Nenek menyeka air matanya sambil tersenyum dan berkata, "Mona rindu kakek dan paman?"
Mona mengangguk, "Kakek dan Paman sedang bekerja, jadi kita bisa mengumpulkan uang untuk membelikan Mona coklat dan es krim. Saat cuaca bersahabat, nenek akan membawamu dan kakak-kakakmu ke rumah nenek. Paman akan menjemputmu. Nenek akan mengajakmu bermain di pantai, mencari kerang dan memasaknya untukmu dan kakakmu. "
Nenek dan Mona mengobrol di kamar, sementara Dewi masih memasak. Aroma masakannya begitu menggoda begitu Dewi membuka wajan yang semula ditutup rapat.
"Bu, apa yang ibu masak? Aromanya begitu lezat" Rano mendengus aroma masakan, sadar jika masakan ibunya hari ini berbeda dari biasanya.
Ketika Dewi menghidangkan makanan di lantai, Nek Ijah sadar jika tidak ada meja makan di rumah putrinya. Perlahan ia mendengus.
"Bu, kami belum memiliki meja makan di rumah, kami akan segera membelinya. Saat ibu kembali kesini untuk menengokku lain hari, kami pasti sudah memiliki meja makan dan ibu bisa makan tanpa membungkuk." Restu meminta maaf kepada ibunya yang sudah tua.
"Restu, tak masalah jika ibu harus makan di lantai. Kita semua adalah keluarga. Kita tidak perlu sungkan. Selama kamu dan istrimu masih bisa menafkahi anak-anakmu itu sudah cukup."
Meskipun Nek Ijah tidak banyak bicara, tetapi nasihatnya membuat Restu semakin mengagumi ibu mertuanya. Ia tidak mementingkan dirinya sendiri dan peduli dengan anak mantu.
Siang itu Dewi memasak Ayam goreng untuk anak-anak, dan memasak sepanci sayur soto yang lezat, tak lupa nasi hangat dan kerupuk.
"Nenek, makanlah lagi, tambah nasinya." Rano meminta neneknya makan lebih banyak sambil menambahkan nasi ke piring neneknya. "Baiklah, kalian juga makanlah yang banyak. Kalian seharusnya lapar sekarang karena tidak ada yang sempat sarapan tadi pagi. "
Setelah makan, Rena bangkit dan membereskan piring dan membantu ibunya mencucinya. Mereka ngobrol sebentar sampai akhirnya dikagetkan dengan suara nenek.
Nenek memanggil ibunya dan menyodorkan beberapa lembar uang kertas. "Wi, gunakan uang ini untuk membeli baju."
Dewi menerima uang pemberian ibunya. Setelah mencoba tegar selama beberapa hari, air mata Dewi akhirnya tumpah. Ia memandang wajah ibunya yang sudah tua, tapi sikap dan perhatiannya tidak pernah berubah sejak dulu. Dewi menangis di pelukan ibunya.
Nek Ijah ikut menangis bersama putrinya di pelukannya, "Jangan sungkan menangis, ibu tahu bahwa kamu telah menderita, menangis saja. Kamu juga tahu temperamen mertuamu. Jangan marah pada mereka. Hiduplah bahagia dengan keluargamu sendiri. Mertuamu tidak memberikan bagian harta, tapi kamu dan suamimu punya tangan untuk berusaha. Bekerjalah dengan keras, berilah makan anak-anak dan kumpulkan uang untuk membangun rumah yang layak. Sekarang hapuslah air matamu, jangan sampai anak-anak tahu."
Restu sedari tadi duduk di samping istri dan ibu mertuanya. Tapi, ia tak tahu harus berkata apa. Ia pernah berjanji kepada ibu mertuanya untuk memperlakukan Dewi dengan baik. Tapi, janji itu tidak bisa ditepatimya.
"Bu, aku ...".
"Restu, Ibu tahu kesulitanmu. Ibu yakin kamu bisa lebih baik setelah ini. Orang tua tetap harus dihormati. Jika Dewi melakukan kesalahan, kamu harus menegurnya. Kamu juga harus menjaga anak-anak dengan baik. Tidak peduli meskipun kamu dan Dewi memiliki masalah, kalian tetap harus terlihat baik-baik saja di depan anak-anak. Lihat luka di kepala Mona. Jika sampai kamu yang melakukannya karena emosimu, kamu pasti akan sangat menyesalinya. "
Nenek Ijah memang tidak mudah marah, Ia bahkan hampir tak pernah marah. Tapi, melihat luka di kepala cucunya, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. Ia marah, tapi ia masih berusaha meredam.
Restu tahu jika ibu mertuanya sudah menempuh perjalanan jauh. Ia sudah repot-repot datang menjenguk. Jadi, Restu memilih diam tanpa membantah nasihat ibu mertuanya."Bu, kami pasti akan hidup lebih baik setelah ini."
Saat Restu bicara dengan ibu mertuanya, terdengar suara dari luar, "Apa Ijah masih disini? Apakah kamu ingin menumpang lagi?".
Ijah menyadari jika suara itu adalah suara pemilik mobil yang tadi ia tumpang. Ijah buru-buru keluar dan berteriak, "Ya, ya, tunggu sebentar dan saya menumpang lagi."
Setelah beberapa patah kata, nenek Ijah kembali ke rumahnya dengan menumpang mobil bak terbuka.
Dewi dan lainnya kembali masuk ke rumah. Dewi kemudian membagi daging dan ayam yang dibawa ibunya menjadi 3 bagian.
"Eka, berikan ini untuk nenekmu, dan Rano akan memberikan bingkisan ini kepada bibi tua yang tinggal di sebelah rumah nenek."
Eka sebenarnya enggan mengirimkan daging ke rumah neneknya. Dewi menghela nafas dan menyentuh kepala putranya. "Eka, bagaimanapun juga ia tetap nenekmu dan juga ibu dari ayahmu."
Eka mengambil bungkusan kresek hitam yang sudah disiapkan ibunya. Restu yang mendengar niatan Dewi merasa tidak nyaman.
Mina yang sedang berbaring di kasur dan melihat raut muka ayahnya berkata, "Ayah, apakah keranjang rotan kita sudah siap? Kita membutuhkannya besok."
Restu memeluk putri kecil itu, dan menggunakan wajahnya untuk menggelitik perut putrinya. "Mona, ayah telah memotong rotan dan akan membuat keranjang malam ini, Kenapa kamu semangat sekali? Apa yang akan kamu lakukan dengan kerancang itu ".
Restu tidak mengetahui rencana anak-anaknya, jadi dia bertanya dengan santai. "Ayah, besok ada yang panen, aku dan kakak-kakak ingin mengais sisa panen dengan keranjang itu."
Rencana anak-anak itu sedikit mengejutkan Restu, tetapi dia tetap membujuknya, "Sayang, panen kali ini sedang tidak baik. Tidak akan ada banyak sisa di ladang. Kesehatanmu juga belum sepenuhnya pulih, jadi tetaplah tinggal di rumah."
"Baiklah ayah, aku mengerti" Mona setuju, tapi dia memutuskan jika ia akan tetap keluar jika cuaca bersahabat besok.
Sore harinya, Restu kembali dengan membawa beberapa keranjang. Ia membawa keranjang untuk menampung buah dan keranjang untuk mengumpulkan jerami.
Restu juga membawa kabar bahagia. Sebentar lagi musim tanam sehingga akan ada pekerjaan untuknya di ladang. Mereka bisa mengumpulkan uang lebih banyak.
Keesokan harinya, Restu dan Dewi mulai bekerja pagi-pagi sekali. Keempat saudara laki-laki dan perempuan itu mengunci pintu dan berjalan ke ladang dengan keranjang di bahu mereka. Rena takut adiknya akan masuk angin lagi, jadi dia memeluk Mona dengan erat dan memakaikan topi rajut di kepalanya. Rena juga memakaikan Mona masker serta jaket miliknya.
Mona berpakaian berlapis. Mona sampai ragu berjalan keluar, takut jika penampilannya menjadi bahan tertawaan.
Rano dan saudara-saudaranya ke ladang. Mencari ladang yang telah selesai dipanen. Mereka tidak ragu mengais sisa panen. Hasilnya tidak banyak. Tapi tidak juga mengecewakan karena mereka berhasil mengisi dua keranjang dengan berbagai umbi-umbian.
Eka mengamati ladang, sadar jika masih banyak umbi-umbian sisa. Ia kemudian memerintahkan Rano tetap mencari ubi bersama Mona. "No, kakak pulang dulu dengan Rena. Kakak akan meletakkan umbi-umbian itu di rumah. Kakak akan kembali dengan keranjang kosong, tapi jangan sampai kau lupa mengawasi Mona. Jangan biarkan Mona berlari."
Rano mengangguk. "Ren, ayo kita pulang dulu, setelah itu kita akan kembali kesini lagi."
Keduanya berjalan dengan dua keranjang penuh. Rano memandang wajah Mona dengan serius. " Dik, mari kita pilah dulu mengumpulkannya. Potong ujung umbi, jika dalamnya jelek, kita tinggalkan saja disini."
Rano tidak tahu jika Mona yang ada di depannya sepenuhnya bukan adiknya. Mona yang sekarang tahu banyak hal. Bahkan, tahu lebih banyak hal dibandingkan Rano. Jadi, sebenarnya ia tak perlu mengajarkan Mona.
Angin saat itu sangat kencang. "Kak, benarkan resleting jaketmu. Angin sangat kencang, Jika kau sakit tidak ada yang mengajakku bermain." Mona membenarkan resleting jaket Rano.
Rano dan Mona berpindah ladang. Mereka menunggu traktor membalikkan tanah sebelum mencari ubi jalar dan kentang lagi. Benar saja, mereka kini bisa mengumpulkan ubi jalar dan kentang lebih cepat.
Kak Rena dan Kak Eka kini kembali lagi. Mereka setengah berlari dengan keranjang kosong di pundak mereka.