Semilir angin yang sejak tadi berhembus dari jendela tak membuat Dejan mengeluh kedinginan. Bahkan tubuhnya hanya berpakaian kaos hitam tipis dan ripped jeans. Rambutnya yang sudah melewati bahu hanya ia ikat asal dengan ikat rambut berwarna navy kesukaannya.
"Hei jan! Kau tidak pulang?" Tegur Furi yang sedang mengemil snack di depannya.
Dejan yang sejak tadi melamun hanya melirik Furi asal lalu menenggak habis sisa kopi kalengnya yang tinggal satu tegukan. "Aku akan pulang. Karena sebentar lagi kau pasti akan mengusirku"
Furi yang tahu benar tabiat baik dan buruknya seorang Dejanira Neelam hanya terkekeh ringan sambil mulutnya sibuk mengunyah snack yang jika dihitung sudah lebih dari lima bungkus.
"Aku hanya mengingatkanmu kawan. Jangan cepat tersinggung begitu.. itu tidak baik. Emm! Aku baru ingat, besok bukankah ada jadwal kau akan ke Galexy?" Tanya Furi yang memilih untuk berhenti mengunyah karena bungkus ke-lima itu memang sudah kosong tak ada isi. Membuangnya ke kotak sampah kecil yang memang tersedia di ruangan santai miliknya tersebut.
Dejan mengangguk sebentar lalu menatap Furi yang merebahkan tubuhnya di sofa panjang tepat di hadapannya. "Ya. Tapi aku malas"
Furi mengernyitkan dahinya dengan wajah yang heran. "Ini berhadiah uang kau tahu? Kukira kau seperti biasanya yang selalu antusias jika suatu hal sudah menyangkut dengan uang"
"Aku ingin memberi kesempatan pada yang lain. Mungkin bisa jadi denganmu" jawab Dejan yang langsung direspon Furi dengan gelengan kepala.
"Aku tidak bisa jika kau masih punya mata. Kau ingin menghinaku atau apa huh? Kalau itu Monic Mungkin bisa jadi" ujar Furi dengan suara tertawa renyah dari Dejan yang sejak tadi masih betah duduk bersandar di single sofa.
"Aku kan hanya mengatakan mungkin dan itu tentu sudah bukan hal yang pasti hahaha! Hei! Aku hanya bercanda nyonya Toni hahahahaha!" Dejan selalu merasa puas jika dirinya berhasil meledek Furi dengan kata-kata sarkas miliknya.
Menurutnya Furi adalah orang yang tepat untuk ia cecar dengan kata-kata sarkasnya. Apalagi jika ditambah dengan hadirnya satu sahabatnya lagi yang entah dimana anak itu sejak lusa kemarin. Yang jelas Monic, sahabat satunya itu terkadang suka menghilang entah kemana.
"Hei! Aku Serius. Kenapa kau tidak antusias seperti biasanya? Jika hadiahnya selain uang mungkin masih bisa aku terima alasanmu. Tapi kali ini kenapa?" Pertanyaan Furi membuat Dejan malas menjawab. Ia malas untuk menjadi cerewet.
"Aku ingin mencoba menjadi seorang perempuan yang mungkin jadi lebih sedikit agak normal dari perempuan kebanyakan" ujar Dejan membuat Furi mengerutkan alisnya penuh dengan ekspresi penasaran.
"Apa?? Apa aku tidak salah dengar?? Kau?.. Begini.. Ada apa denganmu? Kau tidak biasanya seperti ini. Kita sudah lama bersama. Berteman dalam waktu yang lama. Meskipun kita bertiga sering bertengkar. Dan akupun mengkhawatirkan keberadaan Monic yang sudah dua hari ini tidak masuk sekolah. Jadi?" Ujar Furi panjang lebar karena sudah gemas melihat gerak-gerik Dejan yang mengapa terlihat berbeda dari biasanya.
Dejan menghela nafas panjang sebentar lalu menatap Furi dengan pandangan yang seperti nampak berpikir. "Aku hanya sedang... Yaaah.. Kau tahu? Dimas"
Jawaban Dejan barusan membuat Furi mengangguk kepala dan berekspresi wajah tanda mengerti. Jadi ini hanya karena berubah demi seorang laki-laki? Agar laki-laki itu bisa melihat kita? Begitu? Jadi untuk mencari sebuah perhatian? pikir Furi yang sudah tentu bisa menebak meskipun dirinya sedang tertidur pulas.
"Jangan katakan padaku jika kau berubah demi mencari sebuah perhatian darinya? Dimas bukanlah laki-laki yang sulit menurutku. Tapi maaf sekali aku benar-benar tidak suka itu. Jika kau nyaman dengan dirimu sendiri mengapa harus berubah tingkah seperti ini?" kata-kata Furi memang benar. Tapi yang ada di pikiran Dejan lebih dari itu.
"Jika disini ada Monic, ia pasti tentu sudah berteriak dengan keras karena kau_"
"Apa aku terlalu buruk untuk berubah?" Pertanyaan Dejan yang dengan sengaja memotong kata-kata Furi barusan membuat Furi berhenti sejenak lalu menatap Dejan sepenuhnya sambil merubah posisinya yang menjadi duduk saling berhadapan yang hanya terhalang oleh meja.
"Aku tidak. Menurutku Kau tidak buruk. Juga tidak terlalu buruk. Soal perubahan itu urusanmu. Aku seorang sahabat hanya mampu mendukungmu. Semuanya kembali padamu. Tapi berubah karena seorang laki-laki tidak salah juga. Yang membuatku penasaran adalah apa kau berubah karena kau menginginkannya dari hati? Sebuah perubahan yang tidak didasarkan dari hati akan percuma. Bukankah itu hanya membuang-buang waktu saja? Aku tidak merasa paling benar disini. Tapi aku hanya mengatakan yang ku tahu"
Dejan kembali melayang dengan pikirannya sendiri. Mengabaikan Furi yang sedang menatapnya.
"Aku sudah lama menyukainya. Dan kalian sudah tahu itu. Aku hanya ingin membuat diriku muncul. Aku juga berpikir hal yang sama sepertimu. Dan lagi, aku hanya ingin mencobanya. Ku rasa tidak ada yang salah bukan? Lagipula aku belum mencobanya" ujar Dejan yang kembali menatap Furi.
"Kita sedang sama-sama berjuang untuk meraih kebahagiaan kita masing-masing. Aku pasti akan sangat senang sekali jika kau, Monic, juga aku dapat meraih kebahagiaan di depan sana. Aku pasti akan mendukungmu. Kau tenang saja soal arena balapan akan tetap menjadi dirimu dan milikmu. Aku dan Monic pasti akan berada di belakangmu YoungLady~" Dejan terkekeh ringan karena mendengar perkataan Furi yang selalu seperti biasanya terlalu dewasa sebelum waktunya.
"Terimakasih Furi~ Kau memang terbaik hahahaha!" Dejan langsung mengacungkan kedua ibu jarinya di hadapan Furi yang tengah tersenyum begitu bangga. Juga tidak lupa dengan pose-nya yang berubah menjadi bak model papan atas.
Dejan hanya tertawa saja melihat tingkah laku sahabat satunya itu. Berpakaian paling feminin diantara dirinya dan Monic membuat perempuan yang bernama Furi Andini itu dijuluki Mama oleh teman-teman sekelas. Ah! Tidak. Tapi di sekolah ia mendapat panggilan itu. Mungkin karena melihat dirinya juga Monic memiliki penampilan yang asal juga semaunya.
Mungkin karena Monic lebih terlihat tidak beraturan dengan penampilannya yang terkesan cuek dan tidak kenal gaya. Sedangkan Dejan lebih terlihat berandal seperti preman. Selalu memakai celana sobek atau dengan kaos polos yang tidak ada gambar atau cetakan sablon sama sekali.
Dan jika berjalan bersama akan terlihat seperti seorang ibu yang memiliki dua anak nakal di sisi kanan-kirinya. Dejan menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. Kenapa sialnya itu adalah kenyataan? Dalam hati jadi geli sendiri karena membayangkannya.
Tapi omong-omong soal Monic, bukankah anak itu harus segera dihubungi? Walaupun besok adalah hari libur tapi tetap saja anak itu harus dipertanyakan keberadaannya sekarang.
"Hei Furi, cepatlah telepon Monic. Aku tidak ada pulsa" Dejan menyuruh Furi yang sekarang sudah berekspresi datar.
"Memangnya sejak kapan kau punya pulsa huh?" Balas Furi yang langsung berdiri untuk menelepon sahabatnya yang lain dan mengabaikan cengiran lebar milik Dejan.
° ° °
To be continue...
Ini adalah cerita fiksi pertama yang kubuat disini ^^ Ku harap kalian bisa memaklumi hasilnya yang tidak sebagus milik seorang yang pro hehehe :D
Salam kenal semuanya~ ^^ panggil aku Olia jika kalian bingung ingin memanggilku :D
Ini adalah sebuah awal jadi kalian tunggu bagaimana awal ini bermula ;)
Happy reading everyone ^^ Stay safe Stay happy And Stay healthy ^^
See you~
Olia