Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Kata Mutiara

🇮🇩Yogi_Julian
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.2k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Masa Kecil Kurang Bahagia

"Tik…Tik…" terdengar suara dentingan jam ke seluruh penjuru ruangan, pertanda bahwa ruangan ini sangatlah sunyi.

Tampak seorang anak laki-laki sedang terduduk di lantai dan bersandar pada dinding ruangan. Ia terduduk sambil menyembunyikan wajahnya pada kedua tangannya yang saling menumpuk dan bertumpu pada kedua lututnya. Dalam kegelapan dan kesunyian, anak laki-laki itu sesekali mengusap air matanya yang meleleh di pipi.

"Kreeekkk…" Suara pintu terbuka.

Cahaya dari luar mulai menerobos masuk dan menyoroti wajah anak lelaki itu. Ia menengadahkan kepalanya kearah pintu. Sorot matanya menangkap sebuah siluet seorang lelaki berbadan tegap sedang berdiri sambil menggenggam sebuah balok kayu panjang. Anak laki-laki itu pun sontak menunjukkan ekspresi sangat ketakutan. Matanya terbelalak saat sosok itu berjalan mendekatinya. Sosok lelaki tersebut mengayunkan balok kayu panjang yang digenggamnya dan menghantamkannya kepada kpala anak laki-laki itu.

"Aaahhhhhh!!!" Teriak Sadam sambil terbangun dari mimpinya.

Pak Mulyono yang sedang mengajar pelajaran Sejarah hanya menatapnya sambil geleng-geleng. Suasana di kelas pun langsung dipenuhi oleh gelak tawa karena semua mata tertuju pada Sadam yang menampilkan ekspresi kebingungan dengan iler yang mengering di sebelah kanan bibirnya.

Sadam adalah seorang Siswa berkulit sawo matang yang duduk di kelas 3 di sebuah SMA Swasta di Kota Bandung. Sadam dikenal sebagai sosok yang ceria, namun suka tertidur di kelas. Sadam juga selalu mendapatkan nilai-nilai yang tidak terlalu baik hampir di semua mata pelajaran. Sadam juga selalu terlibat perkelahian dengan siswa-siswa lain baik di sekolahnya, maupun dengan siswa sekolah lain.

"Sadam. Cuci muka sana !" perintah pak Mulyono yang lalu melanjutkan pelajarannya.

Sadam pun beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar kelas. Ia berjalan menyisiri lorong sekolah dengan perasaan takut karena teringat mimpi buruk yang ia alami. Saat melewati salah satu kelas, matanya tertuju pada sesosok wajah cantik yang ia lihat dari luar kelas. Sadam tersenyum karena paras cantik gadis itu telah membuat bayangan mimpi buruknya seketika sirna. Gadis itu merasa ada sepasang mata yang sedang mengawasinya. Kepalanya menengok keluar kelas, lalu kedua matanya menangkap sosok Sadam yang sedang tersenyum padanya dari luar kelas. Gadis itu pun membalas melemparkan senyuman manis pada Sadam. Gadis tersebut adalah pacar Sadam. Pemilik paras cantik itu bernama Laras. Nama Laras mempunyai arti Harmoni dan mempesona. Nama yang memang sesuai dengan parasnya. Siapapun yang melihat wajahnya akan merasa damai bagai sebuah musik yang terdengar harmoni.

Sadam melanjutkan langkahnya dan segera menuju ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk. Setiap air yang menerpa mukanya terasa sangat dingin dan segar. Beberapa kali Sadam membasuh mukanya, dan barulah rasa kantuk pun benar-benar menghilang.

Dimas sedang asik menonton pertandingan basket pada layar hapenya di dalam kelas dengan menggunakan headset yang ia sembunyikan dibalik tangannya agar tidak ketahuan oleh Pak Mulyono. Sedangkan Ucup sedang asik bermain game dengan jari-jarinya yang menari-nari diatas tombol hapenya. Dimas dan Ucup adalah sahabat Sadam. Mereka bertiga sudah berteman sejak SMP. Mereka bertiga adalah anak-anak yang nakal, namun berprestasi di bidang masing-masing. Sadam berprestasi di bidang musik. Ia selalu turut memeriahkan acara pensi yang diadakan sekolahnya setiap tahun. Sedangkan, Dimas adalah seorang kapten Tim Basket sekolah ini. Tampang yang ganteng, tubuh yang tinggi dan atletis, membuat para siswi berteriak histeris setiap kali mereka menonton pertandingan Dimas. Ucup ? Ucup hanyalah seorang siswa bertubuh gemuk yang ahli di bidang Matematika. sebanyak 3 kali Ucup menjuarai olimpiade matematika tingkat SMA, namun dalam nilai-nilai pelajaran lain, sangatlah buruk.

Sadam telah kembali ke kursi dimana ia duduk. Disampingnya, Ucup yang merupakan teman sebangkunya tetap fokus pada game yang ia mainkan.

"Gua tau kalo pelajaran pak Mulyono tuh membosankan. Tapi gak harus teriak-teriak juga kali !" Kata Ucup sambil matanya tetap tertunduk dan fokus kepada layar hapenya.

"Gua ketiduran. Mimpi buruk gua, Cup !" Kata Sadam.

"Mimpi ? kayak manusia aja lu !" Ejek Ucup yang masih sambil tetep fokus main game.

"Sialan lu ! udah lah gausah dibahas mimpi gua !" kata Sadam kesal.

"Dih ! Ngambek. Yaaaah… mati !!!" Kata Ucup sambil kesal karena kalah dari permainan.

Ucup pun berhenti memainkan game nya dan mencoba untuk memperhatikan Pak Mulyono yang sedang mengajar. Ucup melihat ke sekeliling dan rupanya raut teman-temannya yang lain pun tampak bosan mendengar pelajaran dari pak Mulyono.

"Cup, Pulang sekolah kita main PS di rumah lu yu !" ajak Sadam kepada Ucup.

"Gak bisa. Gua ada acara keluarga." tolak Ucup. Sadam pun beralih ke Dimas.

"Di rumah lu deh, Mas !" Bisik Sadam kepada Dimas.

"Hari ini ada latihan. Gak bisa." Tolak Dimas dengan berbisik dan masih tetap fokus menonton.

"Lu berdua gak asik." Kata Sadam dengan kesal sambil mengelengkan kepalanya.

Sepulang sekolah…

Sebuah bola basket berlompatan keatas dan kebawah. Lalu sepasang tangan menggenggamnya dan melemparkan bola tersebut kedalam sebuah ring.

"Yes ! Masuk !" teriak Dimas kegirangan. Teriakan Dimas diiringi teriakan histeris dari para siswi yang mengaguminya.

Tak jauh dari lapangan tempat Dimas bermain basket, tampak seorang wanita cantik dengan rambut panjang sedang bermain biola. Lantunan nada-nada yang indah terdengar sangat menyejukan hati khas musik eropa. Gesekan demi gesekan pada senar biola terdengar sangat merdu. Sedang asyiknya Laras bermain biola, tiba-tiba Sadam mengagetkannya dari belakang.

"WOY !!!" kata Sadam sambil menepuk bahu Laras. Mengakibatkan Laras terperenjat kaget saat suara bentakkan itu berbunyi di dekat telinganya.

"Neng, mau akang genjreng-in nggak hatinya ?" Tanya Sadam menggoda Laras. Laras hanya tersipu malu.

Wajahnya tampak merah padam dan senyuman manis keluar dari bibirnya yang mungil. Sadam menaruh Tas yang berisi Gitar diatas rumput. Ia lalu duduk disamping Laras untuk melihat kekasihnya itu memainkan biola. Tangan Laras mulai bergerak mengikuti gesekan pada biolanya.

"Bahagia banget hidup guaaa...! Punya cewek cantik yang bisa memainkan lagu-lagu yang sangat merdu." Teriak Sadam dalam hati.

Matanya terus memandangi Laras tanpa berkedip.

"Dukkkk!!!" Tiba-tiba sebuah bola basket menghantam kepala Sadam.

Sadam pun kaget dan menghancurkan lamunannya. Sadam mengusap-usap kepalanya yang terhantam bola basket dengan kesal. Laras segera menghentikan musik yang ia mainkan lalu mengusap-usap kepala Sadam setelah menaruh biolanya diatas rumput. Dengan wajah kesal, Sadam melihat kearah lapangan dan tampak Dimas hanya berdiri sembari tangannya menunjuk kearah salah satu siswa anggota tim basketnya. Siswa itupun berlari menuju Sadam untuk mengambil bola basket dan meminta maaf kepada Sadam karena ia benar-benar tak sengaja melakukannya. Karena tidak sengaja, Sadam pun memaafkannya dan siswa itu pun kembali ke lapangan dengan bola basket yang digenggamnya lalu melanjutkan latihan.

"Sakit gak ?" Tanya Laras dengan suara lemah lembut.

"Tadi sih sakit. Sekarang udah nggak." Kata Sadam sambil nyengir dan mengeggam tangan Laras yang sedang mengusap-usap kepalanya.

Dilapangan, Dimas merasa sudah sangat capek hingga keringatnya membanjiri seluruh tubuhnya. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak dan mengambil handuk serta air minum dipinggir lapangan. Saat ia berjalan ke pinggir lapangan, tiba-tiba seorang siswi bernama Maya menghampirinya dan memberikan handuk serta air minum kepada Dimas. Siswi itu tampak manis meskipun hanya sebagian wajahnya yang terlihat oleh Dimas karena Maya tertunduk malu.

"Makasih ya… Maya !" Kata Dimas sambil mengambil handuk dan air minum sedangkan matanya melihat nama 'Maya' di seragam siswi tersebut.

Maya hanya menggigit bibir dan berlari karena malu kearah temannya yang menunggu agak jauh. Dimas segera mengelap keringatnya yang bercucuran deras menggunakan handuk pemberian Maya. Setelah berjalan agak jauh, Maya kembali melihat kearah Dimas yang sedang mengelap keringat menggunakan handuk pemberiannya. Maya pun sangat bahagia dan seolah ingin berteriak gembira.

Maya adalah siswi kelas 2, yang berarti merupakan adik kelas dari Dimas, Sadam, dan Ucup. Maya sudah menaruh hati kepada Dimas sejak ia diterima di sekolah ini. Awalnya, ia hanya bisa memandangi Dimas dari jauh karena ia adalah orang yang sangat pemalu, namun hari ini ia telah melangkah sedikit lebih jauh dan berhasil mendekati Dimas.

"WOY ! GUA BALIK DULUAN YA !" Teriak Sadam dari pinggir lapangan kepada sahabatnya.

Dimas hanya melambaikan tangan karena ia sedang minum. Laras juga melemparkan senyuman dan melambaikan tangan pada Dimas. Sadam dan Laras berjalan menyusuri lorong sekolah menuju ke tempat parkir. Mereka berdua bertemu Ucup yang rupanya sudah mengendarai sepeda motornya dan bersiap untuk pulang.

"Gua balik duluan ya !" Kata Ucup sambil berlalu mengendarai motor astrea-nya.

Entah kenapa raut muka Ucup pada saat itu terlihat sangat kesal. Sadam pun bingung dengan raut muka Ucup, tapi Sadam tidak memikirnya dan lalu berjalan menuju vespa miliknya dan mengantarkan Laras pulang ke rumahnya dengan mengendarai motor Vespa-nya.

Laras memeluk erat Sadam yang sedang mengendarai Vespa-nya. Hembusan angin menerpa wajah cantiknya. Ia menyenderkan kepalanya pada bahu sang kekasih. Dari bahasa tubuh yang dilakukan Laras, Sadam sangat mengerti bahwa kekasihnya sangat merasa nyaman. Ia tak ingin memacu vespanya untuk lebih cepat. Sadam hanya ingin menikmati momen ini selama mungkin. Tapi, jarak antara sekolah dan rumah Laras tak terlalu jauh hanya berjarak 5km saja. Kini Sadam menghentikan mesin Vespa-nya tepat di depan gerbang rumah Laras. Laras merupakan orang yang cukup kaya. Sadam dapat melihat sebuah mobil sedan yang tampak cukup mewah berwarna hitam terparkir di garasi rumah Laras. Berbeda dengan dirinya yang hanya anak dari keluarga biasa-biasa saja.

"Makasih ya !" Ucap Laras sambil tersenyum kepada Sadam.

"Iya. Sama-sama." Kata Sadam sambil membuka helm dari kepala Laras.

Laras merapikan rambutnya yang kusut karena sebelumnya tertutup helm. Sadam mencubit kecil pipi Laras yang menggemaskan. Laras hanya tersenyum dan tertunduk malu.

"Hati-hati di jalan !" kata Laras sambil melambaikan tangan dan melemparkan senyuman.

"Yaudah. Aku pulang dulu ya ! Salam buat mama sama papa !" Kata Sadam dan lalu menyalakan mesin Vespanya dengan cara di selah.

"Iya." Kata Laras dengan suara yang lembut. Sadam pun melemparkan senyuman terakhir sebelum akhirnya ia meninggalkan Laras yang masih berdiri di depan gerbang rumah.

Setelah bayangan Sadam mulai menjauh, Laras pun mulai melangkahkan kaki masuk kedalam rumahnya.

Sementara itu, di rumah Ucup. Ucup termenung sambil terduduk di pinggir kasur. Matanya menghadap ke langit-langit sambil menerawang kejadian Dimas yang diberi handuk dan air minum oleh Maya. Ucup kesal karena ia telah menaruh hati kepada Maya sejak lama. Hari ini ia memergoki Maya yang ternyata malah menaruh hati kepada Dimas sahabatnya. Ia tahu kalau Dimas memang diidolakan banyak wanita di sekolahnya, namun ia tidak menyangka bahwa wanita yang ia sukai pun rupanya mengidolakan Dimas. Perasaan kesal, sakit hati, dan bingung dengan apa yang harus di lakukannya bercampur aduk menjadi satu. Ucup beranjak dari kasurnya dan duduk terdiam di depan pintu balkon kamarnya. Ia mulai merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebungkus rokok serta korek api.

"Srekkk…Srekkk…" dan rokok pun menyala.

Ucup menyedot batang rokok dengan sangat kuat, tak lama kepulan asap mengepul di udara. Ucup berharap bahwa kepulan asap yang ia keluarkan dari mulutnya itu bisa membawa pergi rasa gundah di hatinya. Ucup beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan ke depan cermin yang menempel di dinding kamar persis di sebelah meja belajarnya. Pantulan tubuh Ucup pun terpancar di cermin tersebut. Ucup memerhatikan setiap lekuk tubuh dan rupa wajahnya di depan cermin. Ia membuka seragam sekolahnya dan kini, Ucup telah bertelanjang dada. Tak lama, ia pun termenung dan tertunduk. Ucup sadar bahwa dari segi fisik, ia sangat kalah jauh dengan Dimas. Wajah Ucup penuh dengan jerawat, berbeda dengan Dimas yang bersih dan tampan. Ucup pun sesekali meremas perutnya yang buncit dan lalu menghela nafas. Postur tubuhnya sangat berbeda dengan Dimas yang sangat atletis.

"Hssssspppp….ffuuuhhhh" Ucup menghisap dan membuang kembali asap rokok yang iya himpit dengan 2 jari di tangan kanannya.

"Apa laki-laki kayak aku layak untuk dicintai ?" Tanya Ucup pada dirinya sendiri.

"Dok…dok…" Suara pintu kamar Ucup di gedor dari luar.

Ucup panik dan langsung membuang rokok yang berada di tangannya keluar balkon yang menghadap jalan.

"Cuuuppp !!! Ucuuuuupp !!!" Terdengar suara mamanya memanggil dengan setengah berteriak dari luar kamar.

Ucup semakin panik dan mencoba mendorong asap-asap rokok yang memenuhi kamarnya agar keluar dari kamarnya, namun usahanya sia-sia.

"Kok gua bego ya ?" pikir Ucup dalam hati.

Ia pun segera menyalakan kipas angin untuk membantu asap-asap rokok segera berhembus keluar kamarnya.

"Lagi apa sih, Cup ?" Teriak mamanya yang mulai sedikit kesal.

"Lagi ganti baju, ma !" Ucup pun bergegas mengganti celana seragam yang masih ia kenakan dengan celana pendek yang lebih santai.

Ia juga tak lupa memakai baju tanktop berwarna hitam sebelum akhirnya ia membuka pintu kamarnya.

"Ada apa ma ?" Tanya Ucup yang hanya menongolkan kepalanya.

"Ini tadi mama beli eskrim buat kamu." Kata mamanya sambil memberikan keresek hitam berisi eskrim yang ia beli dari mini market.

"Makasih ma !" kata Ucup sambil tersenyum dan menyembunyikan rasa paniknya.

Mama Ucup curiga melihat tingkah anaknya yang hanya menonogolkan kepalanya saja tanpa membukakan kamar. Ia mendobrak pintu kamar dan mencium asap rokok yang tersebar ke seluruh sudut kamar Ucup.

"KAMU NGEROKOK ?!!!" bentak mama Ucup sambil menjewer telinga anaknya.

"AWWWW MA!!!! SAKIT MAAA!!!" teriak Ucup kesakitan.

"Berani-beraninya kamu ngerokok, HAH ! Sini balikin eskrimnya !" Bentak Mama sambil merebut kembali kresek hitam berisikan eskrim yang sebelumnya ia berikan.

"Maaaa!!! Jangan Maaa!!! Ucup pengen eskrim !!!" rengek Ucup.

"Udah ngerokok, bukannya minta maaf malah pengen eskrim !!! Sekali lagi kamu ngerokok, mama coret kamu dari kartu keluarga biar gak dapet warisan !!! Mulai besok selama seminggu kamu gak dapet uang jajan !!!" Kata mama lalu pergi meninggalkan Ucup yang sibuk mengusap-usap telinganya sendiri.

"MAAA!!!! ESKRIM!!!! MAAA!!!! UANG JAJAN!!! MAAAA!!! WARISAN!!!!" rengek Ucup yang hanya bisa pasrah melihat mamanya sedang menuruni tangga dengan kesal.

Di Rumah Sadam…

Sadam sedang asyik bermain gitar di dalam kamar. Jari-jemarinya asyik menari-nari diatas senar. Petikan demi petikan menghasilkan suara yang membentuk nada-nada yang indah.

"Dam, makan dulu yuk !" kata Ibunya yang berdiri di depan pintu kamar Sadam yang terbuka lebar.

Sadam tersenyum dan menaruh gitarnya diatas kasur. Ibunda Sadam bekerja sebagai guru SD di sebuah Sekolah yang letaknya tak jauh dari rumahnya, bahkan ia bisa menempuhnya dengan hanya berjalan kaki. Sadam adalah anak semata wayangnya. Ia mencintai Sadam dengan sepenuh hati. Ia juga membesarkan Sadam seorang diri dengan penuh perjuangan.

"Ibu tadi lewat warung nasi, Ibu beli kangkung sama ikan bandeng kesukaan kamu." Kata Ibu sambil menuangkan nasi kedalam piring untuk Sadam.

"Makasih, Bu ! Sadam sayang sama ibu." Kata Sadam dengan raut muka penuh senyuman kebahagiaan.

"Bu ! Tadi Sadam mimpi itu lagi." Kata Sadam sambil melahap makanannya. Ibu terdiam sejenak.

Sadam memperhatikan raut wajah ibunya yang sedang termenung penuh kekhawatiran.

"Gausah pikirin masalah itu lagi, Sadam makan aja yang banyak !" Kata Ibu sambil tersenyum menyembunyikan masa lalu yang pahit yang pernah ia lalui bersama Sadam beberapa tahun yang lalu.

Sadam pun melanjutkan melahap makanannya.

"Bener kata Ibu. Aku gausah mikirin masa lalu lagi !" Pikir Sadam dalam hati.

10 Tahun yang lalu…

Saat itu Sadam masih berusia 7 Tahun. Ibunya sudah bekerja sebagai guru SD. Sedangkan ayahnya adalah pemilik toko emas yang cukup besar. Kehidupan Sadam saat itu bisa dibilang cukup kaya. Mereka sekeluarga tinggal di sebuah perumahan elit.

"APA INI ???!!! NILAI RAPOR KOK MERAH SEMUA ???!!!" Bentak ayah Sadam sambil membanting buku rapor Sadam ke lantai.

Sadam hanya terdiam membisu. Mulutnya terkunci rapat, jantungnya berdegup kencang. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya. Keringat dingin mulai bercucuran, kepalanya tertunduk tak berani menatap wajah ayahnya.

"PLAKKK!!!" sebuah tangan dewasa mendarat dengan sangat kencang mengenai pipinya.

Tamparan yang cukup keras dari ayahnya sehingga membuat pipi anak berumur 7 tahun itu memerah. Tangis tak dapat lagi ia bendung, air mata mulai mengalir dengan deras dari kedua bola matanya yang sayu.

"AYAH MALU PUNYA ANAK GUOOBBLLOKKK!!!" Bentak ayahnya lagi dan beberapa kali menampar pipi Sadam hingga terlihat darah mulai mengalir keluar dari bibirnya akibat tamparan ayah yang membuat bibirnya sobek.

Sadam tersungkur ke lantai tak berdaya. Ibu Sadam hanya bisa mengintip dari dapur. Ia tak berani ikut campur dengan kekerasan yang dilakukan suaminya terhadap buah hati mereka. Ayah merobek kaos yang dikenakan Sadam dengan pakasa. Kini Sadam bertelanjang dada sambil tergulai tak berdaya di atas lantai. Ayah menyeret tangan Sadam menuju kedalam kamar mandi. Dengan susah payah Sadam berusaha untuk berjalan, namun tubuhnya kembali terjatuh dan terseret di lantai hingga ke dalam kamar mandi. Ayah menyalakan kran air dan menampungnya dengan sebuah gayung.

"Byuurrrr" ia mengguyur Sadam dengan gayung beberapa kali hingga seluruh tubuhnya dan celana yang masih Sadam kenakan menjadi basah kuyup.

Ayah meninggalkan Sadam untuk beberapa saat, dan kembali dengan sebuah tongkat sapu yang sudah ia genggam dengan erat. Rasa marah dan iblis sepertinya sudah merasuki ayah. Ia memukulkan gagang sapu itu ke punggung Sadam dengan bertubi-tubi.

"AMPUUNNN PAAHHH!!!!" Tangis dan teriakan serta permohonan Sadam terdengar dari dalam kamar mandi yang tertutup rapat.

Ayah tak mengenal ampun, ia terus menghujani punggung Sadam dengan bertubi-tubi. Ibunya hanya terdiam dan mulai menangis. Ia tak tahu apa yang terjadi pada Sadam dan ayahnya di dalam kamar mandi, hanya teriakan dan tangis Sadam yang dapat tertangkap oleh gendang telinganya. Cukup lama, akhinya terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Ayah keluar dengan rasa amarah yang sudah cukup reda. Satu hal yang membuat ibu kaget, ialah sapu yang ayah bawa kini sudah terbelah menjadi tiga bagian. Setelah ayah meninggalkan kamar mandi, ibu masuk kedalam kamar mandi dan melihat Sadam yang tergeletak di lantai dengan di hujani oleh air shower yang menyala. Air shower itu membilas sekujur tubuh Sadam dari darah dan meninggalkan sobekan serta luka lebam di punggung Sadam. Dengan cepat ibu mematikan kran shower lalu mendekap Sadam dengan handuk kering dan membilas seluruh badan Sadam. Kini Sadam sudah tak lagi menangis tapi tubuhnya bergetar sangat ketakutan.

Lima hari setelah kejadian tersebut. Sadam sedang bermain sepak bola bersama teman-teman seusianya di lapangan dekat rumah. Bola menggelinding dengan sepasang kaki yang menggiring dan mengikutinya. Sadam sudah berada dekat dengan gawang lawan. Kaki kanannya sudah mengambil ancang-ancang untuk menendang bola. Tiba-tiba dari samping seseorang dengan sengaja menabrakkan tubuhnya dengan tubuh Sadam hingga Sadam pun jatuh tersungkur dan membuat lututnya terluka. Seketika ia teringat dengan bayang-bayang saat ayah menyiksanya tempo hari. Luka di lututnya mengingatkan ia tentang luka yang ia dapatkan di sekujur tubuhnya. Sadam pun mulai tersadar dari bayang-bayang itu dan pandangannya kini tertuju kepada anak seusianya yang menabraknya beberapa saat lalu. Sadam bangkit dari tanah, ia langsung menghampiri anak tersebut dengan rasa amarah yang kini merasukinya. Tanpa basa-basi, Sadam langsung melanyangkan bogem mentah tepat di wajah anak itu. Beberapa temannya di lapang langsung menahan tubuh Sadam yang hendak meninju kembali anak itu. Anak itu pun lari ketakutan dan meninggalkan lapangan. Sadam terus meronta-ronta agar tubuhnya bisa lepas dari teman-temannya yang menahannya. Tapi, sosok anak itu pun kini sudah hilang berlari entah kemana. Setelah amarah Sadam mereda, teman-temannya pun kini melepaskan tubuhnya. Sadam tidak ingin melanjutkan pertandingannya. Ia meninggalkan lapangan dan segera pulang.

Jam menunjukan pukul 7 malam. Ayah, ibu, dan Sadam sedang menikmati santapan makan malam di ruang makan. Tiba-tiba…

"Ting…Tong…" Bel rumah berbunyi.

Mereka bertiga saling berpandangan dengan kebingungan karena mereka tidak mengharapkan tamu yang akan datang malam ini.

"Bi, tolong cek siapa yang datang !" perintah ayah pada Bi Minah seorang asisten rumah tangga.

"Baik, Tuan !" kata Bi Minah. Bi Minah pun segera berjalan menuju pintu depan rumah. Sempat terdengar seseorang berbicara serta membentak-bentak, namun tidak jelas apa yang ia bicarakan. Bi Minah pun kembali sambil tertunduk. Mengerti akan apa yang Bi Minah hadapi, Ibu langsung berdiri dan berjalan ke pintu depan. Kembali terdengar suara seorang wanita yang berbicara sambil membentak-bentak. Karena penasaran, ayah pun langsung menghampiri ibu, disusul oleh Sadam yang berjalan di belakangnya. Sadam sangat terkejut ketika melihat wanita paruh baya itu berdiri bersama seorang anak laki-laki yang tadi sore ia hajar pada saat pertandingan sepak bola.

"Dia orangnya ?" Tanya Wanita itu kepada anaknya sambil menunjuk Sadam. Anak itu melihat kearah Sadam dengan wajah memar bekas bogem mentah Sadam. Ia hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"LIHAT ANAK SAYA ! BABAK BELUR DI PUKUL ANAK ANDA !" Bentak wanita tersebut.

"Maafkan anak saya, bu !" Kata Ibu sambil membungkukkan badan.

"KALIAN BISA DIDIK ANAK GAK SIH !" Kembali wanita itu membentak ayah dan ibu.

"Sekali lagi, kami benar-benar minta maaf !" Kini giliran ayah yang membungkukkan badannya.

"ANDA DIDIK ANAK ANDA UNTUK JADI PREMAN ?!" Tanya wanita itu dengan membentak. Ayah dan ibu tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Mereka berdua masih tertunduk malu sambil membungkuk meminta maaf.

"Dia duluan yang…. PLAKKK!!!" Belum sempat Sadam menyelesaikan kata-katanya, sebuah tamparan keras dari ayah menerpa bibir mungilnya.

Tamparan membuat bibirnya sedikit sobek. Sadam memandang wajah ayahnya yang kini sudah dipenuhi oleh hawa amarah. Tubuh Sadam kembali bergetar ketakutan. Matanya membelalak seolah tahu apa yang sebentar lagi akan menimpanya. Ayah menjambak rambut Sadam dan menyeret tubuhnya kembali kedalam. Sementar itu, ibu terus meminta maaf pada wanita itu sambil mulai menangis. Sadam berusaha melepaskan cengkraman erat ayah pada rambutnya. Namun, kekuatan pria dewasa tidak akan sebanding dengan kekuatan seorang anak berumur 7 tahun. Ayah menghentikan langkahnya tepat di depan gudang yang gelap dan berdebu. Ia mendorong Sadam untuk masuk kedalam gudang itu dan menguncinya dari luar. Dengan sekuat tenaga, Sadam menggedor-gedor pintu dari dalam gudang dan memohon pada ayahnya.

"Ayah maafin Sadam, Yah ! Maafin Sadam !" Pinta Sadam sambil menggedor-gedor pintu.

Ayah tak menghiraukan Sadam, ia hanya berlalu dan kembali ke meja makan untuk menyelesaikan makan malamnya.

"Tik…Tik…" terdengar suara dentingan jam ke seluruh penjuru ruangan, pertanda bahwa ruangan ini sangatlah sunyi.

Tampak seorang anak laki-laki sedang terduduk di lantai dan bersandar pada dinding ruangan. Ia terduduk sambil menyembunyikan wajahnya pada kedua tangannya yang saling menumpuk dan bertumpu pada kedua lututnya. Dalam kegelapan dan kesunyian, anak laki-laki itu sesekali mengusap air matanya yang meleleh di pipi.

"Kreeekkk…" Suara pintu terbuka.

Cahaya dari luar mulai menerobos masuk dan menyoroti wajah anak lelaki itu. Ia menengadahkan kepalanya kearah pintu. Sorot matanya menangkap sebuah siluet seorang lelaki berbadan tegap sedang berdiri sambil menggenggam sebuah balok kayu panjang. Anak laki-laki itu pun sontak menunjukkan ekspresi sangat ketakutan. Matanya terbelalak saat sosok itu berjalan mendekatinya. Semakin dekat, semakin jelas bahwa sosok lelaki yang membawa balok kayu tersebut adalah ayahnya.

"Ayah, maafin Sadam !" Pinta anak itu dengan lemah.

Ayah tidak menghiraukan perkataan anaknya, ia malah mengayunkan balok kayu panjang yang ia genggam dan menghantamkannya kepada Sadam. Pandangan Sadam mulai gelap. Tubuhnya yang mungil tergulai tak berdaya diatas lantai. Ia merasakan sebuah cairan mengalir di kepalanya. Cairan itu merupakan darah yang mengalir akibat balok kayu yang menghantam kepalanya. Tubuh Sadam sudah sangat lemah. Namun, telinganya masih menangkap suara ibunya yang datang dan hendak menghampirinya.

"Ibu, Tolong aku !" Kata-kata terkahir yang keluar dari Sadam dengan nada lemah, hingga Sadam akhirnya tak sadarkan diri.

Mentari mulai terbangun dari tidurnya. Sinarnya yang terang dapat menyinari dan melenyapkan kegelapan malam. Sinarnya yang hangat, menerobos jendela hingga mengenai wajah Sadam yang terbaring di tempat tidur. Perlahan, Sadam mulai membuka matanya yang bulat. Namun karena silau, ia tak mampu membuka penuh kedua matanya. Sadam mencoba membangkitkan tubuhnya dan berusaha duduk diatas kasur. Ia melihat keluar jendela, tampak gedung-gedung pencakar langit seolah sedang berdiri tegap menghadapi cerahnya pagi hari. Kedua mata Sadam mulai menyisiri ruangan ini. Tampak ibunya sedang tertidur diatas sofa sambil telentang.

"Dimana ini ?" Pikir Sadam dalam hati.

Saat ia hendak menghampiri ibunya yang tertidur pulas, ia baru sadar bahwa ada sebuah selang yang menempel di lengannya.

"Rupanya ini Rumah Sakit." Kata Sadam sambil kembali melihat keluar jendela.

Tak lama, ibu mulai terbangun dari tidurnya. Ia memfokuskan pandangannya kepada Sadam. Berulang kali ia mengucek-ngucek matanya agar pandangannya lebih jelas. Setelah pandangannya benar-benar jelas, ia langsung berlari dan memeluk Sadam dengan erat. Sadam hanya kebingungan dengan tingkah ibunya.

"Syukurlah nak ! Kamu udah sadar !" kata ibunya lalu mencium pipi Sadam.

Rasa haru tak dapat lagi di tahan oleh ibu. Ia menangis bahagia karena putranya kini telah sadar.

"Ibu kenapa nangis ?" Tanya Sadam dengan kebingungan.

Ibu lalu tersenyum dan berusaha menyeka air matanya dan kembali memeluk Sadam dengan erat.

"Ayah dimana ?" Tanya Sadam. Ibu yang awalnya tersenyum, kini wajahnya berubah menjadi murung.

"Kenapa aku disini ? Kenapa ibu nangis ? Ayah dimana ?" Ibu terus dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut Sadam.

Dengan tekad yang kuat, ibu berusaha untuk membuat dirinya tegar dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Sadam.

"Sadam di pukul sama Ayah, Ibu yang bawa kamu ke rumah sakit. Kamu udah gak sadar selama 3 hari. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa nak ! Ibu… Ibu…" Ibu tak sanggup meneruskan kata-katanya dan kembali menangis sambil memeluk Sadam dengan erat.

"Ibu gak usah khawatir. Aku sayang ibu. Sampai kapanpun aku gak akan pernah ninggalin ibu !" Kata Sadam berbicara di dekat telinga ibu.

Ibu melepaskan pelukannya dan mencoba untuk tersenyum. Namun, air matanya masih saja berlinang.

"Mulai sekarang, Sadam Cuma tinggal sama ibu. Kita pindah dari rumah itu. Kita gak usah tinggal lagi sama ayah." Kata Ibu sambil terus mencoba untuk tersenyum.

"Emang ayah kemana ? Kalo nanti aku di siksa ayah lagi gimana ?" Tanya Sadam.

"Kamu gak usah khawatir ! Ayah sekarang udah ditangkep polisi." Kata Ibu.

Perasaan Sadam bercampur aduk. Ia merasa sedih tapi juga sekaligus merasa tenang. Sadam merasa sedih karena kini ia akan merasakan hidup tanpa kasih sayang seorang ayah. Tapi, ia juga merasa tenang karena tidak akan ada lagi orang yang akan melukai dan menyiksanya. Satu hal yang Sadam pelajari dari kejadian tersebut adalah bahwa suatu saat kelak ia akan menjadi ayah, dan ia harus menjadi ayah yang baik agar anaknya kelak merasakan kasih sayang seorang ayah tanpa harus takut dilukai oleh ayahnya sendiri. Kebahagiaan masa kecilnya sudah terenggut, ia berharap bahwa anaknya kelak mendapatkan masa kecil dengan berbahagia dan berbeda dengan dirinya. Dan Semenjak itu, Sadam dan ibu hanya tinggal berdua. Meninggalkan ayahnya yang terkurung dalam jeruji besi karena kasus kekerasan terhadap anak.