Chereads / Pelangi Kehidupan Mona / Chapter 24 - Cincin Ukir

Chapter 24 - Cincin Ukir

"Saudaraku ayo cepat turunkan aku dan kita menggali, kita harus segera memastikan apakah itu gingseng atau bukan."

Eka buru-buru menurunkan adik perempuannya, dan mengikuti instruksinya. Perlahan menggali, sangat hati-hati karena takut melukai akar gingseng karena adiknya bilang jika akarnya putus, harganya akan turun.

Rena dan adik-adiknya menggunakan tangan kecil mereka untuk menggali perlahan-lahan di tanah yang gembur. Sangat hati-hati, mereka takut kehilangan rupiah untuk membangun rumah.

Keempat saudara dan saudari bekerja sama dan akhirnya menggali ginseng secara utuh. Ginseng yang sangat besar, besarnya hampir sepadan dengan wortel. Mona memandangi tanaman itu. Batang daun harusnya ada lima atau enam, tapi daun gingseng ini telah hilang semua.

Mona memerintahkan saudaranya mencari kulit kayu, membungkus akar gingseng itu seadanya agar tidak rusak.

Eka dan Rano tidak bisa menemukan kulit kayu. Kemudian, mereka hanya memahat sepotong kulit kayu dari pohon dengan cangkul kecil. Kulit kayu itu agak basah, tapi cukup memadai untuk membungkus gingseng. Eka dan yang lainnya memandang tangan cekatan adiknya. Ginseng tersebut dimasukkan ke dalam kulit kayu dan dibungkus, untuk memastikan bahwa ginseng tersebut tidak tergores, Mona melepaskan syalnya dan menjadikannya sebagai pembungkus tambahan.

Setelah simpul, Mona menghela nafas lega, "Kak, simpanlah ini. Ini mungkin tidak langsung laku. Tidak apa-apa, kita bisa menunggu orang untuk membelinya dan memberikan uang penjualannya pada ibu."

Rano sedang memegang bungkusan itu, wajah mungilnya bersemangat, hampir seperti orang dewasa yang menang lotre, "Kita tidak boleh bilang ke siapapun. Jika ada yang tahu, nenek dan bibi bisa datang ke rumah untuk minta uang."

Eka dan Rena mengangguk, "Baiklah, jangan beri tahu siapa pun. Ini adalah rahasia di antara kita. Apakah kalian semua ingat? Jangan sampai ada yang keceplosan."

Ketiga anak itu mengangguk dengan penuh semangat saat mereka memandangi Eka.

Rano menjaga ginseng, jadi dia hanya melihat eka dan Rena yang melanjutkan menggali bengkuag. Mona berkeliling lagi, mengamati sekitar. Tetapi Eka tentu saja tidak membiarkan Mona pergi jauh, Ia takut jika terjadi apa-apa dengan adik cerdasnya itu.

Mona mematuhi Eka, ia tak akan pergi terlalu jauh dari kakak-kakaknya. Mona melihat gundukan, karena penasaran ia mendatanginya, Tampaknya, gundukan itu serupa kuburan yang sengaja dibuat. Mona tak tahu gundukan itu buatan manusia atau ulah anjing liar. Mona yakin tidak ada tulang yang terserak di dalamnya, paling hanya peti mati dengan mayat membusuk.

Mona melihat peti mati yang ia bongkar dari gundukan itu. Tidak ada apa-apa disana, hanya ada titik hitam kecil, mungkin bagian peti yang karena gerusan tanah atau rusak terkena cuaca.

Peti mati itu sangat indah karena hantu dan Dewa disini sangat dihormati. Mona sama sekali tak takut menyentuh peti mati itu karena ia sudah pernah mati di kehidupan sebelumnya. Ia tak peduli lagi soal kematian.

Keingintahuan membuatnya mencoba masuk ke dalam peti mati secara perlahan. Mona mengeluarkan titik hitam kecil yang semula dianggapnya kotoran. Tapi, titik hitam itu sekarang terlihat seperti cincin, tetapi karena sudah tertimbun lama tidak lagi seperti cincin yang indah.

Setelah menyekanya dengan hati-hati dengan daun, dia menemukan bahwa itu adalah cincin dengan ukiran indah.

Karena dia tidak bisa melihat bahan apa itu, dia berencana untuk membawanya pulang dan mencari tahu. Mungkin cincin itu barang antik dan pasti akan sangat berharga di masa depan.

Dengan hati-hati Mona memasukkan cincin itu ke dalam saku jaket berlapisnya. Dia melihat yang lain lagi di peti mati. Tapi, ia tidak menemukan sesuatu yang berharga, kecuali sisa kayu dan daun-daun mati.

Mona keluar dari peti. Sayangnya, peti mati ini terletak di gunung yang jauh dari rumah. Jika dekat, peti mati ini mungkin bisa dipotong untuk kayu bakar.

Tapi Mona tidak takin peti mati itu akan berubah jadi kayu bakar jika dibawa pulang. Ia bisa memastikan ayahnya tidak akan berani membakarnya.

Ketika dia kembali pada saudara-saudaranya, Rano masih memegang gingseng dengan hati-hati, dan tidak pernah melepaskannya.

"Saudaraku, jangan terlalu gugup, jika kamu memegangnya seperti itu, orang-orang akan curiga dan bertanya apa yang kau baa. Lebih baik jika kamu membawanya seperti membawa syal biasa."

Rano yang gugup serasa diejek oleh adiknya, dia langsung santai, "Aku tidak ingin gugup, tapi yang kupegang adalah harta berharga senilai rumah. Aku tak mungkin bisa santai. Jika ini rusak, aku tidak bisa menggantinya, bahkan jika aku bekerja sampai mati. "

Setelah memberikan bingkisan gingseng ke tangan Mona, Rano berlari untuk membantu kakak perempuan menggali bengkoang. Eka dan saudara perempuannya telah menggali banyak, tapi masih ada banyak yang belum digali. Eka membantu mereka menggali lebih cepat. Ketika semuanya menggali, Rena memandang langit langit. Mereka sudah melewatkan waktu makan siang.

"Saudaraku, ayo cepat berkemas, kalau tidak Ayah dan Ibu pasti cemas, kurasa mereka pasti sudah menyusul kita kesini."

Seperti yang dikhawatirkan oleh anak-anak, Restu dan istrinya tidak melihat anak-anak ketika mereka pulang. Mereka sudah menduga pasti anak-anak sudah naik gunung. Setelah makan siang disiapkan, anak-anak belum juga pulang. Pasangan itu kali ini agak cemas. Sekarang, sudah siang, mereka takut ada sesuatu yang terjadi pada anak-anak.

Ketika Restu dan Dewi bersiap menyusul anak-anaknya ke gunung, anak-anak sudah hampir turun gunung dengan barang-barang di punggung mereka. Restu dan Dewi yang khawatir naik gunung sambil mereka meneriakkan nama-nama anak-anak saat mereka berjalan.

"Berhentilah berteriak Ayah, kita dan yang lainnya ada di sini."

"Bu, kami di sini." Eka berteriak. Mereka membawa barang-barang mereka dan berjalan menuruni gunung. Ginseng kali ini dibawa Rano. Mona membawa cincin di sakunya. Sementara dua yang lain membawa keranjang berisi bengkoang.

Pasangan itu buru-buru mempercepat langkahnya saat mereka mendengar teriakan anak-anak. Ketika mereka melihat anak-anak membungkuk dan membawa barang mendekat, pasangan itu sangat sedih sehingga mereka tidak tahu harus berkata apa.

Restu buru-buru berlari dan menurunkan semua barang di punggung kedua anak itu, memperhatikan mereka dengan sedih, "Nak, ini berat sekali, tunggu ayah untuk mengambilnya, kalian istirahat dulu. Biarkan ibu dan ayah yang membawanya. "

Pasangan itu akhirnya memegang barang-barang di tangan anak-anak, "Bu, lihat, yang aku dapatkan bersama Mona hari ini." Mingyuan sedikit canggung, mengambil telurnya dan memamerkannya.

Ketika sampai di kaki gunung, kebetulan Paman Hendro sedang keluar rumah untuk membuang sampah. Restu yang diberitahu niat anak-anaknya memberikan sekantong beras ketan memanggil Paman Hendro dan memberikan bingkisan yang telah disiapkan anak-anak.

"Restu, kamu jangan berlebihan seperti ini. Apa ini yang kamu bawa? Lebih baik kau menyimpannya untuk anak-anak".

Restu tidak bisa menjawab. Untung ada Dewi di sana. "Mas Hen, tidak apa, ini hanya pemberian kecil. Tanda terimakasih kami. Jadi, terimalah"