Setelah jeda beberapa saat, Satya akhirnya menutup pintu kamar tidur Citra, lalu berbalik dan pergi. Saat melewati ruang tamu, dia melirik ke arah tas Citra yang ada di sofa. Dia berjalan mendekat, mengambil ponsel Citra. Dia mengubahnya ke mode diam, dan meletakkannya di meja sebelum pergi.
Suasana apartemen Citra kembali sunyi.
Di kamarnya, Citra sedang memeluk selimut lembut yang membungkus tubuhnya. Dia membuka matanya sejenak untuk memastikan Satya sudah pergi, kemudian memejamkan matanya, dan tertidur lelap.
____
Keesokan paginya, hujan terus turun, dan pemandangan di luar dari kamar tidur Citra tampak suram. Citra merasa sakit kepala, lalu dia menunduk dan mencium bau tubuhnya. Dia teringat bahwa dirinya tertidur tanpa mandi dulu tadi malam. Dia segera bangkit, pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya.
Citra mengambil satu set pakaian dan mencari ponselnya sambil menyeka rambut. Dia sedang berpikir apakah dia akan turun untuk mencari makan sendiri atau menelepon pelayan untuk membawakannya sarapan. Begitu dia membungkuk untuk mengambil ponsel di meja, bel pintu berbunyi. Citra segera membuka pintu dengan handuk yang masih menempel di kepalanya.
Orang yang berdiri di depan pintu adalah Miko. Begitu pintu terbuka, dia segera mengangkat kepalanya dan menatap wanita dengan rambut basah yang dibalut handuk itu. Dia berkata, "Citra." Miko meminta sopir untuk menjemputnya tadi malam, tetapi sopir itu mengatakan kepadanya bahwa pengawal Citra telah menjemputnya. Selain itu, sang sopir mengatakan bahwa Satya dan Citra tampak seperti sepasang kekasih. Jika mereka tidak menjaga jarak, hal itu akan berbahaya bagi hubungan Miko dan Citra nantinya.
Kata-kata sopir Miko itu terngiang di kepalanya sejak tadi malam.
Miko menelepon Citra berulang kali tadi malam, tetapi dia tidak menjawab. Dia sangat kesal, jadi dia memutuskan untuk menelepon Satya.
Saat Satya menjawab telepon Miko, pria itu menjawab dengan santai, "Nona Citra sedang mabuk. Dia pasti sudah tertidur, jadi dia tidak menjawab telepon."
Kini Citra mundur selangkah dan membiarkan Miko masuk, suaranya masih serak setelah mabuk, "Miko, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu datang ke sini pagi-pagi sekali?" Miko menatap wajahnya. Sepertinya tidak ada yang berubah dari Citra.
Karena merasa ragu, Miko berkata, "Aku minta maaf atas apa yang terjadi tadi malam."
"Tadi malam?" celetuk Citra merasa bingung. Dia tidak ingat apa yang terjadi tadi malam, bahkan dia tidak tahu sama sekali apa yang sedang dibicarakan Miko. Dia hanya ingat bahwa dirinya bertemu dengan Satya, Laras, dan Arya saat di Bar Castillo. Kemudian dia pergi makan malam dengan Bening, dan mabuk. Dia juga samar-samar ingat bahwa Satya mengantarnya pulang.
Miko terkejut, dan segera sadar bahwa Citra mabuk tadi malam. Dia ingat bahwa Bening dan Satya yang meneleponnya. Citra mungkin tidak tahu apa-apa, jadi gadis itu merasa bingung dengan pertanyaannya. Akhirnya, Miko mengubah topik, "Apakah kamu sudah sarapan?"
"Belum. Aku baru saja selesai mandi," jawab Citra. Miko membalas, "Apa pun yang ingin kamu makan, aku akan membelikannya untukmu."
Citra menyeka rambutnya dengan handuk, "Tidak perlu repot-repot, aku bisa pesan di ojek online."
Pria itu bersikeras, "Kamu keringkan saja rambutmu, aku akan membelinya." Citra akhirnya menyerah, "Ya sudah kalau begitu. Aku minum terlalu banyak tadi malam, dan sekarang aku tidak nafsu makan. Belikan aku bubur saja." Miko mengangguk dan segera pergi.
Citra berdiri di pintu apartemennya, melihat Miko pergi. Lalu, dia perlahan menutup pintu. Dia kembali ke sofa dan mengambil ponselnya. Setelah layar ponsel menyala, dia melihat tiga atau empat panggilan tak terjawab, salah satunya pagi ini. Dia langsung menelepon Bening.
Suara Bening yang linglung menyambutnya di telepon, "Hei."
"Bening, apakah terjadi sesuatu tadi malam?" tanya Citra.
Bening menjawab, "Tidak ada apa-apa, memangnya kenapa?"
"Oh, Miko baru saja datang menemuiku. Dia bilang dia meneleponku tadi malam, tapi aku tidak menjawabnya," jelas Citra pada Bening.
Bening mengerutkan keningnya. Karena dia baru saja bangun tidur, dia hanya mengatakan apa yang dia pikirkan, "Kemarin kamu mabuk. Nah, aku menelepon Miko untuk menjemputmu. Dia berkata di telepon bahwa dia akan segera datang. Setelah menunggu lama, ternyata sopirnya yang datang, tetapi pada akhirnya Satya yang membawamu pulang."
Citra mengerucutkan bibirnya. Dia tidak berbicara untuk waktu yang lama. Bening merasa ada yang tidak beres, "Citra?" Citra buru-buru menjawab, "Tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu, kamu bisa lanjut tidur. Dah!"
Setelah menutup telepon, Citra diam di tempatnya untuk beberapa saat. Satu menit kemudian, dia meletakkan ponselnya dan bangkit untuk menjemur handuknya yang basah. Di saat yang sama, Miko datang membawa bubur ayam.
Miko melihat Citra memakan bubur yang dibelikannya. Citra menyendok bubur dan memakannya pelan-pelan, "Miko, ada apa?" Pria itu menatapnya lekat-lekat, suaranya yang pelan agak serak, "Aku berjanji akan membawamu melihat cincin kawin waktu itu. Tapi, karena terjadi sesuatu, akhirnya kita tidak jadi pergi."
Mereka akan menikah lusa, tapi mereka bahkan belum menyiapkan cincin kawinnya. Miko melihat wajah Citra yang tersenyum. Tiba-tiba dia mengeluarkan kotak perhiasan dari sakunya, dan berbisik, "Aku membeli cincin ini. Kamu bisa melihatnya. Jika kamu tidak suka, aku akan membawamu untuk membeli yang lain."
Citra menatapnya. Dia tersenyum sekilas dan mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Kotak perhiasan warna merah itu dia dibuka dengan jari rampingnya. Ternyata itu adalah sebuah cincin dengan berlian berukuran besar!
Citra memang kaya sejak kecil, tapi dia tetap merasa sedikit terharu dan terkejut saat melihat cincin berlian yang sebesar itu. Miko memang jarang menghabiskan waktu bersamanya, tapi dia tidak pernah ragu untuk menghabiskan uang untuknya. Miko memandangnya dan memandang cincin berlian yang ada di tangan Citra, "Kamu tidak suka?"
Citra tersenyum padanya, "Bagaimana bisa seorang wanita tidak suka berlian? Terima kasih, aku sangat menyukainya." Sepertinya tidak ada yang salah dengan Citra, tetapi saat Miko melihat senyumannya, dia merasa bahwa kesedihan di hati Citra belum hilang. Senyuman yang dia harapkan adalah seperti saat Citra menerima mawar darinya pagi itu.
Citra masih tersenyum, menatapnya dengan mata berbinar, "Maukah kamu menemaniku kencan hari ini?" Miko menatapnya, merasa bingung untuk beberapa saat. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata pelan, "Lusa adalah pernikahan kita. Aku harus mengurus perusahaan dan pernikahan kita dalam dua hari ini. Aku tidak punya waktu untuk saat ini." Setelah jeda, dia mengulurkan tangan dan menyentuh kepala Citra, "Saat kita tiba di Eropa, aku akan menemanimu untuk kencan sepuasnya. Bagaimana?"
Keduanya berbicara sebentar sebelum Miko bangkit dan pergi. Citra mengantarnya turun seperti biasa untuk melihat mobilnya pergi. Ketika dia kembali ke kamarnya, dia melihat mawar di meja kopi, lalu berjalan mendekat, dan dengan lembut menyentuh kelopak bunga dengan jari-jarinya. Sepertinya bunga itu akan layu.
Setelah beristirahat di rumah untuk waktu yang lama, Citra menelepon Bening untuk mengajaknya makan malam dan berbelanja.
Bening menanggapinya dengan nada menggoda, "Ya ampun, kamu akan jadi pengantin sebentar lagi, kenapa malah bermalas-malasan?"
"Apa? Malas-malasan apanya? Berbelanja bukan malas-malasan. Lagipula, aku tidak ada waktu lagi. Setelah pernikahan, kita akan melakukan perjalanan bulan madu ke Eropa dan pindah ke rumah baru setelah kembali ke Medan. Jadi, aku harus membeli beberapa pakaian sekarang."