Satya berdiri di depan pintu, "Seberapa basah?" Citra menjawab dari balik pintu, "Semuanya basah dan tidak bisa dipakai."
Dia tidak merasa marah sama sekali pada Citra, dan justru mengatakan, "Oke, mandi saja. Aku akan menyiapkan sarapan." Citra tidak berbicara, dan terdengar suara air dari pancuran di kamar mandi.
Satya berbalik dan berjalan ke ruang tamu. Dia menemukan ponsel yang jatuh di sofa tadi malam dan mengambilnya. Dia menelepon dan berbicara dengan ringan setelah telepon terhubung, "Bawakan aku satu set pakaian, aku akan kirimkan alamatnya."
Ternyata Satya menelepon Felix. Satya menambahkan, "Dan tolong bawakan susu kedelai, bubur kacang merah, nasi goreng, ayam panggang, sushi, roti panggang, pizza, telur rebus, roti isi selai. Semuanya dikirim dalam waktu setengah jam. Cepat!"
Felix mendengarkan semuanya dan bertanya, "Kamu tiba-tiba menghilang tadi malam, apakah kamu berlari untuk tidur dengan Citra?" Satya menutup telepon, dan hanya bunyi bip yang terdengar. Satya meletakkan ponselnya di atas meja kopi dengan santai, tanpa sengaja melihat sebuah kotak di lantai, matanya menyipit.
Satya teringat bahwa tadi malam Citra bilang padanya jika kotak itu berisi hadiah untuknya. Kotak berwarna biru itu memiliki merek di atasnya. Semuanya dalam Bahasa Jerman. Satya tahu merek itu. Apakah ini jam tangan pria? Jemari Satya yang ramping membuka kotak itu, dan ada arloji berwarna perak di dalamnya. Arloji itu sangat sederhana sehingga hampir tidak ada hiasan apa pun di sekelilingnya.
Dua puluh menit kemudian, bel pintu berbunyi.
Satya bangkit dan membuka pintu. "Wow! Coba lihat ini!" seru Felix. Dia sedang memegang sarapan dengan kedua tangannya sambil memandang ke pria yang berdiri di depan pintu dengan tatapan kagum. Felix melanjutkan, "Aku tidak menyangka kamu memiliki sisi liar seperti itu."
Sejak pertama kali bertemu Satya, Felix merasa bahwa pria itu adalah seseorang yang begitu pendiam dan tidak pernah bermain dengan wanita mana pun. Meskipun memiliki tunangan, Satya tidak pernah menyentuh Laras sama sekali, dan membiarkan itu hanya menjadi status. Felix memegang pakaian di kantong kertas di tangannya, dan kelopak matanya melihat goresan-goresan aneh di tubuh Satya, "Sialan! Satya, kamu benar-benar meniduri Citra? Gila!"
Felix memberikan pakaian itu padanya. Satya mengambilnya dan melirik Felix di sampingnya, "Bawa sarapan ke ruang makan dan lepas sepatumu."
Felix menyipitkan matanya, mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya karena terkejut, "Aku benar-benar tidak menyangka. Bagaimana kamu masih bisa melakukan hal seperti itu?" Felix pikir Satya akan putus asa karena Laras meninggalkannya tadi malam, tapi ternyata pria ini malah meniduri majikannya.
Satya berkata dengan cuek, "Kamu boleh pergi jika tidak ada yang lain." Felix masih bertanya, "Bukankah dia akan menikah hari ini?" Satya menjawab tanpa menoleh, "Tidak."
"Jadi kamu… memerkosanya?" tanya Felix dengan mata terbelalak. Satya mengerutkan kening, "Tidak. Dia tidak menganggapnya sebagai pemerkosaan."
"Dia tidak memanggil polisi untuk menangkapmu dan memasukkanmu ke penjara?" celetuk Felix. Satya menatapnya, "Dia membiarkan aku menjadi suaminya."
Felix hampir tersedak asap dari rokoknya. Wajahnya yang tampan dan seksi tanpa ekspresi. Setelah beberapa saat, Felix menatapnya, "Jadi kamu akhirnya memutuskan untuk mencampakkan Laras?"
Sikap Satya tidak berubah, "Aku sudah menelepon orangtuaku dan orang tuanya untuk membahas tentang ini. Aku juga telah mengirim pesan padanya."
Felix masih tidak percaya, "Jadi kamu benar-benar ingin bersama Citra?" Satya hanya berdeham. Felix yang sedang merokok menyipitkan matanya, "Kamu… Apakah kamu menyukai Citra?"
"Aku tidak membencinya. Aku bisa hidup bersamanya, dan aku memiliki keinginan untuk selalu bersamanya," jawab Satya dengan puitis.
Felix masih mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Satya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria itu berani meniduri tunangan Miko. Citra bisa memasukkannya ke penjara, tapi dia bahkan tidak melakukannya.
Felix memutuskan untuk keluar, menggosok tangannya dan bertanya dengan hati-hati, "Satya, apakah kamu bermain diam-diam?" Satya mendorongnya keluar dan menutup pintu dengan keras.
Satya mengganti pakaiannya di ruang tamu, melipat baju ganti dan memasukkannya kembali ke dalam tas kertas. Lalu, dia mengambil arloji di atas meja kopi, dan memasangnya di pergelangan tangannya.
Citra sudah di dalam kamar mandi selama empat puluh menit sebelum dia keluar dengan mengenakan baju tidur. Begitu dia memasuki ruang makan, dia melihat semua jenis sarapan tersusun rapi di atas meja persegi panjang itu. Satya duduk di sana dengan punggung tegak, anggun dan tegas. Dia telah mengganti pakaiannya, dan kini sedang mengenakan pakaian dengan warna keren. Dia berkata, "Segera makan sarapanmu selagi hangat."
Citra meliriknya, lalu berjalan untuk duduk. Dia melirik Satya dengan santai, dan berkata, "Makanan ini pasti sudah dingin." Satya menjawabnya dengan santai, "Karena kamu mandi selama empat puluh menit."
"Aku ingin makan mie," celetuk Citra secara tiba-tiba. Wajah Satya tampak pucat mendengar permintaan gadis itu, "Jika kamu yakin ingin makan mie, aku bisa memasak semangkuk mie instan untukmu."
Citra menjawab dengan yakin, "Ya, aku ingin makan mie." Dia berpikir dengan hati-hati, bagaimana mungkin Satya menuruti semua keinginannya saat ini. Pria itu berkata dengan lembut, "Oke, aku akan buang ini semua, dan aku akan memasak mie untukmu."
Citra protes, "Bagaimana jika masakanmu tidak enak?" Satya tersenyum tipis, "Ini yang harus aku khawatirkan. Jika tidak enak, bukankah kamu tidak perlu memakannya?"
Citra menatapnya dan kemudian mengalihkan pandangannya ke meja. Nasi goreng di meja terlihat lezat. Tampaknya itu dibeli dari restoran favoritnya. Dia berusaha mendorong nasi goreng itu dengan satu tangan, dan suara pria itu tiba-tiba terdengar, "Makanlah beberapa sendok nasi goreng dulu, makan telur rebus favoritmu, dan minum secangkir susu kedelai selagi aku memasakkan mie untukmu."
Citra memang sangat lapar. Dia tidak makan apa-apa tadi malam. Terlebih, tenaganya habis karena perlakuan Satya. Aroma nasi goreng menyentuh indra penciumannya dan membuatnya memasang senyum di bibirnya. Dia memutuskan untuk menyendokkan nasi goren dan telur rebus ke mulutnya. Satya ikut mengambil roti isi selai dan makan perlahan.
Di tengah makan, Citra yang sedang asyik makan nasi goreng, tidak sengaja melihat bubur ayam yang tampak benar-benar lezat. Dia mengambil sendok dan memasukkan bubur itu ke mulutnya. Saat dia sedang makan, dia tidak sengaja melihat Satya yang duduk di seberangnya sedang makan dengan tenang.
Dia tiba-tiba teringat saat terakhir kali Satya berbagi sate telur puyuh dengannya. Dia mengambil sendok lagi dan meletakkan sisa telur puyuh yang ada di bubur ke atas roti Satya, "Telur puyuh ini. Aku beri kamu satu agar kamu bisa mencobanya."
Satya melihat ke telur puyuh itu, dan kemudian menatap Citra. Wajah gadis itu tampak halus tanpa riasan. Dia menatapnya dengan alis yang sedikit terangkat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menundukkan kepalanya dan dengan tenang memakan setengah dari telur puyuh yang diberikan Citra. Lalu, dia berkata dengan ringan, "Telurnya tidak terlalu enak."
Reaksi Satya membuat Citra agak kesal, jadi dia menundukkan kepalanya dan terus makan nasi goreng dan bubur ayam yang ada di hadapannya. Ketika dia sudah kenyang, dia meminum susu kedelai. Satya menatap bulu matanya yang tebal dan lentik, "Mengapa kamu tidak jadi menikah dengannya? Kenapa kamu menyerah begitu saja?"