"Camden bukankah kau harus ke sekolah?!" Sky menyeru dari dapur, tepat di depan kompor kedua tangannya lincah menggerak-gerakan teflon berisi panekuk madu buatannya.
Setiap pagi harum semerbak beragam kudapan terendus manis hampir ke seluruh sudut rumah. Lezatnya terasa kental dilidah hanya dengan mengendus vanila bercampur harumnya gula di dalam panggangan. Di atas meja makan telah tersaji sarapan kesukaan Logan dan Camden. Dari panekuk madu, pai sereal buah berry, susu cokelat panas dan kopi robusta di cangkir bertuliskan nama Grandpa.
Pagi ini cuacanya agak mendung, awan keperakan seolah memeluk erat permukaan kota, membisikan gemerisik embusan angin yang bertiup lembut dan mengecup tiap dahan pohon maple jingga di perkarangan rumah. Pot-pot gantung di langit-langit serambi rumah sempat bergoyang saban kali.
"Enak sekali baunya." Puji Logan sembari menjimpit koran di lengannya, mengenyakkan diri di kursi meja makan. "Pagi hari aroma rumah ini selalu sedap kalau ada kau."
Sky terkikik kecil menyebar tiga piring berisi lima tumpuk panekuk madu yang telah matang, bagian atasnya diberi beberapa putaran toping wip krim dingin, potongan buah strawberry diguyur oleh saus cokelat kental.
"Panekuk madu? Tumben kau masak sebanyak ini."
"Memangnya kenapa? Inikan kesukaan kalian. Habiskan, Grandpa. Anggap saja perayaan wisudaku kemarin." kata Sky tersenyum ekspresif.
Logan resapi aroma legitnya kue panekuk itu, sempat mengedikkan kepala sesaat karena terbuai oleh uap keharumannya. "Hmm, semakin hari skil memasakmu makin hebat ya, Sky."
"Karena kau yang mengajariku, Grandpa tidak lupakan?"
Tawa kecil terpecah di bibir Logan sesaat menyeruput kopi nikmat di cangkir miliknya. Camden sempat menyeret tas punggung sambil berjalan lunglai hampiri meja makan dengan wajah tampan yang sedikit tertunduk.
"Pagi, Cam. Bagaimana tidurmu nyenyak?" tanya Sky mengangsur serbet. Menarik kursi tepat di seberang Camden.
"Lumayan." Sahut Camden lesu.
Logan menggenggam kedua tangan cucu-cucunya lembut dan membisikkan untaian doa di dalam hati. Merasa diberkahi oleh anugerah kudapan lezat pagi ini. "Mari makan."
Camden tidak terlalu banyak bicara pagi ini, ia terus tertunduk bahkan ketika bersantap. Tangan kirinya menopang kepala yang terasa sangat pening.
Sky sempat terdiam cukup lama meneliti saksama wajah adik laki-lakinya itu. Tidak seperti biasanya dan dia tampak pucat. "Kau kenapa? Sakit? Wajahmu sangat pucat, Cam?"
Camden menggeleng. "Aku tak apa cuma pusing sedikit."
"Yakin?" seketika Sky dirundung kecemasan. Ia menggenggam jemari Camden yang terasa panas. "Kau agak demam ya? Kalau sakit sebaiknya izin saja ke wali kelasmu, kita ke dokter?"
"Aku bilang tak apa. Jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku sudah kelas 12 SMA kak, aku bisa menjaga diri." keluh Camden merasa tersinggung, dia terlihat sangat bersungut.
Logan mengelus tengkuk Camden lembut, "Sky hanya cemaskan keadaanmu. Tidak perlu marah begitu. Apa kau sudah minum obat?"
Camden tersenyum kecut. Suaranya agak lemah akibat menelan rasa bersalah. "Maaf, aku belum minum obat apa-apa."
Tetap saja Sky terlihat khawatir. "Jangan pergi ke sekolah dulu. Sebentar aku carikan obat."
Sky kembali dengan kotak obat di tangannya. "Ini, minum yang ini."
"Thanks." kata Camden hendak merobek kemasan tablet pereda demam namun tiba-tiba tetesan darah kental menodai pergelangan tangannya.
"Camden, kau mimisan?"
Nyaris terperanjat dari kursinya Camden sadar kalau darah itu memang keluar dari hidungnya. Dia cukup syok ketika darah terus banjiri kemeja sekolahnya.
"Ya ampun. Jangan menunduk, Cam. Tenggakkan kepalamu." perintah Logan menyandarkan kepala sang cucu di dipan kursi.
Sky menutup hidung runcing Camden dengan tisu. Tidak disangka juga jikalau ia harus mengganti tisunya berkali-kali. Saking banyak darah yang mengalir malah Sky yang panik sendiri.
"Aku tak apa." Kata Camden lekas bangun dan pergi ke kamar mandi.
"Serius, kau tak apa?" tanya Sky heran, hampir-hampir kakinya ikuti Camden ke kamar mandi kalau saja Camden tak membanting pintu untuk hentikan kecemasan Sky yang agak berlebihan.
"Mengapa dia begitu marah, Grandpa?"
"Yah, kau tahulah anak remaja. Jangan cemas, mungkin cuma mimisan biasa."
"Sudahlah, habiskan saja makananmu." kata Sky berdecak.
*
Di meja kerja kamarnya Sky ingat titipan Mr. Donnelly kemarin yang belum sempat ia buka. Amplop bersih, tipis dan tersegel sedemikian rapat. Sky membolak-balik amplop itu beberapa saat sambil menaruh curiga. "Tidak mungkin juga kartu ucapankan?"
Sebelum ia benar-benar yakin. "Apa ini ya?" gumamnya menyobek bagian segelnya hati-hati.
Isinya lipatan kertas khusus dengan cetakan tinta tebal huruf Stewart di bagian belakangnya. Belum apa-apa jantung Sky sudah bertaluan keras. Secarik surat resmi undangan wawancara dari firma Cormoran Stewart. "Ya ampun, ini tidak salah?"
Sky terperangah di kursi meja belajarnya sampai-sampai tak sadar menahan napas cukup lama. "Undangan wawancara? Ini sungguhan?!"
Bahkan ia membaca isi surat itu dalam satu tarikan napas dan sebegitu tergesa. Sky tidak ingat kapan terakhir kali merasa gembira ria begini selain perasaan lega sewaktu wisuda kemarin, "Grandpa!"
Ia bergegas keluar kamar mencari Logan hingga ke pelataran bagian belakang rumah, tak sabar ingin memberi kabar gembira ini. Padahal sebelum itu, Sky sempat berpikir segala kemungkinannya pasca selesai wisuda, kenyataan bahwa mencari pekerjaan sama sulitnya seperti mencari picisan di antara kasarnya pasir pantai. Tapi kali ini, keberuntungan tengah dipihaknya tanpa perlu susah payah tawaran wawancara datang secepat yang ia butuhkan.
Logan baru selesai perbaiki mesin pemotong rumput yang sejak empat hari lalu mati total, sayang kalau dibuang begitu saja mengingat mesinnya terbilang masih sangat bagus, lebih baik uang pensiunannya dipakai untuk penuhi kebutuhan sehari-hari dibandingkan harus terbuang percuma demi sesuatu hal yang sebenarnya masih bisa diperbaiki. Tangan keriput nan penuh pengalaman itu teramat gusar menyaksikan rumput liar pengganggu mulai meninggi di beberapa sudut pagar.
"Grandpa!"
Sky benar-benar menghambur dari pintu dapur dengan senyum lebar, pintu kecil itu akses utama ke paviliun bengkel tempat sehari-hari Logan habiskan waktu untuk perbaiki barang yang tentunya masih sangat berguna. Kadang-kadang para tetangga setempat juga mengandalkan keahliannya itu, beruntung Sky punya tetangga yang tidak ragu memberikan persekot atas jasa Logan yang mahir perbaiki semua keluhan.
Pelukan Sky nyaris membuat kakeknya itu terjungkal, kepala belakangnya pun sempat terantuk langit-langit gudang penyimpanan berbagai alat perkakas yang ukurannya hanya muat dimasuki satu orang dewasa. "Ada apa sih? Kau membuatku kaget saja!"
"Aku punya pekerjaan menjanjikan, Grandpa. Lihat ini."
"Pekerjaan apa? Pengacara?" Tanya Logan buru-buru membaca kertasnya, senyum manis segera terulas dikerutan bibirnya yang menua. "Wah, ini Cormoran Stewart yang terkenal di koran itukan?"
Sky tertawa lebar menganggukkan kepalanya cepat. "Benar, aku tidak akan berpikir berulang kali. Aku harus ikut wawancaranya. Ini kesempatan baguskan?"
"Wah selamat ya, nak. Semoga kau sukses. Aku senang, akhirnya yang kau cita-citakan tercapai."
"Aku sangat berterima kasih padamu, Grandpa. Kau tidak membuangku juga Camden. Kau menjaga kami dengan sangat baik dan kasih sayang. Terima kasih berkali-kali rasanya tak akan pernah cukup. Mulai sekarang kau tidak perlu capek pikirkan masalah uang lagi, pensiunanmu tetap utuh. Aku harus semangat, giat bekerja untukmu dan Camden." Sky memeluk Logan erat, tak pusingkan bau minyak oli bercampur keringat yang basahi punggung kakeknya. "Hanya kau dan Camden yang aku miliki."
"Jangan begitu kau masih punya mereka. Mengapa kau tidak mengunjungi mereka lagi?"
Wajah cantik Sky tertekuk jengkel, "Aku tidak mau bertemu mereka lagi. Jangan bahas itu, Grandpa."
"Tapi..."
"Aku harus bersiap untuk wawancara besok. Doakan aku, Grandpa." tukas Sky alihkan topik pembicaraan.
Logan tersenyum lebar dan menghela napas panjang. "Tentu nak, aku selalu mendoakan kesuksesanmu."
"Ternyata kau benar, hidup tak selamanya buruk, ya. Grandpa? Aku sempat berpikir negatif tentang hidup, kadang iri terhadap Naomi dan Preston. Aku kerap bertanya-tanya mengapa aku tak seberuntung mereka. Namun, kalau dipikir-pikir lagi meski pahit, tapi hidup juga menghadiahiku hal-hal hebat."
"Jalan kebahagiaan seseorang tentu berbeda. Semua telah digariskan, kita pelajari itu sejak kecil, nak. Berkeluh kesah bukan jalan terbaik tapi tidak semua orang diberkahi oleh jiwa yang lapang dan penuh rasa syukur." Logan tekun mengelap noda hitam di kedua tangan berjari-jari besar itu. "Kalau kau memperbanyak syukurmu, bukan hanya hidup yang indah tapi dia akan menghadiahimu dengan yang lebih baik."
Sky melirik Logan dari sudut matanya dan tersenyum lebar.
"Apa kau masih pikirkan tentang James?"
Sky melipat kedua tangan di dada bersandar di kap mobil van tua kesayangan mendiang Grandma semasa hidup, ia ingat Grandma hadiahkan ini kepada Grandpa dalam peringatan 30 tahun mereka arungi hidup bersama. Itu sebabnya Logan tetap menjaganya sepenuh hati hingga detik ini. Pandangan mata cemerlang milik Sky memindai langit mendung. "Kuanggap dia sudah mati. Salahku juga keras kepala enggan mendengar saranmu. Harusnya aku tahu penilaianmu tentang dia tidaklah salah."
"Kau telah berjanji untuk hidup lebih baik. Tunjukkan padanya, dia pasti menyesal suatu saat nanti."
Seringai kecil terukir di bibir merah Sky. "Biarkan waktu yang menjawab. Aku harus hidup lebih baik."
"Aku pernah dengar ungkapan, kalau kau berani berkata selamat tinggal pada masa lalu maka hidup akan menghadiahimu dengan kebahagiaan baru." ujar Logan mengacak puncak kepala Sky lembut.
"Sekarang aku paham mengapa Grandma sangat mencintaimu. Ternyata kau sangat manis, Grandpa."
Logan hanya tersenyum penuh arti.
®
Tbc....