Satya melirik Citra dan berkata, "Bukankah nona yang mengizinkan saya untuk tinggal di sini tadi malam? Nona yang meminta saya untuk tidak pergi." Mata Citra melebar, "Mustahil. Kapan aku mengatakannya?"
Satya menggelengkan kepala melihat tingkah laku Citra, "Tadi malam, nona memegang tangan saya dan berkata bahwa nona tidak ingin saya pergi." Citra berkata tanpa berpikir, "Apa yang kamu bicarakan? Tadi malam jelas-jelas aku sudah tidur, bagaimana bisa aku mengatakan itu padamu?" Mata pria itu sedalam laut hitam, menatapnya, "Benarkah?"
Setelah beberapa saat, Citra mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan, "Aku ingin minum susu kedelai di pagi hari. Pergilah ke toko di lantai bawah dan belikan aku satu botol susu kedelai tanpa gula." Setelah mengatakan itu tanpa ekspresi, Citra berbalik dan berjalan kembali ke kamar tidur, lalu menutup pintu. Di kamar tidur, Citra menundukkan kepalanya dan berdiri di dekat pintu. Dia mencibir dirinya sendiri.
Setelah setengah jam, Citra berganti pakaian setelah mandi. Dia merias wajahnya dengan polesan yang tipis, dan keluar. Susu kedelai dan roti isi selai sudah tersedia di atas meja. Aromanya sangat menggoda. Citra langsung menyambar roti isi selai dan susu kedelai itu. Satya juga membeli semangkuk bubur untuk dirinya sendiri dan memakannya dengan tenang. Tak satu pun dari mereka yang berbicara, dan suasana sarapan pagi itu terasa sunyi.
Citra melihat semangkuk bubur yang ada di tangan Satya. Dia menelan air liurnya dengan susah saat melihat sate telur puyuh yang ada di atasnya. Meskipun Citra tidak mengatakannya dengan jelas, Satya sudah tahu bahwa gadis ini menginginkan sate telur puyuh yang ada di mangkuknya itu. Dia langsung memberikan setusuk telur puyuh dan meletakkannya di hadapan Citra. Melihatnya Satya seperti itu, Citra pada awalnya sedikit tidak senang karena perlakuan pria itu mengingatkannya pada Miko.
Beberapa detik kemudian, Satya meletakkan sendoknya dan berkata dengan ringan, "Sudah siang, Anda harus makan lebih cepat agar tidak terlambat untuk ujian."
Citra tidak menolak untuk mengikuti ujian kali ini. Dia juga meletakkan roti isi selai yang sisa setengah dan berkata dengan dingin, "Kamu tidak makan roti isi selai itu? Kenapa kamu hanya makan bubur?"
Citra merasa kesal karena Satya seolah tidak menghargai pemberiannya. Dia segera berdiri, menarik kembali kursinya, dan membuat suara keras untuk menunjukkan kekesalannya. Dia mengambil tas di ruang kerjanya dan hanya mengemas barang-barang yang perlu dipersiapkan untuk ujian. Wajahnya yang cantik terlihat datar dan tanpa ekspresi. Saat ini dia sedang berjalan keluar dari ruang kerja bahkan tanpa melihat Satya yang ada di ruangan itu.
Citra membuka pintu apartemennya dengan marah. Dia hendak melangkah keluar, tetapi sedetik berikutnya dia melihat sesosok pria berdiri di pintu. Langkah kakinya berhenti seketika. Pria yang berdiri di depannya adalah Miko. Citra melihat wajahnya yang lembut dan tampan, dan jari-jarinya tanpa sadar memegang tas yang ada di bahunya lebih erat.
Miko menatap Citra. Rambut panjang gadis itu diikat. Dia mengenakan baju dengan warna dan gaya yang sederhana tapi tetap elegan. Saat ini Citra terlihat seperti seorang siswa biasa. Tidak ada ekspresi di wajahnya, senyuman yang biasa Miko lihat juga tidak tampak. Kemudian, dia melihat pria di belakang Citra, yang tubuhnya lebih tinggi dari gadis itu.
Miko tertegun, dan melupakan kalimat yang telah dia persiapkan. Akhirnya, dia bertanya dengan sungguh-sungguh pada Citra, "Kamu bersamanya tadi malam?" Ada sedikit perasaan curiga dalam pertanyaan yang dilontarkan oleh Miko pada Citra.
Citra menjawab dengan santai, "Sepertinya begitu." Miko mengerutkan alisnya, "Apa artinya sepertinya begitu? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku?" Citra berkata dengan ringan, "Aku tidak tahu karena dia masih di sini sebelum aku tidur, dan dia sudah ada di sini ketika aku bangun."
Miko melirik pria tampan dan cuek yang ada di belakang Citra, matanya memperlihatkan tatapan tajam sekarang. Setelah cukup lama, dia berkata, "Citra, meskipun dia adalah pengawalmu, tapi membiarkannya tinggal bersamamu semalaman bukankah terlalu berbahaya? Bagaimana jika orang lain tahu?"
Miko teringat kejadian yang menimpa Citra tadi malam. Dia sedikit murung karena sikap Citra yang seolah biasa saja saat mengetahui bahwa Satya menginap di apartemennya. Dia berkata dengan tegas, "Citra, dia laki-laki."
Suasana hening seketika. Citra memiringkan kepalanya dan tersenyum, "Saat aku meminum obat perangsang waktu itu, kamu membiarkanku bersama dengannya karena kamu harus menemui mantan kekasihmu itu, padahal bisa saja sesuatu terjadi. Mengapa kamu tiba-tiba keberatan bahwa dia adalah seorang laki-laki sekarang?"
Sejauh ini Miko tidak berencana untuk membatalkan pernikahannya dengan Citra. Bagaimanapun, dia sadar bahwa dirinya telah membuat Citra dalam bahaya tadi malam karena tidak menjemputnya sendiri. Tapi, kini dia merasa kesal karena Satya ternyata tinggal bersama Citra semalaman tanpa sepengetahuannya. Setelah hening beberapa saat, Miko berbicara lagi, "Kamu mau pergi ke sekolah?"
Citra menjawab dengan tidak peduli, "Ya, ada ujian." Miko melirik Satya yang selalu pendiam di belakang Citra dan bergumam, "Sampai jumpa." Citra memandangnya, dan setelah beberapa saat dia tersenyum dan berkata, "Aku pikir kamu datang ke sini untuk menjelaskan apa yang terjadi tadi malam." Mendadak rasa bersalah dalam hati Miko tidak bisa dibendung. Dia berkata dengan nada menyesal, "Apa yang terjadi tadi malam, Citra, maafkan aku."
"Aku tidak butuh kata maafmu," jawab Citra tanpa menatap Miko yang ada di hadapannya. Bila tidak ada senyuman, mungkin wajah Citra saat itu akan membuat semua orang merasa takut saat melihatnya. Gadis yang memiliki senyum seperti sekuntum bunga yang mekar ini tiba-tiba memasang ekspresi kejam. "Miko, kamu harus mengerti bahwa aku selalu menderita karenamu, tapi kamu malah mengabaikanku dan lebih mementingkan mantan kekasihmu?"
Miko berusaha menjawab dengan lirih, "Tadi malam aku berencana menjemputmu sendiri, tapi sebelum aku meninggalkan rumah sakit, seorang paparazzi masuk, jadi aku meminta sopirku untuk menjemputmu." Setelah terdiam sejenak, Miko melanjutkan, "Tidak lama setelah itu, polisi meneleponku dan aku tahu bahwa sopirku dipukul oleh suaminya Yulia di tempat parkir bawah tanah, lalu dia berpura-pura menjemputmu di bar."
Citra tersenyum tipis dan bertanya, "Tapi kenapa dia tahu bahwa kamu meminta sopir untuk menjemputku. Dia bahkan tahu di mana aku berada saat itu."
Miko mengerutkan kening dan berkata, "Sopirku berkata bahwa suami Yulia mengancamnya dengan pisau, jadi dia memberitahu di mana kamu berada saat itu. Suami Yulia mungkin mengenal sopirku, jadi dia mengikutinya ketika dia melihatnya mondar-mandir di luar rumah sakit. "
Citra menunduk dalam diam. Setelah beberapa saat, Miko berkata, "Citra, aku akan mengantarmu ke sekolah." Citra akhirnya mengangkat kepalanya dan segera melangkah, "Ayo pergi."
Citra berjalan di depan. Di belakangnya, dua pria dengan tinggi yang sama saling memandang selama beberapa detik, lalu Miko berbalik dan mengikuti langkah Citra.
Lamborghini hitam milik Miko diparkir di tempat parkir apartemen. Saat melihat ke arah mobil, Citra tiba-tiba berhenti dan menutup matanya, "Miko."
"Ada apa?" tanya Miko penasaran. "Ayo kita pakai mobilku saja." Miko menoleh, menatapnya dalam-dalam sejenak, dan berkata, "Berikan kunci mobilmu."
Setelah Ferrari putih milik Citra dinyalakan, suasana di dalamnya menjadi sunyi. Tidak ada suara lain kecuali suara mesin mobil. Miko melihat ke samping. Dia melirik Citra yang kini jadi pendiam, "Kapan tesmu selesai? Aku akan menjemputmu."