itu bukan orang kepercayaannya yang hampir tahu segala kehidupan pribadinya, Azka akan senang hati menendang aset berharga pria itu, agar pria itu tidak bisa menikmati indahnya surga dunia untuk beberapa saat.
Dan ketika ia hendak memegang gagang pintu, tetiba ponsel di saku jasnya bergetar. Disaat itu pula lah tangan besarnya beralih
"Adikku tersayang, lagi dimana?"
"Disini udah siang Kak, gue di kantor lah"
"Dikantor dimana bro? yang jelas kalo ngomong"
"Loh? Kapan dateng?" Matanya tertuju pada seseorang yang duduk di kursi kerjanya ketika ia membuka pintu besar itu.
Memutus panggilan telponnya, ia berjalan menghampiri pria yang membuka tangannya lebar. Berpelukanlah mereka bagai teletubbies.
"Liburan musim panas, anak anak gue kangen sama kakek neneknya, jadi gue bawa semua ke Indonesia"
"Lagian lo udah kayak bang toyib aja, pulangnya 3tahun sekali"
"Maklum lah orang sibuk"
"Iya tau, Arka Bramantyo pengusaha mandiri sukses di London. Lo cukup terkenal di sini kak"
Maka tawa Pria yang memiliki nama belakang sama persis dengan Azka memecah keheningan di ruangan besar itu.
"Tapi gue tetep aja gak ada apa apanya di bandingin lo dek"
Azka menggeleng tak setuju dengan pendapat sang kakak. Kakaknya jelas lebih hebat di bandingnya. Ia hanya menerima apa yang sudah di bangun oleh sang papah, sedang sang kakak membangun usahanya sendiri tanpa sedikitpun bantuan dari sang papah. Luar biasanya lagi, sang kakak memulainya di negara orang. Hebat bukan?
Kini mereka sudah berada di sofa dengan 2 cangkir kopi di hadapan mereka.
"Lo lagi bikin desain buat box anak lo?"
Tersemburlah sudah kopi yang baru saja masuk kedalam mulutnya. Belum sampai di tenggorokan air hitam itu berhamburan ke arah sang penanya
"Woy, kira kira dong dek. Masa abang sendiri lo sembur sih, ahelah" seraya membersihkan dirinya dengan tissue, sumpah serapah keluar dari mulutnya untuk sang adik
"Lagian lo juga sih kak. Itu desain produk baru bukan buat gue"
"Ya mana gue tau, gue kan cuma liat sekilas aja tadi di komputer lo" menjeda ucapannya seraya berfikir, lalu ia utaran "Kiara masih belom hamil juga?"
Demi apapun juga, kenapa box bayi itu membawa pertanyaan yang tak menyenangkan untuk Azka. Seharusnya ia tak menerima projek untuk peralatan bayi jika akhirnya berujung pada kehidupan pribadinya.
Melihat sang adik hanya terdiam, maka Arka menyuarakan "Lo.. gak mandul kan dek?"
"Sialan, gue sehat kak"
***
"Iya, aku sehat kok Mah" adalah vokal Kiara dalam panggilan telponnya dengan sang Mamah mertua
Sang mamah mertua kerap kali menelpon Kiara dimana pun dan kapan pun, hanya untuk sekedar bertanya kabar. Seperhatian itu mamah mertuanya
"Nanti malem kamu sama Azka kerumah ya, sayang. Arka sama Istrinya ada di rumah, kita makan malem sama sama"
"Kak Arka kapan dateng, Mah?"
"Semalem, mamah juga gak tahu tiba tiba aja dia nongol sekeluarga. Katanya mumpung lagi ada waktu senggang sekalian liburan musim panas"
"Oh gitu, yaudah nanti Kiara sampein ke Azka ya, Mah"
"Iya sayang, mamah tunggu ya, kamu jangan lupa makan siang"
"Iya mah, Mamah juga"
Hanya dengan begitu saja hatinya menghangat. Terlalu beruntung seorang Kiara ini. Wanita yang seharusnya ia panggil Oma ini begitu memperhatikan menantu kecilnya itu.
Ia tak pernah sehari pun absen dalam menelponnya. Tapi itu dulu, sebelum Azka menggerutu karena terganggu oleh dering telpon sang mamah yang selalu mengganggu waktu berduaannya. Jadi sekarang sang mamah mertua hanya menelpon Kiara di waktu jam makan siang dan di hari kerja, walau sesekali ia tetap menghubungi Kiara di malam hari atau di waktu libur.
Bagaimana pun Kiara tetap menyukai perhatiannya. Kiara merasa menjadi kesayangan di keluarga mereka
***