Berlari
Entah yang keberapa kalinya aku berlari. Bahkan jika dipikir-pikir lagi sebenarnya apa yang bisa kulakukan hanyalah berlari.
Melarikan diri dari kehidupanku sebagai Carol Van Allen, kemudian menyerahkan diriku pada Lucas sang Duke Kegelapan. Namun, siapa sangka dari awal kaki dan tanganku telah dijerat rantai takdir. Skenario lucu Tuhan yang telah mempertemukanku dengannya, satu-satunya hal yang ku syukuri dari salah satu takdir terkutuk.
Pada awalnya memang aku hanya menerima saja saat kau menarikku untuk berdiri di sampingmu sebagai Kekasih sehidup sematimu. Sejujurnya saja aku hanya pasrah dan melakukannya, sekalipun aku mengetahui apa yang kau lakukan semata-mata hanya agar dapat merasakan apa itu hasrat dari sebuah emosi ....
Namun, akhirnya aku terjatuh dan terjebak dalam pesonamu. Kau yang mendekapku saat ingatan mengerikan itu kembali membelai setiap sarafku. Mengucapkan padaku setiap hal akan baik-baik saja, selalu menenangkan dan memberikan dekapan hangat sekaligus dingin yang telah lama kudamba dan kurindukan.
Pangeran kegelapanku yang dibenci seluruh dunia. Monster mengerikan yang dihukum para Dewa atas dosanya, betapa lucunya karena sosok terkutuk seperti kami justru dipaksa hidup dengan harga nyawa-nyawa mereka yang terkasih.
Namun, aku tidak peduli lagi.
Aku akan memanggil namamu, berulang kali bahkan jika pita suaraku terputus, maka tanganku akan berusaha menggapaimu.
Takdir terkutuk dan para Dewa bedebah itu, aku tidak peduli. Bahkan jika ini memang skenario mereka, perasaan ku adalah sebuah kenyataan. Rumah yang selalu kau ucapkan padaku, aku juga akan menunjukkannya padamu.
"Erden, apa masih jauh?" tanyaku pada pria bersurai perak yang masih berlari. Denting rantai terdengar sesekali saat beberapa Orc berusaha menerjang kami.
Zrashhh ...
Bilah pedangku juga turut membantu Kakak sulungku menebas satu persatu tubuh raksasa para Orc, "Tidak, sebentar lagi. Kau pasti bisa merasakan aura Duke, bukan?"
Aku mengangguk pelan karena masih tak percaya sensasi merinding dan mengerikan ini milik Lucas. Perasaan yang sama seperti pemandangan yang ditunjukkan Lilith. Bahkan suasana hutan yang seharusnya telah menghangat dan terang, saat ini justru sebaliknya. Matahari telah menempati singgasananya, namun kegelapan masih menyelimuti hutan dan seluruh pulau.
Mengerikan.
"Eve, waspada Yilbegan ada di depan sa-"
Ucapan Erden terhenti tiba-tiba saja saat melihat pemandangan mengerikan di hadapannya. Tak ada bedanya dengan Erden aku pun terpaku, tanpa bisa menggerakan tubuhku. Kami sama-sama membeku karena melihat tubuh Naga yang diceritakan Kakakku sebagai Naga pemakan manusia itu telah tercincang. Bahkan darah segar masih mengalir deras melalui lubang-lubang yang ada di bagian perutnya.
Dan baru kusadari, di sekeliling kami adalah tempat dimana desa para Penyihir berada. Tanpa berpikir panjang manik zamrudku memperhatikan keadaan sekitar kami. Syukurlah tak ada satupun mayat dari tubuh para Penyihir, meskipun aku sendiri tidak yakin seperti apa perawakan mereka karena belum pernah melihat penduduk desa, kecuali Johanna dan Putrinya.
Sekejap kemudian aku dapat melihat pemandangan yang berbeda dari apa yang ada di hadapanku, sebuah penglihatan.
Di sana aku dapat melihat tubuh seorang gadis berambut putih dengan luka menganga di bagian dada, dan wanita bersurai ular tengah melayang di udara karena sosok besar hitam berkepala rangka tulang tengah mencekik lehernya.
"Celaka!" Tanganku menarik Erden yang masih saja terpaku, kami berlari secepat mungkin. Aku tidak memperdulikan panggilan Kakak sulungku yang bertanya berulang kali.
Dan kami tiba di sana, tepat sebelum sosok mengerikan itu meremukkan tubuh Medusa, "Erden!"
Denting besi rantai menggema, Erden telah berlari secepat kilat mengambil tubuh lemas Medusa sementara rantainya menahan pergerakan Lucas.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku pada Medusa, belum sempat menjawab tubuhku sudah mendekapnya. Aku dapat merasakan apa yang dirasakan Medusa, dan sungguh menyakitkan.
Erden terengah-engah, tentu saja ia harus menahan tubuh Iblis Lucas yang begitu besar. Dan jangan lupa membentuk pelindung bagi kami agar tak terkena cambukan sulur-sulur tajam Lucas.
"Biarkan aku pergi!" seruku, tentu saja baik Erden maupun Medusa tidak akan melepaskanku begitu saja. Bahkan pria bersurai perak itu telah bersiap membawaku dan Medusa pergi dari sana, namun tubuhku memberontak.
"Evelyna! Duke memerintahkanku melindungi mu dan membawamu pulang!"
Untuk pertama kalinya Erden berteriak padaku. Tidak seperti biasanya, dimana ia akan selalu melembutkan nada saat berbicara denganku ataupun Madeline. Tapi aku tidak peduli, sekalipun aku harus menentang Erden, aku harus membawa Lucas pulang bersama kami.
Mendesah frustasi akhirnya kesabaranku pun mencapai puncak, "Lalu siapa yang akan melindunginya? Siapa yang membawa Lucas pulang!?"
"Hanya karena ia kuat, bukan berarti ia tidak membutuhkan pundak atau punggung untuk bersandar dan berlindung."
"Lucas juga hidup, dia bukan sebuah baju besi!"
Dadaku naik turun karena berteriak, aku mengeluarkannya. Setelah bertahun-tahun selalu mengikuti perintah dan hidup seperti boneka, aku dapat mengungkapkan suara hatiku. Sialnya, air mataku tak dapat terbendung lagi.
Erden terdiam cukup lama. Aku dapat melihat ia menahan nafas, bagus sekali aku baru saja menyakiti perasaan Kakak laki-laki yang selama ini memperlakukanku seperti Adik kandungnya.
Tubuhku sedikit tersentak kala merasakan sebuah tangan mendarat di puncak kepalaku, mengusapnya perlahan. Erden tersenyum masam, "Maaf karena sudah berteriak dan memaksamu."
Pria itu selalu saja berhasil membuatku merasa bersalah, sehingga selanjutnya aku memeluk tubuhnya meminta maaf.
"Aku h-hanya ingin menyelamatkan dia ... Lucas sudah memberikanku rumah, aku pun ingin me-melakukan hal yang sama hiks-"
Menggelikan, bagaimana bisa di tengah situasi genting ini kami justru berpelukan dan berbagi momen haru.
"Aku mengerti, kalau begitu ... ayo selamatkan Calon Suamimu," ujar Erden sembari mengulas senyum.
"Maaf, sebelumnya tapi apa kalian bisa berhenti?! Apa kalian lupa kita sedang di ujung tanduk!" kali ini Medusa berteriak tepat sebelum pelindung terakhir Erden pecah. Beruntungnya pria bermanik keemasan itu memiliki reflek yang kelewat baik, sehingga rantai-rantainya telah bergerak terlebih dahulu sebelum berhasil melubangi tubuh kami.
Aku terkekeh saat menerima tatapan tajam dari Medusa, wanita ini benar-benar, jika bukan karena aku gadis yang bermurah hati. Sudah kupastikan namanya tinggal debu semata karena legendanya akan kuhapus bersih.
"Bantu aku mendekati Lucas, aku mohon," tuturku kepada kedua sosok di hadapanku ini. Mereka saling bertukar pandang, "Apa anda punya rencana Nona agar Tuan dapat tersadar?" tanya Medusa dengan nada sarkasnya.
"Tentu saja! Aku tau cara menyadarkan Lucas, intinya kalian hanya harus menahan pergerakan Lucas agar aku dapat mendekat," sergahku tanpa ragu sembari menarik kembali bilah pedang perakku.
Bohong, sebenarnya aku tidak mengetahui bagaimana caranya. Aku hanya melakukannya karena aku percaya pada diriku dan dirinya, bahwa kami pasti dapat pulang ke rumah.
Erden berdiri, tangannya telah bersiap dengan rantai-rantai peraknya. Medusa menghela nafasnya kasar, meskipun begitu akhirnya ia tetap mematuhi permintaan egoisku ini dan telah mengubah wujudnya.
Beberapa detik kemudian Medusa melesat menyusuri tanah dengan tubuh ularnya, melewati setiap serangan yang dilancarkan kearahnya. Dan ia berhasil menahan kedua tangan Lucas menggunakan ular-ularnya dan kemampuan mengubah batunya.
Kali ini Erden yang bergerak maju. Ia berlari zig-zag menghindari sulur-sulur tajam Lucas sembari beberapa kali rantainya menahan serangan api hitam dengan membelokannya. Dan tepat di hadapan sosok mengerikan sang Castiello Erden menunduk berlutut dan menyentuh tanah, senyum miring rupawannya tercetak seiring dengan rantai-rantai perak yang saling beradu muncul dari bawah tubuh Lucas, melilitnya.
Menghembuskan nafas perlahan barulah kakiku melangkah secepat kilat. Beberapa kali menghindari sulur-sulur tajam hitam itu, melompat bahkan berputar . Jangan lupakan denting bilah pedangku yang menebas sulur-sulur sialan yang berusaha mencekikku.
Sedikit lagi, aku dapat mencapai tubuh Lucas.
Kupercepat langkahku, Tanpa mempedulikan kulit putih porselenku yang tergores.
BRUAKKK
Sayangnya tubuhku dihantam keras ekor hitamnya, tunggu siapa yang tau jika Lucas punya ekor?
Lidahku dapat mengecap rasa besi dari darah yang mengalir dari sudut bibirku yang sepertinya pecah. Tak ingin menghabiskan waktu lebih lama, kakiku kembali melesat. Kali ini diiringi dengan lompatan yang berhasil mengecohnya.
Selanjutnya aku dapat melewati Medusa, berlari lurus tepat menuju Erden yang telah menunduk memberikan pijakan, "Ayo Eve!!"
Aku akan meraihnya.
Aku akan membawanya pulang.
Dan tanganku dapat menyentuh rahang keras nan dinginnya, aroma anyir dari darah dapat kucium dari tubuhnya. Lucas meraung keras, terdengar putus asa dan begitu sedih di telingaku.
"EVE!!!"
Dan beberapa saat kemudian aku dapat merasakan sesuatu menembus bagian bawah tubuhku. Sebuah sulur berhasil mencapaiku ternyata.
"Maaf, karena membuatmu menderita terlalu lama. Menungguku pasti melelahkan ya?" tanyaku masih tetap meneruskan kegiatanku untuk mengusap rahang keras itu.
"Tenanglah, tidak ada yang menyalahkanmu. Lilith dan Lucifer mencintaimu, mereka melakukan itu semua demi dirimu dan Erudian."
Wajahku mendekat menyentuh permukaan dingin rahang tulang Lucas, mataku terpejam mencoba menyalurkan apa yang kurasakan.
"Kau pasti kesusahan ya? Begitu sulit pasti bukan? Tidak apa-apa, kau dapat bersandar padaku. Kau juga yang bilang untuk selalu pulang ke rumah bersamamu, begitu pula denganmu," imbuhku lagi tetap dengan mata yang terpejam, kali ini bulir air mataku berjatuhan menelusuri lekuk rahang tegasnya.
"Ayo kita pulang ..."
Aku dapat melihat iris saga menyala itu perlahan meredup, bahkan buliran bening tampak menggenang di sana. Dan detik selanjutnya tubuhku seolah melayang.
Ah, aku tidak dapat merasakan wajah Lucas lagi.
Tidak boleh, aku harus meraihnya.
Aku harus pulang bersamanya, ke rumah kami. Tempat dimana Erudian, Madeleine dan yang lain menanti kami.
Tanganku berusaha menggapai apa saja di hadapanku, tapi hanya ruang kosong yang dapat kugapai.
Tuhan, aku hanya ingin pulang bersamanya. Jika ia adalah sosok yang kau takdirkan bersamaku, sekalipun kami yang disebut sebagai kutukan. Setidaknya izinkan kami saling memiliki, pulang dan bersandar, memiliki satu sama lain.
Sebuah tangan tiba-tiba saja terjulur membawa tubuhku yang seharusnya menghantam tanah, justru menubruk tubuh seseorang yang terasa begitu hangat.
Ah, pelukan ini?
Terasa begitu hangat sekaligus dingin, dan aku dapat melihatnya. Manik ruby kesayanganku tengah balas menatapku berhasil mencetak senyum manisku.
Tanganku menjulur menelusuri lekuk rahang tegasnya, kali ini bukan permukaan keras yang kutemui, melainkan kulit dingin nan halus, aku berhasil.
"Eve ..." Suara bariton kesukaanku memanggil lembut, sedikit bergetar karena tanganku dapat merasakan wajahnya basah.
Lucas sedang menangis.
Tanganku merengkuh tubuhnya saat kami berhasil menyentuh tanah. Dahi kami saling bertemu, aku dapat melihat dengan jelas Lucas ku telah kembali. Pria berambut kelamku kini tengah mengecup jemariku, membuatku terkekeh pelan.
"Akhirnya ... aku dapat ... meraihmu," ujarku terengah-engah.
"Maafkan aku, karena diriku kau jadi ..." Lucas tak dapat melanjutkan ucapannya, ia justru kian mengeratkan pelukannya.
Sungguh, aku bahagia.
"Jangan meminta maaf ... ini adalah tugasku karena ... aku akan menjadi Istrimu ... Dan karena aku juga rumahmu," timpalku begitu lirih, beruntung sepertinya Lucas mendengar ucapanku karena pria itu kini mengecup kelopak mataku. Dilanjutkan dengan mengecup pipiku bergantian, hingga akhirnya aku dapat merasakan benda kenyal nan lembut.
Lucas mengecup bibirku lembut, tanpa tuntutan hanya mengecup penuh kasih, "Aku mencintaimu."
Aku tersenyum begitu lebar, semoga pipiku tidak akan lepas.
Hanya saja aku tidak dapat mendengar ucapan Lucas selanjutnya, perlahan pandanganku memburam.
Kegelapan menyelimutiku sedikit demi sedikit.
Tanganku terjulur menarik wajah Kekasih Kegelapanku lebih dekat, mengecap sekali lagi rasa manis bercampur anyir yang terasa memabukkan.
"Aku juga mencintaimu, Lucas."
Dan kemudian aku benar-benar telah tenggelam dalam kegelapan, melupakan rasa sakit dan perih dari luka yang sempat bersarang di tubuhku.
Pada akhirnya kegelapan menyambutku setelah sempat mencicip rasa dari sebuah kebahagiaan.