Restu dan keluarganya bangun pagi-pagi keesokan harinya. Restu dan Dewi pergi bekerja, meninggalkan empat anak di rumah. Untungnya, anak-anak sudah mandiri. Anak-anak yang lebih tua menjaga adik-adik mereka sehingga Dewi bisa bekerja dengan tenang.
Mona ingin menanam sesuatu, tetapi dia tidak tahu sawah keluarganya selesai diukur. Dia merasa mengukur tanah adalah masalah besar. Jika pengukuran tanah itu tidak adil, maka akan muncul masalah baru.
Eka pergi bersama dua adik perempuannya, membawa keranjang dan tongkat. Ia mengikat jerami dan meletakkannya di keranjang. Selain karena ia memang membutuhkan jerami sebagai pengganti kayu bakar, ia juga berniat menggunakan jerami itu untuk menutupi hasil yang ia dapatkan dari ladang. Ia tak ingin ada orang yang tahu dan menirunya mengais sisa panen.
Ketiganya melewati gunung. Mereka mencongkel tanah ladang yang belum digarap pemiliknya. Mereka mengumpukan semua sisa panen yang bisa dikumpulkan. Tas kain yang dibawa Rena kini sudah penuh.
"Saudaraku, kita telah mengumpulkan banyak hari ini." Tidak hanya Rena yang puas dengan hasil yang didapatkannya hari ini, semua juga merasakan hal yang sama. Dengan hasil yang mereka dapat hari ini, semua anggota keluarga bisa makan dengan kenyang.
Eka memasukkan kantongnya ke dalam keranjang dan menutupnya dengan jerami dari ladang. Mona memasukkan rumput ke keranjang. Ketiganya sangat cekatan. Dua keranjang besar penuh dengan bahan makanan kini siap mereka bawa pulang.
Mona mengekor dua kakaknya dari belakang, melihat ke timur dan barat, ada traktor yang membajak tanah hampir sampai pada sawah yang harusnya menjadi milik mereka. "Saudaraku, sebaiknya kita pergi ke tempat kita menanam kedelai, siapa tahu ada yang bisa kita panen." .
Eka tidak berani memupuskan harapan adiknya. Dia hanya mengatakan mereka sudah mendapatkan cukup banyak hari ini.
Ketika mereka sampai di rumah, Mona dan Rena langsung menyortir ubi, kentang, dan kedelai yang mereka dapatkan, memisahkan yang masih bagus dengan yang sudah bertunas. Rano tidak ada di rumah, Mona berpikir jika Rano mungkin sedang mencari kedelai sendiri.
"Kakak, kalian berdua ada di rumah. Aku akan mencari sekeranjang jerami dan kembali. Kalau tidak, mungkin kita tidak memiliki cukup jerami dan ranting untuk memasak siang nanti." Eka meninggalkan rumah, dan ketika Mona dan Rena menyortir kedelai, Rano berlari pulang.
"Kakak, adik, tanah sudah selesai diukur. Tanah itu dijual dan bisa digunakan untuk membeli rumah di dekat sungai. Jadi, kita bisa menanam sesuatu di pekarangan dan menyiraminya dengan mudah menggunakan air sungai."
Mona berbalik dan bertanya, "Kak, apa yang harus kita lakukan jika sungainya banjir, bagaimana jika rumah kita banjir?".
Rano mengedipkan matanya yang besar dan memasang wajah cemberut. Sesaat kemudian Rano berkata, "Tidak, aku sudah melihatnya. Ada bendungan disana, jadi tidak akan ada banjir."
Mengetahui bahwa ada bendungan yang melindungi dari banjir, Mona mengangguk. Ia tersenyum puas,
"Rano, lihat ini yang kita dapatkan hari ini. Lain hari kita harus kembali bersama-sama dan mengumpulkan lebih banyak."
Yang paling dibutuhkan keluarga Restu sekarang adalah makanan dan uang. Dia tidak punya cara untuk mengumpulkan banyak uang untuk saat ini. Mencari uang itu susah. Jadi, anak-anak memutuskan untuk membantu keluarga dengan mencari makanan.
Keluarga Wang tidak memiliki jam dinding dan hanya bisa mengetahui waktu dengan melihat matahari. Rena mengangkat kepalanya dan melirik posisi matahari di langit. Dia menebak jika Ayah dan Ibu akan segera pulang kerja. Dia buru-buru keluar ke halaman untuk memasak. Eka sudah pulang. Rano membantu Eka mengangkat keranjang. Sedangkan Mona membantu Rena menyalakan api.
Segera, asap mulai mengepul dan api menyala. Dewi, yang pulang kerja, mengikuti sekelompok ibu-ibu yang bekerja dengannya di ladang hari ini. Dewi melihat kepulan asap di rumahnya, dan tentu ibu-ibu lainnya juga melihatnya.
Kakak ipar Ida berkata dengan sedikit iri, "Wi, api dapur sudah menyala di rumahmu, bukankah itu Restu yang sendang memasak untukmu? Kamu sangat beruntung."
Sekelompok ibu-ibu itu juga berkomentar yang sama. "Ya, jangan melihat rumah Dewi. Kita bisa iri karena ia memiliki Restu yang penuh tanggung jawab. Kenapa suami kita tidak bisa seperti Restu?"
Wanita di desa memang sering bicara ceplas ceplos. Dewi tidak tersinggung ataupun cemburu, dia hanya tersenyum bahagia. "Kali ini Anda salah menebak. Yang menyalakan api itu adalah Rena, dan si kecil Mona sedang membantunya ".
"Benarkah, anak yang masih kecil seperti mereka bisa memasak? Ck ck, Dewi, kamu sungguh beruntung, punya suami tanggung jawab dan anak yang mau membantu orang tuanya, dan kamu pasti hidup bahagia nanti."
Sekelompok wanita masih tetap membicarakan keluarga Dewi. Sementara Dewi sudah sampai di rumahnya, "Anak-anak, ibu sudah pulang, di mana dua saudara kalian yang lain?".
"Bu, kami disini."
Mingyuan mendengar suara ibunya berteriak dari dalam kamar.
Rena dan Mona telah menyiapkan makan siang. Mereka juga sudah membuat sayur bayam. "Bu, makanannya sudah siap, kita bisa memakannya saat Ayah pulang."
Ketika Dewi dan anak itu memasuki ruang belakang, dia terkejut ketika melihat bahwa ruangan itu penuh dengan kedelai, bagaimana mungkin 10 atau 15 kilo kedelai?
"Anak-anak pintar, kalian pasti lelah, kan?"
Eka menggelengkan kepalanya, "Bu, Ayah berpesan tadi malam jika kami mendapat banyak kedelai hari ini, kami harus menutupnya dengan jerami agar tidak ada yang melihatnya."
"Bu, apakah kedelai ini cukup untuk memuat minyak dan membuat tahu?" Rano memperhatikan ekspresi ibunya.
Dewi memeluk keempat anak itu satu per satu, "Kalian semua anak baik, ibu bahagia."
Ketika Dewi memetik tauge di dalam rumah, mereka mendengar suara seperti lolongan seperti babi, dan kemudian mereka mendengar tangisan orang dewasa dan anak-anak.
"Ada apa, ayo kita lihat."
Dewi mengajak keempat anaknya keluar rumah dan melihat rumah Pak Bono sudah penuh sesak dengan orang.
"Ada apa, kenapa anak itu dihajar?" Dewi tidak tahu apa yang tengah terjadi, jadi dia hanya bisa bertanya kepada orang-orang di sekitarnya.
"Oh, itu semua karena sepotong. Anak itu lapar dan mengambil roti yang tergantung di gagang pintu rumah itu. Ia memakan semua rotinya. Istri Pak Bono menemukan anak ini sedang memakan roti yang seharusnya menjadi jatah makan siang keluarganya."
Saat ini, setiap keluarga miskin memang sedang kekurangan makanan .Jika mereka makan terlalu banyak hari ini, maka hari berikutnya mereka harus kelaparan.
"Oh", meskipun Dewi merasa kasihan, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Seorang tetangga juga telah menghentikan Bu Ningsih, istri Pak Bono. Melerai dan mencegah anak itu dihajar lebih lama.
Kehidupan setiap keluarga saat ini sedang sulit, dan tidak ada yang bisa dilakukan seorang ketika dia lapar, tetapi juga sulit untuk menjadi seorang ibu. Jika paceklik ini tidak juga berakhir, apa yang harus dilakukan bulan depan?Bahkan, wanita pintar pun akan kesulitan menyajikan makanan tanpa nasi.
"Bu, jangan khawatir, kami tidak akan mencuri kue" kata Rano hati-hati saat melihat wajah ibunya terlihat masam.
Kata-kata putranya membuat Dewi bersyukur sekaligus sedih pada saat yang sama. Setiap keluarga memang memiliki ujiannya sendiri-sendiri.
"Anak-anak, ayo pulang, kita makan, mungkin ayahmu sudah pulang" Dewi dan anak-anak melangkah meninggalkan rumah Pak Bono.
Kejadian hari ini paling menyentuh hati Mona. Dia benar-benar belum pernah melihat yang seperti ini di kehidupan sebelumnya. Orang tua menemani anak-anak mereka makan tetapi tidak bisa memberi mereka makanan yang banyak, tetapi ini pasti tidak akan berlangsung lama. Mona yakin jika keluarganya akan segera bahagia. Mungkin kejadian hari ini akan menjadi topik kenangan bagi anak-anak yang mencuri kue itu dan menjadi cerita bagi anak cucu mereka kelak.