Awal kesempatan kehidupan kedua manusia adalah bagian sangat sulit. Manusia tenggelam dalam lautan depresi. Mayat-mayat bergelimpangan, bau busuknya seakan membentuk atmosfer baru sendiri. Tempat tinggal porak poranda, tidak ada lagi atap yang mampu menahan teriknya panas dan basah hujan. Kala itu pandangan jelas seluruhnya berwarna merah darah. Umat manusia kebingungan, bentuk fisik mereka yang berbubah total, satu per satu kekuatan aneh bermunculan kerap tak terkendali. Banyak dari umat manusia yang terselamatkan tersebut mengakhiri hidupnya sebab tidak mampu menerima kenyataan yang ada. Tentu saja, siapa yang masih waras dalam situasi tersebut?. Suara tangisan, suara teriakan, suara kemarahan disana-sini. Ini lah cerita kehidupan 'kosong' yang diijalani manusia dengan mimik hampa.
Bencana kiama mahadahsyat memaksa bangsa setan terhisap kembali menuju gerbang dimensi. Semua bertanya-tanya kenapa mereka diberikan kesempatan kedua untuk hidup? Apakah ini rencana tuhan?
Sedikit manusia yang tangguh, meskipun sedikit keberadaan mereka tetap ada. Mereka ini lah yang memiliki tekad untuk bangkit, merangkul, dan mencoba hidup. Hidup sebagai rasa tanggung-jawab terhadap rekan nya tang binasa.
Waktu demi waktu pun berlalu. Manusia membiasakan diri menggunakan kekuatan yang terbangkitkan, tentu saja bukan hal yang mudah tapi sepadan dengan hasil yang didapat. Kehidupan lambat laun mulai merekah, sedikit demi sedikit namun pasti.
Hutan telah musnah, meski demikian bibit-bibit yang terselamatkan sudah bertunas. Mereka yang hidup dengan kekuatan tanah dan hutan mulai bercocok tanam, menumbuhkan kembali hutan, mengalirkan sungai, dan membuat pemukiman. Mereka yang hidup melalui kekuatan air dan lautan mulai mengembangkan kemampuan menyelam, beradaptasi dan hidup didasar sana. Mereka yang hidup dengan kekuatan api dan batuan mineral, masuk ke dalam magma yang tidak pernah mereka pikirkan, menggali lebih dalam, menemukan sumber daya baru. Mereka yang hidup dengan kekuaran angin dan berkah sayap mencari pengetahuan untuk membalikan kehidupan.
Pembanguan peradaban tampak lancar hingga musibah kembali melanda, bukan karena alam, bukan juga karena iblis datang, melainkan sebab seorang perempuan malang. Ini kisah tentang perempuan yang disebut musibah berjalan.
Perempuan malang itu bernama Rafflesia....
Kehendak tuhan membuat dirinya berubah menjadi sosok yang tak dikehendaki orang lain. Ia memiliki kekuatan menyerap daya hidup disekitarnya dan mengeluarkan bau tak sedap menyengat bak racun mematikan.
Rafflesia kerap menangis. Tidak ada makhluk hidup yang berani mendekatinya. Setiap ia berjalan, bau busuknya menyebabkan tanaman juga hewan mati. Rafflesia hanyalah gadis remaja yang rapuh. Kekuatan yang tidak ia minta membuat hidupnya hancur.
Kemalangannya tidak cukup sampai disitu...
Ia adalah manusia yang tidak bisa dibunuh.
Banyak yang telah berusaha membunuhnya, entah itu menggunakan senjata tajam, lemparan batu, perangkap, sampai dengan sihir. Semua luka yang rafflesia dapat, tertutup dan menghidupkannya kembali seakan tak terjadi apa-apa.
Didalam hujan cacimakian, tatapan tajam, harapan dirinya mati, ia hanya merangkul kedua kakinya, menjerit, dan menangis ketakutan. Semua yang berusaha membunuhnya malah berbalik terbunuh.
Rafflesia mencari kematian... namun tak dapat terkabulkan.
Rafflesia berdoa akan kematian. Ia kerap menanyakan dimana tuhan? kenapa tuhan begitu kejam? kenapa tuhan tidak mengabulkan doa-doanya?
Umat manusia kala itu membentuk dewan khusus dalam penumpasan rafflesia. Berdiskusi kemudian mendapatkan jawaban bahwa rafflesia hanya dapat disegel, berharap dimasa depan nanti ada kekuatan yang bisa mematikannya.
Perempuan malang rafflesia dijerat dalam lingkaran sihir. Mantra diucapkan oleh puluhan orang, tiang-tiang pancang berhasil aktif, menggunakan banyak kekuatan, rafflesia terkubur sangat dalam. Terpenjara oleh seribu mantera akar suci. Wilayah rafflesia dipenjarakan dijauhkan agar tidak ada satupun manusia yang mengungkitnya. Tempat itu kini bernama Pulau Keabadian. Memberikan keabadian bagi siapapun yang disana. Keabadian dalam bentuk kematian. Tidak ada yang berani menyentuh wilayah itu sampai masa depan sekarang.
~
Aku dan Rein tiba dipantai sebelah barat benua eaiis. Tidak ada transportasi, mereka hanya berjalan menjelajah membuka jalan dari rimbunnya hutan. Tebalnya kabut menghalangi jarak pandang, meski demikian jelas didepan sana terdapat bayangan besar pulau.
"Jadi disana rafflesia berada? jadi bagaimana kita kesana?" aku bertanya
"Lita akan buat perahu sederhana dari balok kayu pepohonan. Jarak nya tidak terlalu jauh" balas Rein
Tidak ada makhluk hidup disekitar pulau. Tidak ada satu pun suara. Semuanya senyap. Sembari mendayung ku lihat ke bawah air, nyatanya dibawah air pun senyap, tidak ada tanda-tanda hewan hidup. Memasuki pulau keabadian, beberapa puluh meter terpasang mantera pelindung, pelindung yang melingkari keseluruhan pulau ini. Rein mampu membuka pelindung tersebut tanpa berlama-lama
"Sudah terbuka. Tetap waspada, mulai dari sini tetap waspada" ucapnya.
"tapi aku terkesan, kenapa kau dapat memikirkan semua ini?" sanggah ku sembari menarik perahu balok kayu ke atas permukaan.
"tidak ada yang spesial. Ini berkat pengetahuan saja. Semuanya ada didalam buku. Aku berpikir kita butuh kemampuan rafflesia. Dia adalah sumberdaya yang disia-siakan"
"Seperti apa penampilan rafflesia ini?" aku kembali bertanya penasaran
"Entahlah, aku pun tidak mengetahuinya. Buku sejarah hanya menyebutkan nama saja tanpa penggambaran yang jelas. Ia makhluk abadi, secara teori seharusnya masih hidup hingga sekarang. Kau dan Rafflesia adalah rekan yang saling melengkapi, jika rafflesia selama ini mencari kematian, maka kematian adalah dirimu vea"
"Aku? masuk akal juga perkataan mu. Mari buktikan sosok dia yang sebenarnya Rein!"
Memasuki lebih dalam pulau, pasang mata merah bermunculan dari rimbun semak-semak. Nampaknya mereka adalah para Hewan buas penjaga pulau. Hewan-hewan di pulau ini bertubuh lebih besar dari pada biasanya plus dibekali kecerdikan. Berdua kami membagi tugas, aku bagian menumpas bagian depan, Rein bagian belakang. Tidak ada waktu istirahat sama sekali, sembari berlari kami melancarkan serangan tanpa henti. Hewan-hewan ini tidak pernah ada habisnya.
Berkat kemampuan armblade yang terbangunkan, aku lebih luwes beradaptasi dalam medan pertarungan. Rein yang ku kira hanya seorang kutu buku ternyata ahli dalam pertarungan jarak dekat. Ia menggunakan sosok setengah silumannya, membuat otot-otot tubuhnya padat, menyerang menggunakan cakarnya yang yang memanjang.
"Seperti yang kau bilang sebelumnya, darah dan arwah disini sungguh lezat untuk dipanen" ucap ku ditengah hujan serangan.
"Sudah ku bilang ini adalah tempat yang cocok. Tetap berlari, aku melihat sesuatu didepan sana. Mari bergegas" balas Rein
Pohon besar menjulang tinggi menyapa kami berdua. Akar-akar papannya menjalar mencuat ke atas permukaan melingkar ke sekelilingnya membuat hanya pohon tersebut lah yang paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Akar gantungnya menjulur seperti air tumpah nan gagah. Dibagian bawahnya terdapat lubang setinggi manusia.
"Itu kah pintu masuknya?" kata ku sembari tetap berlari menghampiri
Didalam lubang tersebut terdapat anak tangga menuju bawah tanah. Menuruni anak tangga membuat lumut di dinding-dinding nya menyala, menerangi jalan yang tadinya gelap gulita. Tangga ini berakhir pada satu ruangan dengan lima lorong percabangan. Ditengah ruangan terdapat batu prasasti tertutup debu. Aku dan rein menyingkapnya. Pada batu tersebut menyebutkan larangan, segel, dan sesuatu yang terkurung.
"Tunggu sebentar Vea, prasasti ini menyebutkan pula rafflesia terpotong menjadi lima bagian sesuai lorong percabangan diruangan ini rupanya" ucap Rein
"Apa maksudnya?" aku membalas
"Hmm.. rafflesia dengan tubuh abadinya mungkin akan melemah ketika dipisah. Aku tidak tahu. Tapi yang jelas kalau memang terpisah maka satu-satunya jawaban adalah menyatukannya kembali"
"Yasudah mari kalau begitu mari berpencar"
"Ya aku setuju. Kalau sudah mendapatkan bagian tubuh tersebut atau suatu petunjuk, segera kembali ke ruangan ini"
Aku memasuki lorong percabangan pertama, sedang Rein pada lorong percabangan kedua. Disepanjang jalan dipasang jebakan; mulai dari panah beracun, lubang jebakan, jalan buntu, ilusi mental, dan lainnya. Setiap percabangan dibuat mustahil untuk dilewati manusia. Jika sedemikian ketat penjagaan ini maka sudah pasti diujung lorong ini ada sesuatu yang sangat berharga untuk di lindungi.
Setibanya di ujung lorong, aku merasa kelelahan padahal hanya melewati satu percabangan. Diujung jalan ada satu ruangan terakhir yang tertutup oleh batuan. Tepat didepannya bertuliskan peringatan tulisan kuno lainnya. Aku meniup menyingkap tulisan-tulisan yang tertutup debu hingga akhirnya pintu itu membuka dengan sendirinya. Pintu batuan bergeser, getaran dan suaranya nyaring terdengar.
Lumut-lumut mulai menyala menerangi seisi ruangan, tepat di tengah nya terdapat hewan buas besar yang terbangun dari tidurnya. Salah-satu hewan mitologi berkepala tiga, Chimaera. Kepala yang satu adalah kepala anjing, dua lainnya adalah serigala, dan harimau. Tetesan air liur yang Chimaera keluarkan mengeluarkan bau semacam racun. Tanpa basa-basi, Chimaera berlari, menerjang cepat, membukakan mulut lebarnya, berusaha memakan ku dalam satu kali gigitan. Aku loncat mengindar, memasang kuda-kuda, dan mencoba menjaga jarak pertempuran.
Armblade aktif, tebasan kilat udara sempat aku lancarkan ketika mengindar tadi. Sabetannya membuat luka ditubuh chimaera, tapi tidak cukup untuk membuat ia berhenti menyerang. Kepala lainnya menyemburkan api kehitaman, kepala ketiganya memuntahkan air liur beracun bertekanan tinggi.
"Soul Enchant!. Aku harus mencari titik kelemahan hewan buas ini. Soul enchant mulai aktif. Arwah hewan buas yang telah aku bunuh diluar menjadi sumber kekuatan. Arwah-arwah membentuk aura menyelimuti armblade"
Serangan api dan lelehan air liur dari jauh chimaera silih bergantian, aku berlari mendekat menyerang bagian leher hingga mata setiap kepala. Ini adalah pertarungan ketahanan. Menghindar dan menyerang secara bersamaan memang membutuhkan energi lebih, tapi dengan soul enchant setiap tebasan yang berhasil melukai chimaera akan menjadi kumpulan kekuatan. Darah kotor Chimaera sedikit demi sedikit terhisap.
Semakin lama pertarungan artinya semakin besar kekuatan yang aku peroleh. Kecepatan juga daya serang ku meningkat tajam. Berbanding terbalik dengan Chimaera yang kini mulai menurun intensitasnya. Sekarang satu tebasan udara saja mampu memberikan luka dalam.
Chimaera mengaum, menerjang, melakukan cakaran, dan berusaha menginjak dengan kaki besarnya. Kombinasi air liur lelehannya dan semburan apinya membuat seisi ruangan panas.
Aku meloncat ke arah dinding-dinding ruangan, berputar cepat mendaratkan serangan memotong leher-leher chimaera "Hiyaaaaappp.. hiyaaa". Bilah-bilah armblade memanjang, aku berhasil memotong satu per satu kepala chimaera hingga ia mati .
"A..ak..akhirnya berakhir juga" ujar ku sambil terbata-bata mengambil nafas karena kelelahan.
Didalam tubuh chimaera tiba-tiba ada benda bercahaya. Sebuah batu kristal persegi enam aku ambil setelah merobek bagian dalam tubuhnya. Selain itu terdapat potongan kaki manusia utuh. "Jadi inikah potongan tubuh yang dimaksud? lalu batu apa ini?"
Setelah beristirahat sebentar, aku kembali ke ruangan awal. Disana Rein telah menunggu duduk manis bersandar menanti kedatangan ku
"Sudah usai? benar saja ada potongan tubuh yang aku temukan. Lihat ini tangan kiri" ucap Rein
"Ya, cukup kerepotan. Aku mendapatkan kaki kanan. Lalu ada semacam batu" balas ku sembari menunjukan.
"Aku sama sekali tidak mendapatkan batu itu. Yasudah simpan saja, kita menuju ke lorong berikutnya "
"Baiklah.."
Kali ini aku memasuki lorong percabangan ketiga, sedangkan rein memasuki lorong percabangan keempat. Aku tidak pernah menduga bahwa Rein memiliki pengalaman tempur sekuat itu, seberapa cepat ia membunuh hewan buas sebelumnya?.