Melihat seseorang datang mendekati mobilnya, Citra berpikir bahwa pasangan muda yang menumpangi mobil itu bersedia untuk memberikan tumpangan pada mereka untuk turun dari gunung. Citra pun segera membuka pintu mobil. Namun, dia justru melihat seorang gadis muda menangis dengan riasan di wajahnya, "Pacarmu… Dia memintaku datang untuk menjemputmu."
Pacar? Batin Citra. Dia adalah bintang hebat, mengapa tidak ada yang bisa mengenalinya? Tentu saja tidak ada yang mengenalinya karena saat itu hujan dan cahaya redup, ditambah dengan rasa takut, mata gadis itu pasti tidak bisa melihat Citra dengan jelas. Belum lagi, siapa yang akan mengira kalau dirinya bertemu dengan bintang besar di gunung yang sepi ini?
Citra tidak mengerti kenapa gadis ini menangis, tapi dia memilih untuk tidak bertanya apa pun. Dia keluar dari mobil dan berjalan di bawah payung dengan gadis itu. Gadis itu segera memiringkan payungnya ke tubuh Citra, seolah dia takut Citra akan basah. Payung ini besar dan sangat cukup untuk mereka berdua. Citra berkata, "Aku baik-baik saja. Kamu tidak perlu memiringkan payun ini."
Gadis itu meliriknya dan tidak berbicara, tetapi payung itu masih miring ke arah Citra. Kursi pengemudi mobil yang tadinya ditumpangi gadis itu sudah ditempati oleh Satya, dan kekasih gadis itu didorong ke kursi belakang. Ketika mereka mendekat, Satya membuka pintu penumpang dan membiarkan Citra duduk di sebelahnya dan gadis itu di belakang.
Setelah masuk ke dalam mobil, Citra merasa suasananya agak aneh. Mobil menyala dan meluncur menuruni gunung. Tak disangka, hujan deras di puncak tadi hanya tersisa gerimis saat mereka mencapai kaki gunung.
Citra mengerutkan keningnya dan memandang pria yang mengemudi di sebelahnya dengan kebingungan, tetapi pria itu diam saja seolah tidak ingin bicara apa pun dengannya. Citra juga tidak ingin mengungkapkan identitasnya di hadapan pasangan muda itu, jadi dia mengurungkan niat untuk berbicara.
Saat tiba di sebuah hotel di kaki gunung, polisi segera mengepung mobil mereka karena tampak mencurigakan. Citra tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan melihat bahwa dua orang di kursi belakang turun dengan tergesa-gesa, dan berlari ke salah satu polisi dan menunjuk ke arah kursi pengemudi. Gadis muda tadi berkata, "Tangan pacarku terjepit jendela mobil dan mereka menolong kami. Ini bukan perampokan, pak."
____
Kantor polisi.
Meskipun wajah Citra tampak tidak tahu apa-apa, tapi penjelasan gadis tadi bisa membuktikan bahwa hal ini adalah kesalahpahaman. Polisi mengira Satya telah merampok pasangan muda itu, tapi dia terbukti tidak melukai siapa pun.
Setelah setengah jam, Citra bersin dan berdiri, "Bisakah kita pergi, pak?" Polisi berkata, "Ya, Nona Citra, berita acaranya sudah selesai, dan kami akan menghubungi seseorang untuk mengantarkan mobil Anda. Anda bisa pergi sekarang."
Citra tersenyum sedikit, "Oke, terima kasih." Setelah itu, dia berjalan keluar pintu. Saat berpapasan dengan pasangan muda tersebut, Citra terdiam sejenak, dan berkata, "Maafkan aku, awalnya aku hanya ingin meminta seseorang untuk membawa kita turun gunung, tapi ternyata pengawalku membuat kalian takut hingga tanganmu terjepit jendela. Maaf sekali lagi."
Citra yang cantik terlihat lebih manis saat tersenyum. Satya yang ada di sebelahnya turut menimpali dengan acuh tak acuh, "Itu semua sebuah kesalahpahaman, kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi lain kali. Kami tidak berniat untuk memaksa kalian."
Citra mengobrak-abrik tasnya, menemukan liontin indah, dan menyerahkannya kepada gadis itu, "Aku pergi ke Milan bulan lalu dan temanku memintaku untuk membawakan liontin ini, tapi aku belum sempat bertemu dengannya. Aku akan memberikannya padamu sebagai ucapan terima kasih karena telah memberi tumpangan." Liontin itu terlihat sangat indah, tentu saja tidak murah.
Gadis itu merasa malu, "Tidak, kami tidak melakukan apa-apa. Kalian yang sudah menolong kami. Kamu bisa berikan itu kepada temanmu." Melihat Citra mengulurkan tangannya, gadis itu akhirnya mengambilnya, "Terima kasih. Aku akan memakainya terus."
Satya melihat wajah tulus Citra yang tersenyum cerah tanpa bersuara, dan mengikutinya dalam diam. Di pintu kantor polisi, tampak sesosok pria tinggi berdiri di sana. Pakaian formal Miko yang elegan dan mahal juga sedikit basah. Dia menundukkan kepalanya, matanya menatap ke arah Citra dan Satya, seolah-olah dia telah berdiri di sana untuk waktu yang lama.
Citra kaget saat melihatnya, dan kemudian berkata sambil tersenyum, "Miko! Kamu ada di sini? Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku di sini?"
"Citra," Miko memanggil namanya, sepertinya dia sedang menahan emosi. "Jika bukan pihak kantor polisi yang meneleponku, kapan kamu akan memberi kabar padaku bahwa kamu ada di sini?" tanya Miko serius.
Citra menatapnya dan tertawa, "Aku hanya tidak ingin menjawab panggilan teleponmu tadi." Miko berkata dengan dingin, "Bahkan panggilan telepon ayahmu?"
Citra menunduk dan tersenyum, "Aku sering tidak menjawab panggilannya. Ah, bagaimanapun juga, hubungan antara ayah dan anak perempuan di keluargaku tidak terlalu baik. "
Di mata Miko, sikap Citra kali ini adalah semacam tindakan yang tidak sopan dan sembrono, tidak hanya untuk ayahnya, tetapi juga untuk dia. Mata Miko menyipit, melihat pria di samping Citra. Satya menatap lurus ke arahnya, matanya dingin. Wajahnya tampak tanpa ekspresi, tetapi Miko masih bisa membaca sarkasme di wajah pengawal pribadi Citra itu.
Miko memandang Satya dan Citra berdiri berdampingan, tiba-tiba merasa mereka berdua tidak seperti sebelumnya. Mungkin itu karena Citra tiba-tiba menghilang seharian ini, dan karena pakaian Satya yang jelas berbeda dari biasanya, atau mungkin karena alasan lain.
"Apa kamu pergi bersamanya sepanjang hari ini?" tanya Miko menatap tajam ke arah Satya. Citra memiringkan kepalanya sedikit, "Kamu sangat aneh. Kenapa menanyakan hal ini? Dia selalu menemaniku sepanjang hari, dan kamu dulu bilang memang itulah tugas pengawal. Lagipula kamu tidak bisa selalu berada di sampingku."
Miko memandangi wajah Citra yang lembut dan menawan dengan senyuman, bibir tipisnya membentuk garis lurus, sedikit pucat. Pada akhirnya, Miko berkata lagi, "Citra, ayo bicara. Berdua saja."
Seseorang pernah mengatakan kepada Miko sebelumnya bahwa Citra adalah seorang wanita muda yang mudah termakan emosi, sombong, dan egois. Hal itu membuat Miko tidak ingin menjadikan wanita seperti dia sebagai istrinya. Dia selalu berpikir bahwa deskripsi tentang Citra yang seperti itu tidak benar, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Citra sangat mirip dengan kuda liar yang sulit untuk dikendalikan.
Citra mengalihkan pandangan dari Miko dan melihat ke arah puncak gunung, "Tidak perlu bicara, dengarkan saja aku, aku tahu apa yang ingin kamu katakan."
Karena tadi Citra pergi ke gunung untuk berolahraga panjat tebing, rambut panjangnya diikat menjadi kuncir kuda, sehingga tubuhnya terlihat lebih kecil. Citra berkata dengan nada tenang, "Berita sebelumnya tidak ada hubungannya dengan berita tentang kerusuhan penggemarku yang berusaha menyerang Yulia tadi malam. Aku tidak bisa menjelaskan padamu jika bukan aku yang memulai semuanya karena aku tahu kamu tidak akan percaya."
Citra menatap mata Miko, mengangkat alisnya dan tersenyum, "Aku tidak berbohong, dan aku tidak membesar-besarkan fakta. Selama ini aku memang selalu menerimamu apa adanya karena aku mencintaimu. Aku tidak mengatakan apa-apa sebelumnya walaupun kamu selalu mengabaikanku. Tapi, itu tidak berarti aku bisa menutup mataku dan pura-pura tidak tahu tentang hubungan tunanganku dengan mantan pacarnya."