pukul 14.15 Wib, aku, Angga, dan Tanisha tiba di Semarang. Kami dijemput oleh Ayah dan Ibu mertua. Tampak tak jauh dari tempat kami berdiri, mata Ibu Angga berkaca-kaca memanggil Tanisha sambil membentangkan kedua tangan tak sabar ingin memeluk Tanisha. Memang sudah hampir setahun mereka tak mengunjungi kami di Samarinda, tak seperti biasa, paling lama satu bulan, namun aku pun tak pernah menanyakan perihal itu kepada mereka, mungkin saja Ayah dan Ibu mertua juga sibuk mengurus bisnis di Semarang. Aku lalu berpikir, mungkin inilah alasan Angga mengajak ku ke Semarang.
Tidak banyak yang aku ketahui tentang keluarga Angga. Dia hanya bercerita sekedarnya. Pada saat menjelang pernikahan, Angga mengatakan bahwa Ayah dan Ibunya pemilik salah satu tempat wisata di Semarang, besar dan cukup terkenal. Sedangkan Angga sudah mandiri semenjak lulus SMA. Dia memilih meninggalkan Semarang kuliah di Samarinda sambil berkerja, alasannya karena Dia ingin fokus belajar dan tidak bergantung kepada orang tuanya.
Angga memang sangat ulet dan cukup berambisi. Aku tahu betul, karena jenjang karir yang sudah dia dapatkan selama ini. Sampai pada titik dia dipercaya menjadi manajer Area pada perusahaan dimana dia dulu hanyalah seorang sales biasa. Aku bangga memilikinya sebagai suamiku.
Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki dirumah mertua. Selesai mandi dan mengganti pakaian, aku berkeliling melihat-lihat rumah. Aroma ruangan yang terasa begitu hangat menyentuh indra penciumanku, entah mengapa aroma itu mengingatkan aku dengan masa kecilku dulu. Tanpa terasa aku terbawa hingga sampai ke halaman belakang rumah, menikmati setiap sudut ruangan, menyentuh satu persatu barang antik yang tertata rapi dirumah itu, dan menatap indahnya setiap foto-foto lawas yang berjejer di dinding.
"Kitara," suara Ibu mertua memanggil membuyarkan angan-anganku.
"Iya Bu", jawabku sedikit terkejut.
"Makan dulu nduk, Ibu sudah siapkan makan malam buat kalian,"
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Tanisha kecilku ternyata juga sudah tertidur pulas di kamar Ibu. Dimeja makan Ayah mertua dan Angga sudah duduk rapi untuk menyantap hidangan. Aku pun menyusul duduk bersama Ibu mertua. "Kamu kemana aja Ra?" tanya Angga padaku yang baru saja membenarkan kursi untuk duduk.
"Aku duduk-duduk aja dibelakang, yang ada ayunan itu lo sayang," jawabku sambil mengambil sesendok nasi.
"Kamu kok nggak bantuin Ibu masak," balas Angga dengan wajah yang serius.
"Maaf Bu," jawabku sambil menatap Ibu mertua yang sibuk meletakan lauk-pauk di piring Ayah, "abis rumah Ibu besar banget, Kitara ngerasa nyaman banget tadi di halaman belakang."
"Nggak papa nduk, udah makan, kaya gitu aja dipermasalahkan Angga ih," Ibu menjawab sambil sambil tersenyum padaku.
Aku pun merasa lega dan melanjutkan suapanku. Angga pun tampak biasa saja.
Merasa canggung dengan suasana saat itu, aku pun memberanikan diri untuk bertanya, "oh ya Bu, mbak Dian sama Kang Surya yang biasa Ibu bawa ke Samarinda dulu mana bu?, dari tadi nggak keliatan,"
"Em...mereka sudah nggak kerja disini lagi Ra," jawab Ibu sambil menatap ke arah Ayah."
Ayah tetap fokus pada makanan di piringnya. Aku pun menyadari sesuatu, Semenjak dari bandara tadi Ayah tidak banyak bicara seperi biasa. Padahal karakter Ayah mertuaku ini sangat humoris dan perhatian sama seperti Ibu. Namun, kali ini sangat berbeda.
"Oh iya, Tanisha biar dikamar Ibu ma Ayah aja ya,"
"Iya bu, Ibu kangen banget ya ama Tanisha," balasku sedikit bercanda. Namun tetap saja ekspresi Ayah mertua tidak berubah sedikit pun. Dia menjadi sangat pendiam.
Semua sudah selesai dengan makanannya masing-masing. Menyadari sudah tidak ada pembantu dirumah ini aku pun dengan sigap membersihkan meja makan, dan mencuci semua piring-piring yang kotor. Ibu pun membantu sambil membersihkan yang lain.
"Gimana Ra, seneng nggak bisa dateng ke Semarang?" tanya Ibu padaku yang sedang sibuk bercengkrama dengan piring-piring kotor.
"Seneng dong Bu, Kitara kan baru kali ini kerumah Ibu."
"Kamu nggak papa kan ngerjain kaya gini,"
"Ya ampun Ibu, emangnya kenapa kalo Kitara bantu Ibu cuci piring,"
"Kalo masih ada si Dian, kamu nggak perlu repot-repot Ra,"
Aku pun melihat, ada raut sedih dari wajah Ibu. Dia seperti ingin menangis dan mengatakan sesuatu padaku. Tetapi dia langsung pergi meninggalkan ku di dapur. Aku tahu betul, Ibu mertua tidak pernah ingin menyusahkan menantunya. Dia berpikir, menantu adalah seorang wanita mulia yang harus disayangi karena telah menjaga dan merawat anaknya. Aku sangat beruntung memiliki mertua seperti Ibu.
Aku telah selesai membersihkan dapur dan masuk ke kamar. Aku melihat Angga sedang sibuk menatap layar ponselnya. Dia tampak sangat serius dan fokus, sampai dia seperti tidak menyadari kedatanganku.
"Sayang," kataku sambil menyentuh tangannya.
"Eh, sayang," Dia agak sedikit terkejut sambil membenarkan cara berbaringnya.
"Kamu sejak kapan udah di kamar?"
"Baru aja kok."
"Sayang, mba Dian ama kang Surya kok tiba-tiba bisa bareng gitu berhentinya?" tanyaku membuka percakapan kami.
Setengah menit berlalu, belum ada jawaban dari Angga, dia sibuk melihat layar ponselnya, sampai akhirnya, "mungkin Ibu mau cari pembantu lain sayang,"
Aku yakin bukan itu jawaban sesungguhnya. Karena Ibu dan Ayah sudah menganggap kedua pembantu mereka seperti keluarga sendiri. Aku juga melihat bagaimana perlakuan Ibu dan Ayah kepada mbak Dian dan Kang Surya sewaktu mereka di ajak mengunjungi kami di Samarinda. Tidak mungkin mereka dipecat hanya karena Ibu menginginkan pembantu yang lain.
Aku pun enggan untuk membahas hal itu lagi. Aku tidak ingin melewatkan waktu di Semarang tanpa bersenang-senang. Aku segera merebahkan badanku agar dapat beristirahat, karena besok aku akan bertemu dengan Wina, sahabat lamaku.
Kemudian pagi tiba dengan lembut, menyapa lewat titik embun yang jatuh di dedaunan. Udara segar begitu terasa disekeliling rumah yang jauh dari hiruk pikuk kota ini. Aku bisa merasakan udara yang masih bersih hangat berhembus bersama napasku.
Dari jendela aku melihat Tanisha sedang bermain bersama Ibu di halaman belakang. Rupanya dia dan Ibu sudah bangun mendahului aku dan Angga. Tiba-tiba saja terdengar suara mobil keluar dari tempat parkir menuju pagar depan. Terlihat jelas dari jendela tempat aku berdiri. Angga turun dari mobil menggeser pagar dan bergegas meninggalkan rumah dengan mobilnya.
Rupanya, pada saat aku ke toilet tadi, Angga segera mandi dan bergegas pergi. Sepertinya dia pergi bersama Ayah. Sebelumnya Angga tidak mengatakan apapun padaku.
Aku membiarkan rasa ingin tahu itu berkeliaran dikepala ku. Toh, Aku pun akan mengetahui kemana Angga dan Ayah pergi sepagi ini setelah mereka pulang nanti.
Aku bergegas mandi dan sedikit berdandan. Lama sudah aku tidak berdandan secantik ini. Bertemu dengan sahabat yang telah lama tak berjumpa membuat ku begitu senang. Terlebih, semenjak menikah, aku hanya fokus mengurus Tanisha dan menyibukkan diri dengan membuat kue dirumah. Rasanya seperti seorang putri yang terbebas dari castil penyihir.
Setelah selesai berdandan aku langsung meminta ijin kepada Ibu untuk mengunjugi Wina di Cafe yang kebetulan tidak jauh dari kediaman orang tua Angga. Ibu pun dengan senang hati mengijinkan aku.
"Kamu tenang aja, Tanisha ntar Ibu ajak ke Mall pas Angga pulang, tapi kamu udah ijin ama Angga kan?"
"Udah dong Bu,"
Sesampainya di tempat tujuan, dari jauh aku melihat Wina melambaikan tangannya. Aku pun berlari kecil menghampiri satu-satunya sahabat karib ku itu.
"Biasa aja dong jalannya, kangen banget ya ma aku," kata Wina sambil memelukku.
Aku pun hampir tak bisa bernapas karena pelukannya, "kamu atau aku yang kangen, meluk aja sampai sesek gini rasanya,"
"Haha...,"Wina tertawa dan akhirnya melepaskan pelukan maut itu.
"Btw, kita udah berapa lama nggak ketemu ya?" tanya Wina membuka obrolan.
"Kayanya udah hampir 2 Tahun, terakhir waktu Tanisha ulang tahun yang ke tiga kan kamu ke Samarinda waktu itu,"
"Eh iya ya,"
Aku pun tiba-tiba teringat sesuatu, "Oh iya Win, tapi pernah waktu itu, aku tu kaya pernah lihat kamu di Big Mall, apa mirip doang yah, beberapa bulan yang lalu, tapi mirip banget sumpah,"
"Hah!, kapan Ra?, kok bisa?"
"Aku waktu itu, ngajak Tanisha jalan-jalan aja, bete aja dirumah, aku mau ngejar cuman keburu ice cream Tanisha jatuh, riweh deh ngurusin ice cream,"
"Kamu salah orang tuh, nggak mungkin lah, aku ke Samarinda enggak ngabarin kamu,"
"Eh, iya juga yah,"
"Oh iya, aku mau ngenalin temen aku ke kamu, namanya Rian, dia yang bakal traktir kita hari ini,"
Aku heran dengan perkataan Wina, "mulai deh, ngapain ngenalin cowok ke emak-emak,"
"Ye, kamu yang pikirannya kemana-mana, dia kan temen sekantor aku, orang kaya, masak iya dia yang bakal bayar semua, terus enggak aku kenalin sih,"
"Dasar," jawabku biasa.
Lelaki yang dimaksud Wina pun datang. Tanpa basa-basi langsung menyodorkan tangan kanannya bersalaman denganku. Aku menyambut tangan itu sambil menyebutkan namaku.
Aku yang agak canggung dengan kedatanganya pun merasa kurang nyaman ingin bercanda dengan Wina. Mungkin saja aku merasa belum terbiasa nongkrong dengan lelaki selain suamiku. Aku lebih banyak menatap ponsel walau tak tahu apa yang aku lakukan dengan ponselku.
Sesekali aku melirik ke arah Rian. Mata kami selalu bertemu. Saat itulah aku seperti merasakan perasaan yang aneh berkecamuk di dalam dadaku. Entah mengapa setiap melihat tatapan matanya, jantungku berdetak semakin cepat tak berirama.
Mengapa tatapan matanya begitu tajam. Namun sangat indah.
*Penasaran siapa sebenarnya Rian?, jangan lupa tinggal kan vote kalian ya...