" memang selalu ada alasan dibalik pertemuan. jangan berlebihan dulu, jangan sampai kamu anggap deket orang yang sebenarnya ditakdirkan jauh dari kamu. "
─────────────────
Canada, 10.37 A.M
" Bangunin adekmu sana "
Aku mengangguk lalu berjalan menuju kamar yang terletak di lantai atas.
tok tok . . tok tok
Aku menunggu dengan kepala yang bersandar di pintu. Tubuh ku masih terasa sakit. Setelah lebih dari 9 jam perjalanan, akhirnya Kami sampai di Kanada.
Aku benar-benar terkejut, dengan tiba-tiba Ayah membawa Kami mengunjungi adikku yang bersekolah disini.
" Ngapain? "
Suara serak itu menyapa pendengaranku.
Aku menoleh malas, " Kok lu yang muncul sih "
" Gua tanya, lagi ngapain? " Kak Gara ikut menyandarkan kepalanya di pintu.
" Sempit, " Aku mendorong kepalanya, "Lagi bangunin adek gue " sambungku.
Kak Gara menarik ujung rambutku, " Adek gua kali "
" Minggir, " Ia menarik lenganku agar menjauh dari pintu, " Nih, Kakak kasih contoh bagaimana cara membangunkan adik dengan baik dan benar "
BRAK!
" HEH TAPIR BANGUN LO! "
Aku menggeleng pelan saat Kak Gara tiba-tiba melompat ke kasur adikku.
" GO AWAY ARGARA! "
plak!
" Arsaka, sopan dikit lo! " Kak Gara memukul kepala Saka.
Saka itu adikku. Usia Kami hanya terpaut dua tahun. Meski lebih muda, pemikiran Saka sudah seperti orang dewasa. Mungkin karena Dia sudah terbiasa dengan gaya hidup barunya. Aku tidak percaya jika Saka menjadi seperti ini karena usianya yang telah bertambah, buktinya, Kak Gara yang sudah memasuki dunia perkuliahan saja masih bertingkah seperti anak kecil.
" Ayo sarapan , Bunda udah nungguin di bawah " ajakku.
Saka menatap sekilas kearahku kemudian beranjak menuju kamar mandi.
" Sombong amat hih " Aku mendengus sebal setelah Saka menghilang dibalik pintu kamar mandi.
Kak Gara yang melihat tertawa kencang, "AHAHAHA udah dibilang Saka tuh adek gua "
Aku mendelik kesal, " Gue turun duluan bye "
" Dih ngambekan lu ngambekan "
" Biarin! "
✧ ⃟ ⃟ ⃟━━━ೋ๑୨🥀୧๑ೋ━━━ ⃟ ⃟ ⃟✧
" Sekolahmu gimana, Dek? " tanya Ayah setelah menelan makanannya. Kami sedang sarapan bersama sekarang.
Aku dan Saka saling bertukar pandang. Ayah bertanya pada Saka, kan?
" Saka udah besar, Yah, gak mau dipanggil adek lagi " ucapan Saka membuat Kami tertawa kecil.
" Zara aja udah besar masih betah tuh dipanggil adek" sahut Kak Gara.
" Aku udah sering bilang buat berhenti panggil Aku adek, tapi Ayah sama Bunda gak pernah dengerin " kataku.
Ayah tersenyum menanggapi, " Kamu kan anak Ayah, makanya Ayah panggil kamu adek "
" Gara kan anak Ayah, kok gak dipanggil adek?" tanya Kak Gara tak terima.
" Kamu udah tua, gak malu dipanggil adek?"
" Harus 'udah tua' banget, ya? "
Bunda menggeleng pelan melihat tingkah Putra Sulungnya, " Kamu waktu kecil juga dipanggil adek "
" Oh "
Kini giliran Ayah yang tak habis pikir melihat Kak Gara. " Sekolahmu gimana, Arsaka? " tanya Ayah lagi.
" Formal banget "
" Banyak mau ya kamu " Ayah tersenyum, "Yaudah, Saka, gimana sekolahmu? "
" Baik "
" Enggak ada masalah, kan? "
" Enggak "
" Temenmu banyak? "
Saka terdiam sebentar, " Banyak "
" Kamu gak kangen temen-temenmu di rumah? "
Saka mengangkat sebelah alisnya, " Siapa? " tanyanya.
" Jefran, Arvin, Arjuna, " Ayah menjeda ucapannya; Ia meneguk airnya sebelum kembali melanjutkan.
" Mereka nanyain kamu terus, kamu gak kangen mereka? " lanjut ayah.
Saka kembali diam. Ia memainkan nasi dipiringnya sebelum akhirnya Bunda menepuk pelan tangannya agar berhenti.
" Kangen " jawab Saka pelan.
" Jadi, kapan mau pulang? "
Saka mengangkat kepalanya; menatap Ayah bingung, " Tapi Sekolah Saka kan enggak libur, Yah "
Ayah berdiri dari duduknya setelah menyelesaikan sarapan. Tanpa merespon ucapan Saka, Ayah melangkah pergi setelah menepuk pelan bahu Bunda.
✧ ⃟ ⃟ ⃟━━━ೋ๑୨🥀୧๑ೋ━━━ ⃟ ⃟ ⃟✧
" Jangan mepet dong, Kak! "
" Kak Gara tuh yang mepet! "
Dengan kesal, Aku menepuk kencang paha Kak Gara, "Sempit anjir, geser dong! "
"Sakit tau!" Kak Gara mengusap-usap pahanya, "Nih nih rasain lu!!" Ia semakin menggeser duduknya.
Kami bertiga sedang menunggu Ayah dan Bunda. Setelah selesai sarapan tadi pagi, Bunda menyuruh Kami untuk menunggu Ayah di ruang keluarga.
Disini-lah Kami sekarang. Duduk di sofa yang sama. Dan dengan tidak tahu dirinya, Kak Gara terus merapatkan tubuhnya; yang juga membuatku semakin menempel pada Saka. Nasibku sangat buruk karena mendapat tempat duduk diantara kedua saudaraku ini.
" KAK ZARA SAKIT! "
Dengan cepat tanganku bergerak untuk menutup telingaku saat Saka berteriak. Aku tidak sengaja menyikut perutnya.
" KAK GARA TUH! "
" Aw! " Aku memekik saat ujung rambutku ditarik.
" Berisik " Kak Gara menyentil bibirku kemudian menumpukan kepalanya di bahuku.
" Gua tonjok juga ya lo! "
Bunda yang baru saja kembali setelah menyelesaikan kegiatannya di dapur menghampiri Kami seraya tersenyum senang,
" Udah lama ya gak liat kalian barengan kayak gini " , Ia mendudukkan dirinya di sofa tunggal yang berada di hadapan Kami.
Bunda tidak tahu yang sebenarnya. Aku dan Saka sangat tersiksa.
" Ayah kenapa, Bun? " tanya Saka yang sudah berhenti menggerakkan tubuhnya. Aku ikut terdiam mendengarnya. Kasihan tenggorokanku jika terus mendebat Kakakku.
" Ayah lagi pusing " jawab Bunda.
" Ayah mikirin apa sampe pusing? "
" Apalagi yang Ayah pikirin sampe pusing kalo bukan tentang kerjaannya? " Kak Gara menyahut, Ia menegakkan kepalanya.
Bunda memandangi Kak Gara, " Ayah juga pusing mikirin kelakuanmu, Gar " kata Bunda diiringi tawa di akhir perkataannya.
" Tuh kan kena lagi, " Kak Gara mendengus kesal, "Gara gak ngapa-ngapain padahal "
" Kuliahmu gimana? " tanya Bunda dengan senyumannya.
Kak Gara berdeham, " Ya baik. Gak ada yang menarik buat diceritain "
" Bunda tau ya Kamu sering bolos kuliah "
Dengan gerakan cepat Kak Gara menoleh ke arah Bunda, "Siapa yang udah nuduh Gara kayak gitu?"
Kak Gara menatap lekat Bunda, "Bunda jangan asal percaya orang gitu dong, mereka gak tau apa-apa tentang Gara"
" Agres tau tentang kamu "
" Maksud Bunda? "
" Agres bilang kamu sering bolos kelas "
" Dan Bunda percaya? "
Bunda mengangguk tanpa ragu, " Iya, kamu sering kelas bareng dia, kan? "
" Ya gak salah sih, tapi kan Gara juga kalo bolos suka bareng Agres "
Aku menghela nafas setelah mendengar perkataan yang keluar dari mulut Kak Gara.
" Bodoh " bisikku.
" APAS-- hehehe "
Bunda menatap tajam Kak Gara, " Jadi, kamu beneran suka bolos? "
" Gara gak suka bolos, Gara suka Bunda "
" Manisnya mulutmu "
Kak Gara tersenyum lebar, "Belajar dari Albar, nih, Bun"
" Pantes Ayah pusing sama perilakumu "
" Bun, " panggilanku membuat Bunda mengalihkan pandangannya dari Kak Gara.
Aku menatap Bunda yang juga sedang menatapku, "Cerita dong, Ayah ada masalah ya di perusahaan?"
Bunda tersenyum; menatap Kami bergantian. Ia membenarkan posisi duduknya sebelum berbicara,
" Dalam kehidupan, kalian akan bertemu dengan dua jenis orang. Seseorang yang membangun kalian, dan seseorang yang menjatuhkan kalian, " Bunda menjeda ucapannya; lagi, Ia menatap Kami bergantian.
" Tapi tetap aja, pada akhirnya, kalian akan berterimakasih pada keduanya " lanjut Bunda lalu tersenyum.
" Gimana caranya, Bun? " gumam Saka. Suasana sedang sepi, karena itu Kami masih bisa mendengarkan suara pelan Saka.
" Hm? "
Saka menatap Bunda, " Gimana cara kami hindarin itu? Orang yang menjatuhkan, gimana Saka harus hindarin 'dia' ? "
Lagi , Bunda tersenyum " Siapa yang suruh kamu hindarin dia? Bunda gak nyuruh kamu menghindar, Saka. "
Kak Gara menggerakkan kepalanya yang kembali menumpu di bahuku. " Jangan ngiler! " Aku menepuk pipinya.
" Elah lagi mikir nih, ganggu banget lo! "
Setelah beberapa detik, Kak Gara kembali bersuara, "Tapi, Bun, semua orang juga gak mau dijatuhin lah! kok bisa Bunda nyuruh kami buat gak hindarin 'dia'? "
" Yang datang biarin datang. Kamu gak bisa cegah dia buat mendekat ke kamu, Gar. Hidup bukan untuk menolak apa yang udah di-takdirin Tuhan, kamu gak boleh menjauh dari dia yang mau bertahan. "
" Termasuk dari orang yang mau jatuhin kami? " tanyaku.
Bunda menatapku; terlihat akan kembali membuka mulut sebelum akhirnya,
" Ekhem "
Kedatangan Ayah menghentikan pembicaraan Kami.
" Kita lanjutin kapan-kapan " bisik Bunda. Ia berdiri untuk menghampiri Ayah agar bergabung dengan Kami.
" Seru banget kayaknya ngobrol sama Bunda " ucap Ayah setelah duduk. " Sekarang giliran sama Ayah ngobrolnya "
Kami diam menunggu Ayah kembali berbicara.
" Ka, " panggilan dari Ayah membuat Saka menatapnya. " Kamu seneng sekolah disini?"
Saka mengangguk, " Kenapa? "
" Akhir-akhir ini, Ayah sering kepikiran kamu. Kamu enggak kenapa-kenapa, kan? "
" Saka baik-baik aja "
" Kamu gak mau sekolah di rumah aja, Ka?" tanya Bunda menyahut.
Saka menaikkan sebelah alisnya, " Kenapa? katanya gapapa "
" Ayah kamu khawatir, Saka "
" Emangnya kenapa sih, Bun? " tanya Kak Gara.
" Kamu enggak paham sama ucapan Bunda tadi? "
Kak Gara menggeleng, " Jelas enggak dong "
Aku memperhatikan Ayah yang sedari tadi terus menghela nafasnya pelan. Aku tidak cukup berani untuk bertanya.
" Saka baik-baik aja, Yah " ucap Saka saat menyadari ke-khawatiran Ayah.
" Kita yang gak baik-baik aja " sahut Ayah cepat.
Kami menatap Ayah yang juga memandang Kami satu-persatu.
" Ayah enggak baik, Saka. " Ayah menatap teduh Saka.
" Ayah gak mau kalian kenapa-kenapa. Terutama kamu, Ka. Kamu jauh dari jangkauan Ayah "
Kami terdiam. Tidak ada yang berani membuka suara, bahkan Bunda juga ikut diam.
" Sebenernya kenapa? Gara gak paham beginian. Ayah tau kan Gara paling gak suka mikir " suara Kak Gara memecah keheningan. Ia sedikit tertawa setelah berbicara.
" Ayah tau kamu paham, Gar. "
Kak Gara terdiam lagi. Mungkin, Ia hanya ingin mencairkan suasana? Jujur saja, Aku tidak tahan dengan situasi seperti ini. Terlalu serius kadang membuatku takut.
" Saka gak boleh sekolah lagi disini, ya? " tanya Saka pelan.
" Ayah gak pernah larang kamu buat sekolah disini, Ka, " kata Ayah menjawab. " Tapi untuk sekarang, Ayah gak bisa kalo kamu harus jauh dari Ayah "
" Kenapa? "
" Ayah kasih ka-- "
" Saka tanya, kenapa? " potong Saka cepat.
" Tahan ucapanmu, Ka. Ayahmu belum selesai bicara" kata Bunda.
" Ayah kasih kalian pilihan, " ujar Ayah seraya berdiri dari duduknya.
" Saka pulang ke Seoul, atau kita yang akan menetap disini "
Apa Ayah bercanda?
" Kalian udah besar, kan? " Bunda berdiri dari duduknya.
Ia mengelus pelan rambut Saka, "Bunda yakin kalian bisa lewatin ini bareng-bareng" setelahnya, Bunda melenggang pergi menyusul Ayah.
Kami diam selama beberapa menit. Aku yang berusaha menetralkan detak jantungku, Saka yang sedari tadi terus menundukkan kepalanya, dan Kak Gara yang jiwanya entah melayang kemana.
" Kak, " panggilku dengan tangan yang memegang pundaknya.
Kak Gara menolehkan kepalanya kearahku, matanya melotot, Ia membawa tanganku yang berada dipundaknya untuk bergerak memegang dadanya. Aku cukup takut.
deg deg deg deg deg deg
Aku dapat merasakan detak jantung Kak Gara yang berdetak dengan cepat. Ia menatapku lekat, kemudian
" Kaget gua anjiiiiirrr "
" Samaaaa "
Aku memegang kedua pipiku yang memanas, "Sumpah baru kali ini kita bicara serius! "
" Gak pernah se-serius ini anjrit, " Kak Gara menambahi.
Aku mengurungkan niatku yang akan kembali berbicara saat mendengar helaan nafas Saka.
" Gapapa, " ucap Kak Gara yang menatap Saka dengan senyum yang Ia tunjukkan.
" Kita cari Ayah baru, ya? "
✧ ⃟ ⃟ ⃟━━━ೋ๑୨🥀୧๑ೋ━━━ ⃟ ⃟ ⃟✧
" Kak, lo serius? "
Kak Gara yang tengah berbaring melirikku dengan ujung matanya,
" Ya enggak lah! yang ada malah Ayah yang nyari anak baru "
Aku berjalan ke arah sofa. Kami bertiga sedang berada dikamar milik Saka sekarang.
Ngomong-ngomong, ini rumah yang di beli Ayah beberapa tahun lalu. Dulunya ini ditempati oleh Paman Varel dan Bibi Lea, tapi tidak lagi setelah rumah mereka selesai dibangun. Tidak ada yang menempatinya lagi setelah kepindahan mereka. Sampai akhirnya, setelah lulus Sekolah Menengah, Saka memutuskan untuk melanjutkan Sekolahnya disini.
Ngomong-ngomong lagi, setelah selesai makan malam beberapa saat lalu , Kak Gara tiba-tiba menyuruhku dan Saka untuk berkumpul. Dia bilang Kami harus membicarakan pilihan yang diberikan Ayah pagi tadi.
Tapi lihatlah sekarang. Kakakku itu dengan santainya malah bermain ponsel. Sepertinya Dia tidak sadar apa alasan Aku dan Saka mengikuti ucapannya. Sungguh mulia sekali perilaku seorang Argara.
" Tujuan lo sebenernya apa sih, Kak? " Saka memandang kesal Kak Gara.
" Bentar elah, dikit lagi menang nih "
Saka berdiri dari duduknya. Kakinya melangkah menghampiri Kak Gara yang tengah sibuk dengan gamenya.
" Lo bisa keluar sekarang "
Kak Gara menatap Saka tak suka, "Lu ngusir gua?"
" Lo punya kamar sendiri kan? main aja disana, " Saka menarik lengan Kak Gara, " Gue juga pengen tiduran, ngantuk "
" Lo pikir ini rumah punya lo!? " sewot Kak Gara.
" Bukan, tapi ini kamar gua. "
" Cih, mirip si Zara lo. Gak punya tatakrama sama yang lebih tua! "
" Gue denger ya kambing "
" Geser dong, kalah ni gua jadinya " Kak Gara mendorong bahuku. Aku yang akan beranjak kembali terduduk saat Kak Gara memegang tanganku.
" Mau kemana? "
" Kamar. "
" kita disini mau rapat, duduk cepet "
Mau tak mau Aku kembali duduk di sebelah Kakakku. Saka yang sudah berbaring pun dengan terpaksa kembali bangun dan duduk disampingku.
" Kok lu kayak yang ogah-ogahan, sih? ini tentang idup lu, Saka, udah bagus gua mau bantuin. " Kak Gara mendecak sebal.
" Gua gak yakin bakalan kebantu. " jawab Saka santai.
"Gue ngantuk beneran, tolong gak usah adu mulut biar cepet."
" Oke, gua bener mau serius dulu sekarang. Jangan tanya hal yang gak perlu banget ditanyain. "
Kak Gara menarik nafasnya kemudian menghembuskannya secara perlahan sebelum memulai pembicaraan.
" Gua gak tau ini bener apa enggak, tapi setelah gua inget lagi omongan Bunda, gua yakin kalo ini bener ada hubungannya sama perusahaan Ayah. "
" Pertama, Ayah tiba-tiba berkunjung ke Saka. Kedua, Ayah tiba-tiba juga gak izinin Saka buat lanjutin sekolahnya disini. Ketiga, kedatangan Papa Gema ke rumah minggu lalu. "
" Papa emang sering ke rumah kali, anehnya dibagian mana? " tanyaku menyahut.
" Nah itu, Dek! ", Kak Gara menjentikkan jarinya.
" Si Jayden kan suka-- "
" Kalian kenapa belum tidur? "
" Eh, Bunda " Kak Gara tersenyum lebar, "Lagi main tic tac toe, nih, mau ikutan?"
Bunda menggelengkan kepalanya, " Saka, kamu besok sekolah, tidur sekarang. "
" Dek, Gar, kalian juga ke kamar masing-masing, gih "
✧ ⃟ ⃟ ⃟━━━ೋ๑୨🥀୧๑ೋ━━━ ⃟ ⃟ ⃟✧
ddrtt . . ddrtt
Aku kembali membuka mataku yang belum sepenuhnya terlelap saat ponselku bergetar.
〔 Aksara is Calling 〕
Aku mengernyit heran. Aksara? Untuk apa? Kami bahkan tidak dekat.
Aku memutuskan untuk mengangkatnya. Mungkin, Dia ingin membicarakan sesuatu yang penting? atau mungkin tidak sengaja.
satu menit . . dua menit . .
Aku menunggunya memulai duluan.
" Hai? "
Suaranya dari seberang mulai terdengar.
" Hai? "
" Kamu udah tidur? "
" Udah, ini rohku. "
Tawa kecil Aksara terdengar.
" Aksa? "
" Kenapa? "
" Kamu beneran telfon aku? Enggak salah sambung? "
" Enggak "
" Kenapa? "
" Kenapa apa? "
" Kenapa telfon? "
" . . gak tau, tiba-tiba inget kamu "
Aku memegang pipiku. Udara malam ini terasa panas. Baiklah, tolong ingatkan bahwa Aku baru saja mengenal Aksara.
" Kamu udah ngantuk? "
" Huh? belum "
" Enak ya jadi kamu "
" Kenapa? "
" Besok enggak sekolah "
" Ah itu, enak gak enak sih. Aku jadi ketinggalan. "
" Aku harus sekolah besok, aku tutup ya? "
" Iya, bye. "
Percakapan macam apa ini. Aku memandangi ponselku. Menunggu Aksara mematikan duluan. Ia baru mengakhirinya setelah beberapa saat.
" Bye juga cantik "
" SAKIT ANJEEER " Kak Gara mengusap-usap lengannya.
" Ya lo ngagetin! " Aku ikut mengusap lengannya, "Tangan gue juga sakit nih!" kataku seraya menunjukkan telapak tanganku yang memerah akibat memukul Kak Gara barusan.
Kak Gara berdehem. Ia menyenggol bahuku dengan senyuman aneh yang Ia tunjukkan.
" Telponan sama siapa, nih? tumben kalem jawabnya."
" Emang biasanya kayak gimana? "
" Kek Tarzan. "
Aku mendecak sebal, " Lo ngapain kesini? kan Bunda udah nyuruh tidur "
" Gabut. "
" Gue males ladenin lo, maaf aja nih ya. "
Kak Gara menggeleng cepat, " Enggak, gak akan nyebelin kok gua. Janji, deh." Ia mengangkat jarinya membentuk peace.
" Dek, "
" Hm "
" Nonton, yuk! "
" Lo nyari gara-gara sama Bunda? "
Ia menggeleng. Kak Gara tersenyum lebar, matanya menyipit menatapku.
" ANJROT!? "
" Jangan keras-keras! " jari telunjuk Kak Gara berada di depanku.
" Lo, ini punya siapa!? "
" Saka. Gue ambil waktu dia udah tidur. " jawabnya santai. Tangannya mulai sibuk menyalakan laptop Saka yang dicurinya.
" Kalo Saka ngamuk gimana anjir!? "
" Halah gak akan berani dia. "
Kak Gara menarikku agar duduk mendekat kearah nya.
" Mumpung gak sekolah, have fun! "
◆ ▬▬▬▬▬▬ ❴⚘❵ ▬▬▬▬▬▬ ◆
" Kak Zara nyuri laptopnya Saka? "
Aku menoleh ke arah Saka yang sudah lengkap dengan seragam dan tas yang dibawanya.
" Enggak. "
" Kok ini ada di kamar Kakak? " tanya Saka. Tangannya mengangkat laptop miliknya.
" Kema-- "
" Kakak suka drakor, kan? Ini masih ada riwayatnya bekas Kakak. " potong Saka cepat.
Aku mengusap telingaku. Ingin mengelak tapi Aku juga ikut memakai laptop milik Saka. Hanya ada satu cara terakhir yang bisa ku lakukan sekarang.
" ARGARA SINI LO! "
Aku berani melakukannya karena Ayah dan Bunda sedang menemui Bibi Lea.
" Apwa bwangsat? " Kak Gara datang dengan mulut yang masih mengunyah sarapannya.
" Tuh, Kak Gara yang nyuri laptop kamu. " kataku.
" Dih!? kok nyalahin gua!? " Ia yang telah menelan makanannya berteriak tak terima.
" Lah kan emang lo yang ngambil. "
Kak Gara menghampiri Saka, "Coba, lu bilang apa tadi? ada bekas nonton drakor, kan? "
Saka mengangguk membenarkan.
" Tuh! " Kak Gara menatapku, "Gua mana suka nontonin begituan."
Saka menatapku dan Kak Gara secara bergantian,
" Sidang di lanjut seudah Saka pulang sekolah. Saka berangkat dulu."
Kak Gara memandang Saka yang mulai berjalan meninggalkan Kami, "Sekolah yang bener ya ganteng, byee~ "
" Argara jelek! " Aku menarik kesal rambutnya lalu berjalan menuju kamarku.
" Duh cantik jangan marah, dong. "
" Bodoamat anjir! Gamau lagi gue temenan sama lo!"
✧ ⃟ ⃟ ⃟━━━ೋ๑୨🥀୧๑ೋ━━━ ⃟ ⃟ ⃟✧
Aku menghela nafas panjang. Sudah hampir tiga jam Aku berbaring. Aku benar-benar bosan.
Aku melirik jam dinding yang berada beberapa meter di hadapanku. Masih pukul sembilan pagi. Kira-kira di Korea sudah pukul berapa, ya? sebelas atau dua belas malam, mungkin?
" Ragas lagi ngapain, ya? telpon ah. "
Aku mulai mengotak-atik ponselku; mencari nomor Ragas dan langsung menelponnya.
" apa? "
" Ragas!!!!!"
" Ngapain? udah malem ini. "
" Disini masih pagi tau. "
" Oh "
" Sombong banget."
" Kapan pulang? gak kangen gue apa? "
" Biasa aja sih. Nanti kalo gue pulang, jemput di Bandara, ya?"
" Males. "
" Yah, Gas, ayo dong~ "
" Iya iya kalo gak mager. Udah dulu ya? bye~"
Tutt . .
Aku mendengus sebal. Ragas memang tidak baik sama sekali. Sudah dua kali juga
Aku mencoba menghubungi Abim, dan Dia tidak mengangkatnya. Apa mereka tidak merindukanku?
ddrtt . . ddrtt
Dengan cepat Aku mengambil ponsel yang baru saja Aku simpan di nakas.
〔 Kak Gara is Calling 〕
Demi apapun Aku sudah muak dengan orang ini.
" Apaan? " tanyaku langsung.
" Dek, sini dong. "
" Ngapain? "
" Ada perlu. "
" Lo aja yang kesini. "
" Jauh. "
" Kamar kita sebelahan ya anjir. "
" Mager. "
Aku mematikan ponselku. Kenapa Kak Gara selalu saja membebaniku?
Dengan langkah yang di hentakkan Aku menuju kamarnya yang berada di samping kamarku.
" Sini deh. " ucap Kak Gara saat Aku baru membuka pintu.
Aku menghampirinya yang sedang berbaring di ranjang miliknya.
" Ambilin itu buku yang sampul coklat. "
" Hah? "
Kak Gara mendecak pelan, "Itu ambilin buku yang sampul coklat, dong." katanya sambil menunjuk buku yang tersimpan di rak kayu kecil.
Aku bergerak untuk mengambilnya, " Lo bahkan gak perlu bangun buat ambil ini, Kak." ucapku seraya melempar kesal buku yang Dia maksud.
" Mager. Temenin gua disini dong, Dek." katanya lalu menarikku agar terduduk disebelahnya.
" Saka pulang jam berapa, sih? " tanya Kak Gara.
" Gatau. Kenapa emang? "
" Gapapa, takut aja. " ujarnya dengan pandangan yang sepenuhnya tertuju pada ponsel miliknya.
Hening. Baik Aku maupun Kak Gara sibuk dengan ponsel masing-masing. Sejujurnya, Aku sangat ingin berjalan-jalan, bermain atau apapun itu yang penting tidak menetap di Rumah. Sayang sekali bukan jika tidak menikmati waktu selama masih menetap disini?
" Kangen Agres, vidcall ah. "
Aku diam; memilih untuk memainkan ponsel milikku daripada meladeni Kak Gara yang tentunya hanya akan membuang tenagaku saja.
" Halo bajingan~ "
" Argara kalo lo pulang, abis lo! "
" Takut deh ah. Oi Bar!"
" Hey bro, ketemu cewek cakep gak, Gar? "
Kak Gara mengarahkan kamera ponselnya ke arah ku; membuatku dapat melihat wajah kesal Kak Agres dan Kak Albar yang juga terlihat di layar ponsel milik Kak Gara.
" Nih cewek cakep samping gua. "
" Hai, Kak. " sapaku mengawali.
" Stress gak, Ra, hidup bareng Gara? "
" Iya, but it's oke, udah hampir sembilan belas tahun aku hidup dengan stress ini."
" Hahahaha buruk banget ya nasib lo. "
" Hm, nasib Kak Agres juga buruk bisa temenan sama Kakak ku."
" Ya gak salah sih. "
" Mau dibawain apa, Res? " sahut Kak Gara.
" Apa aja deh, yang mahal ya. "
" Kak Agres tanyain dong Kak Semesta mau dibawain apa "
" Tanya sendiri aja, Ra, nih orangnya samping gue-- bang nongol bang. "
Setelah mendengar jawaban Kak Agres, dengan cepat Aku merapikan rambutku.
" Kenapa, Ra? "
Aku tersenyum kecil saat melihat wajah Kak Semesta di layar ponsel.
" Kak Esta mau dibawain apa? "
" Emangnya boleh request? "
" Boleh! "
" Dasar. Terserah kamu lah, kan kamu yang ngasih."
" Yaudah oke. "
Dengan tiba-tiba, Kak Gara mengambil ponselnya dari tanganku.
" Ke-enakan nih si Zara, gue matiin ya, Bang. byebye~"
Aku menatap kesal Kak Gara, "Gak asik lo!"
" Bodoamat, sih." Kak Gara beranjak dari kasur, "Keluar yuk, Dek."
" Kan dilarang Ayah. "
" Bentar doang, nyari udara segar."
" Enggak ah, takut dimarahin. "
Kak Gara yang sedang memakai hoodie menoleh ke arahku, "Ayo dong, temenin gue. Pelit banget, lo."
" Enggak mau, nanti Ayah marah."
" Kita berangkat kalo Saka udah pulang, deh. Mau, ya?"
Aku menatap Kak Gara yang menunjukkan wajah memohonnya,
" Oke. "
⊹ ────────𖤐──────── ⊹
Saka mempercepat langkahnya setelah merasa ada yang mengikutinya beberapa langkah di belakang. Ia tidak takut sebenarnya, hanya saja Ayah Agam selalu mengingatkan agar Ia berjaga-jaga.
" Bro! " seru seseorang dengan tangan yang merangkul pundak Saka.
Saka berdecak, " Ngagetin lo, Mars!"
Laki-laki yang berdiri disampingnya tertawa terbahak-bahak. Setelahnya, Ia melirik kesamping; memperhatikan wajah Saka.
" Kamu lama-lama makin mirip aku ya, Sa, makin ganteng, jangan-jangan kita kembar."
Saka tertawa kecil, " Ngaco."
" Beneran tau, nama kita juga hampir sama. Arsaka, Marsaka." katanya membuat Saka kembali tertawa.
Mars, Dia satu-satunya teman yang dekat dengan Saka. Keluarga Mars juga menetap di Korea, karenanya Mereka sudah sangat akrab walaupun baru mengenal beberapa bulan yang lalu.
" Oh iya, Sa, denger-denger Ayahmu lagi ada disini, ya?"
Saka mengangguk sebelum setelahnya menoleh kearah Mars, "Kok bisa tau? perasaan aku belum cerita."
" Ayahmu terkenal banget, makanya waktu kemarin Dia datang ke sekolah, orang-orang langsung omongin Dia." cerita Mars.
" Ayahku ke sekolah? " tanya Saka penasaran. Apa hanya Dia yang tidak tahu jika Ayahnya sendiri berkunjung ke Sekolahnya?
" Iya. Sayangnya, aku cuma liat dari jauh. Padahal aku pengen banget ketemu Ayahmu, katanya Dia keren banget, ya?"
Saka mendengus malas, "Dia gak se-keren itu di kehidupan nyata."
" Tapi Ayahmu bener-bener se-ganteng itu, ya? kata adikku, sih, anak sulung Pak Agam juga ganteng banget."
" Enggak juga."
" Ngomong-ngomong, kamu punya kakak perempuan, kan?"
Saka menoleh kearah Mars yang tengah tersenyum. Kenapa Mars bisa tahu jika Saka mempunyai kakak perempuan?Setahu-nya, Ayahnya itu tidak pernah mengungkap jika Dia mempunyai anak perempuan, terutama pada Media. Ayah Agam tidak mau jika anak perempuannya kenapa-kenapa.
" Kamu tau banget tentang keluargaku kayaknya?"
Saka berdecak, "Jawab aja."
" Ya, aku punya kakak perempuan, kenapa?" jawab Saka.
Mars tersenyum lebar, "Apa Dia sangat cantik?"
" Ya, Kakakku sangat cantik. "
Senyuman di wajah Mars semakin lebar setelah mendengar jawaban Saka.
" Ayo ke rumahmu, aku mau mengenalnya. Siapa tau kita menjadi saudara nanti?"
Mars terlihat sangat bersemangat dan Saka tidak suka itu.
" Dia sangat cantik, tapi aku membencinya."
Mars memiringkan kepalanya, "Maksudnya?"
" Aku enggak akan kenalin kakakku, dia gak cocok sama kamu."
" Ayolah, Sa, setelah aku dekat dengan kakakmu, aku akan mengajakmu bermain game seharian."
Saka membelalakan matanya, " Kamu gila, ya? aku gak mau nuker kakakku sama game."
Saka mendorong punggung Mars, " Sekarang, kamu pulang ke rumahmu, aku juga mau pulang. Jangan lupa kerjain tugasmu." ucap Saka mengingatkan.
" Aku gak paham sama materi tadi. Ayo belajar bareng di rumahmu, kita kerjain bareng."
" Jangan modus kamu!"
✧ ⃟ ⃟ ⃟━━━ೋ๑୨🥀୧๑ೋ━━━ ⃟ ⃟ ⃟✧
" KAK GARA BALIKIN PONSELKU!! "
" MAU GUE JUAL BHAY! "
" AKU ADUIN AYAH, YA! "
" ADUIN AJA ADUIN GIH! "
" NYEB-- hmpp " Aku menepuk-nepuk tangan yang membekap mulutku.
" Kakak berisik banget." ucap Saka lalu menjauhkan tangannya.
" Sini deh, Kak." Saka menarik tanganku agar mengikutinya untuk duduk di sofa.
" Sialan lo, Ka, gak ngajakin gue! " sewot Kak Gara.
" Yang kerjaannya gangguin orang gak usah di ajakain huuuu!" kakiku terangkat untuk menendang lengan Kak Gara.
" Gak sopan lo monyet! "
" Kaakkk! " seruan Saka membuatku dan Kak Gara berhenti.
" Iya kenapa Saka sayang? " tanya Kak Gara setelah Ia duduk disamping Saka.
Saka mendengus sebal sebelum menyenderkan punggungnya di sofa, "Saka sakit hati." katanya.
" Liver? "
" Saka jambak ya rambut kakak. "
Aku memegang cepat rambutku, "Selow dong, Ka."
" Ya lagian Saka lagi serius juga. "
" Hati lo kenapa, Ka? baru putus sama cewek lo?" tanya Kak Gara seraya mengusap matanya.
Saka menggeleng cepat, " Ya kali Saka punya cewek."
" Kayaknya Saka beneran gak bisa sekolah disini lagi." ucap Saka lesu.
" Kenapa? kan kamu belum tentuin pilihan ayah."
Saka menatapku dan Kak Gara dengan matanya yang mulai berair.
" Ngantuk lo, Ka? "
" Itu namanya nangis bolot. "
Aku menepuk-nepuk bahu Saka yang terlihat akan menangis. Tapi sepertinya Ia akan terus menahan air matanya. Saka bukan tipe orang yang suka menunjukkan tangisnya.
" Katanya Ayah ke Sekolah kemarin, itu pasti buat urusin kepindahan Saka, kan?" suara Saka.
Aku melirik Kak Gara yang sedang memandangi Saka. Yang dikatakan Saka ada benarnya. Ayah tidak suka menunda, apalagi Aku dan Kak Gara juga harus kembali bersekolah.
" Kamu gak mau sekolah di Seoul aja? "
Saka menggelengkan kepalanya.
" Kenapa? kan ada Jefran. Enak ada temen, apalagi Jefran famous katanya, nanti kamu juga bisa cepet punya temen."
" Saka udah nyaman banget sekolah disini, tapi kalo Ayah gak kasih izin ya mau gimana lagi? Saka harus tetep nurut, kan?"
Oh tolong, Aku sangat ingin memeluk Saka.
" Lawan aja, Ka, protes ke Ayah. " ucap Kak Gara mengusulkan(?)
" Sayangnya gue gak seberani lo, Kak. Gue gak bisa lawan Ayah, Dosa."
" Dih? Sok suci, lo." Kak Gara mendelik kesal.
Saka tersenyum kecil, " Biasanya sifat adik kakak suka beda. Ada yang baik, ada yang buruk. Nah, gue yang baik, lo yang buruknya."
" A-ah ampun, kak, ampun sakit," dengan sekuat tenaga Saka berusaha melepas tangan Kak Gara yang mencekiknya.
" HUAHAHAHAHAHA "
" Kak Zara bantuin anjir! keburu mati nih, Saka!"
" Udah woi udah," Aku menarik leher Kak Gara agar Ia menjauhkan tangannya dari Saka.
" HEH BABI SIALAN LO MAU GUE MATI HAH!?"
" Ya lo mau Saka mati hah!? "
Kak Gara berkacak pinggang, Ia menatapku tajam, "Oh jadi lo lebih pilih Saka dibanding gue?"
Kak Gara mengenggam tanganku sebentar, "Makasih selalu ada."
" Udah gede masih aja ngambekan!"
" Ya lo gak pernah belain gue, padahal gue yang setiap hari sama lo. Gak kayak si itu tuh, main rebut adek gue aja!" ucap Kak Gara seraya menatap sinis ke arah Saka.
" Kak Zara gak suka lo, makanya dia belain gue." balas Saka.
Jika bisa, Aku pasti sudah menukar kedua saudaraku ini dengan uang. Sepertinya sebentar lagi Aku akan gila karena pusing melihat perdebatan mereka.
Aku menggandeng lengan Kak Gara dan Saka secara bersamaan,
" Mending kita keluar, beli oleh-oleh buat yang dirumah, sekalian siapin pindahan kamu, Ka, nanti Aku bantu beresin bajumu."
⊹ ────────𖤐──────── ⊹
"Gue sama Axira duluan ya, Gas."
" Loh, mau kemana? ikut dong."
Abim menggeleng pelan, " Jangan, lo gak akan suka."
" Ngapain emang?"
" Anter Axira, dia mau caper."
" Hah?? "
" Mau pendekatan, Gas, semangatin gue dong. " kata Axira yang baru saja menghampiri Mereka.
Ragas mendelik, "Semangat, Si."
" Yuk, Bim, meluncur. "
Riella yang telah selesai membereskan bukunya berjalan mendekati Ragas,
"Denger suara gak, Gas?" tanyanya dengan tangan yang memegang pundak Ragas.
" Suara apa? "
" Tuh tuh denger, kayak suara hati yang patah gitu, Gas."
Sontak Ragas tertawa setelah mendengar jawaban Riella. Ia merasa sangat bodoh karena menganggap serius perkataan Riella sebelumnya. Ragas kira temannya itu akan membahas hal-hal mistis.
" Gue gigit ya tangan lo, El. " kesal Kala setelah menyadari bahwa sindiran Riella tertuju untuknya.
" Ayo pulang." ajak Riella setelah tawanya terhenti.
" Enggak ada Zara sepi banget, ya? " ungkap Riella setelah Mereka meninggalkan ruang kelas.
Kala dan Ragas mengangguk membenarkan. Baru saja ditinggal tiga hari, Mereka sudah merindukan teman dekatnya itu.
" Aksara udah pulang duluan apa gimana?" tanya Riella saat menyadari Aksara tidak bersama Mereka.
" Udah pulang bareng Aidan, katanya mau main dulu," jawab Kala.
" Tega banget gak ajakin kita."
" Tau, tuh, em-- "
" RAGAS!! "
Kala terpaksa menahan perkataan yang akan Ia lontarkan setelah suara seseorang terdengar memanggil Ragas dengan keras.
" Hai, " sapa perempuan dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
" Hai Riella, Hai Nakala. " Perempuan dihadapan Mereka melambaikan tangannya.
Kala diam tak membalas, Riella hanya tersenyum, dan Ragas merasa bingung. Untuk apa Giolin menghampirinya? Mereka memang sama-sama terpilih untuk mengikuti Olimpiade yang dibicarakan beberapa hari lalu. Ragas tidak terlalu akrab dengan Giolin, karenanya Ia bingung mengapa Giolin tiba-tiba menyapanya.
" Zara kemana? biasanya ada bareng kalian."
" Izin gak masuk."
Giolin ber-oh ria kemudian Ia menatap Ragas dengan senyum yang masih terukir di wajahnya.
" Jok belakangmu kosong, dong, Gas?"
" Hah? "
" Aku nebeng ya, sekalian kita belajar bareng. "
─────────────────
° to be continued °