Tidak ada hal yang spesial bagi Dean. Semenjak kepergian Riza, Dean Hampa. Hidupnya di renggut. Riza menyerap semua kebahagiaan dan lari dari Dean. Riza menghilang tanpa kabar, dia lenyap. Mengendap kabur, tanpa sepatah kata atau pun pamit. Seperti angin yang datang menyejukkan, kemudian hilang tanpa bekas.
***
Dean memutar keran. Air menyembur perlahan dari shower. Mengusir Riza yang sedari tadi berkeliaran di kepalanya. Belakangan ini, otak Dean babak belur oleh ingatan tentang Riza. Membuat Dean kelimpungan menjalani hari harinya. Di tambah tugas yang semakin banyak menjelang akhir semesternya tahun itu.
Dean mengusap air hangat yang membasahi kepalanya. Mengalir kebawah dengan pasti. Membasahi tiap inci badannya, mengalir melalui sela sela yang ada di tubuh Dean. Meluruhkan semua penat yang sudah di tampung dengan enggan. Memberikan perasaan damai dan santai, sesaat.
"Lupakan." Bisik Dean untuk benaknya.
Menit berlalu, suara air perlahan menghilang digantikan suara pintu yang terbuka. Sensasi segar menyambut Dean kembali setelah mengeringkan badan seadanya. Aroma wangi sabun menyeruak dari pintu kamar mandi. Dia melangkahkan kaki keluar menuju sofa favorit dikamarnya.
Sebuah sofa berwarna biru berbahan bludru, sedikit bladus, pertanda telah usang oleh waktu, diposisikan menghadap ke Jendala besar yang menghubungkan Kamarnya dengan panggung drama yang Dean harus jalani.
Motif mawar merah terpatri indah di kaca jendela itu. Terpasang rapi, dengan ukiran sulur teratai di sepanjang rangka Daun jendela. Menambah kesan estetik di Kamar Dean. Aksen warna natural kayu di pertahankan sebagai corak dasar.
Dean membiarkan jendelanya terbuka, membawa aroma pahit bersama semilir angin untuk otaknya. Merayap memasuki indera penciuman, merangsang otaknya untuk menciptakan bayangan kesedihan yang tiap menitnya semakin jelas. Ada rasa pahit timbul di lidahnya, membuat mulutnya kelu. Namun, Dean berontak untuk menghapus rasa pahit itu. Ada sebuah nama memaksa untuk keluar dari mulutnya. Semakin kuat Dean menahan nama itu di ujung lidahnya, semakin perih rasa sakitnya.
"Riza." Gumamnya lirih, menatap kosong jendelanya. Setelah menempelkan punggung ke Sofa tua itu.
Dean melemparkan pandangan ke arah langit malam lebih dalam lagi. Berusaha menggapai sisa sisa jenaka yang menghiasi kenangan bersama Riza. Memori menyerangnya membabi buta, tidak memberikan kesempatan untuk melindungi dirinya.
Sedikit menyesal karena membiarkan otaknya terus mengingat Riza. Ingatan itu menimbulkan efek perih yang kian menjadi di relung Dean. Seolah memburu untuk melenyapkan akal sehatnya.
Angin malam menyapu wajah dan menerpa rambutnya yang masih setengah basah. Di hadapan Dean ada tirai jendela yang sedang bergerak lembut, membawa efek magis di pandangan Dean. Tirau itu seakan mecoba menggapai Dean. Merasa di undang, Dean lalu mengulurkan tangan berniat menyentuh tirai itu.
Mata Dean lalu menangkap sosok Riza di hadapannya. Tangannya masih terarah ke tirai itu yang kini di gantikan oleh Riza yang sedang berdiri di depannya. Namun, sebelum menggapai sosok Riza, Dean seketika tersadar. Otaknya sedang usil memainkan kesadarannya. Bayangan-bayangan palsu kini berani menguasai pandangannya. Dia lalu menarik tangan secepat kilat, lalu menatap tangannya dengan lekat. Bayangan Riza semakin nyata. Perasaan kosong membawa Dean ketitik gila.
Berusaha memegang kendali atas benaknya. Dean kemudian mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang bersarang di bahunya. Menepis bayangan yang di ciptakan otak Dean.
Suasana hati yang sedang melow menggoda Dean mengambil handphone dan memutar lagu Kimi e Okuru Uta dinyanyikan Vocal Lolly khas Miki Natsumi yang kini mengisi penuh kamar Dean.
Masih dibalut handuk di pinggangnya dan handuk kecil bertengger asal di kepalanya, Dean merubah posisi duduknya. Kini dia merebahkan badan, berusaha melepaskan penat yang ternyata masih ada. Dean kemudian menutupi matanya dengan lengan kanan. Menggapai ruang kosong di dadanya, ingin menyatu dengan lagu. Berharap rasa sesak itu tersampaikan kepada Riza yang kini hilang. Dean berharap ruang kosong itu terisi kembali suatu saat nanti.
Dalam pandangannya yang gelap, bayangan Riza kini muncul kembali. Riza terlihat berjalan kearahnya perlahan. Sosok itu perlahan mendekatin Riza, membuat sosok Riza semakin jelas. Dean merasakan hatinya meradang. Ada bongkahan yang sakit tertanam di dadanya. Rasa panas mengisi mata Dean seketika. Tanpa sadar, air mata telah siaga di balik lengannya.
Shiawase by Fujikawa Chi & Kobasolo kini menggantikan Kimi e Okuru Uta - Nya Miki Natsumi, mengiringi gundahnya dengan piawai. liriknya semakin mengiris bongkahan itu. "Perih." Lirihnya.
Dean melihat sosok Riza sedang tersenyum. Dia mengenakan Tuxedo merah di padu dengan Celanan Linen hitam, namun tanpa alas kaki. Ada mawar hitam terselip di saku Tuxedonya. Riza kemudian tertawa renyah sambil memberikan mawar hitam itu. Suaranya menggoyahkan pertahanan mata Dean. Riza kemudian mengecek jamnya. Seperti terburu-buru. Riza kemudian berpaling, berjalan perlahan. Pelan tapi pasti Riza semakin jauh, meninggalkan Dean acuh. Dunia kemudian perlahan memudar mengikuti sosok Riza. Hampa.
Bersambung...